Suara Warga

Antara Profesor Amin Rais dan Pendita Durna

Artikel terkait : Antara Profesor Amin Rais dan Pendita Durna

Prof Dr Amin Rais MA,sangat dikenal dikalangan menengah sampai kalangan atas. Akhir-akhir ini tampaknya sering memerankan seorang tokoh dalam ceritera mahabarata. Agaknya mirip-mirip dengan Pendita Durna. Dua-duanya adalah guru besar. Yang satu adalah guru besar di salah satu universitas bergengsi di negeri ini. Sedang Durna dalam ceritera mahabarata adalah guru besar dari para kurawa dan pandawa. Dua-duanya agamawan besar. Sehingga layaklah kalau Sang professor itu juga seorang KH (Kiai Haji). Sedangkan Durna selain seorang Guru Negara, dia juga bergelar Resi. Suatu gelar yang bisa disejajarkan dengan “Manusia setengah Dewa”

Keduanya sama-sama sakti. Coba bayangkan, walaupun orangnya kecil, namun sangat kuat sehingga mampu menggerakan kekuatan rakyat untuk menjatuhkan Suharto. Demikian juga Durna, walaupun sudah masuk manula, tetapi seluruh kadang Pandawa dan seluruh hastina mampu dikerahkan untuk mengalahkan Drupada dari Pancala, sehingga setengah dari Pancala dapat direbutnya.

Nah sekarang dari persamaan yang lainnya, namun ada sedikit perbedaan. Prof Amin Rais, lembut dalam bertutur kata, namun cukup pedas didengarkan oleh pihak lawan bicaranya, sedangkan Pendita Durna lembut juga dalam bertutur kata, hanya kadang diselingi guyonan (humor), sehingga lawan bicaranya tak menyadari kalau sebenarnya sedang dilecehkan, bahkan dijerumuskan.

Prof KH Amin Rais, orang tak menyangka kalau dia saat ini dapat bersikap opportunis, atau hanya pura-pura di tata lahirnya saja, sedangkan hatinya siapa tahu. Kenapa demikian, hampir semua orang tahu terutama angkatan ’97/98, dulu, KH Amin Rais sangat memusuhi pemerintahan orde baru Suharto dan kroninya, termasuk juga memusuhi Pak Prabowo. Lahirnya TAP MPR Nomor XI/MPR 1998, untuk menjerat Suharto dan kroninya juga tidak lepas dari perjuangan Profesor KH yang satu ini.

Namun sekarang, dia begitu getol memihak Pak Prabowo dan Koalisinya. Salah satunya dukungan sepenuhnya kepada koalisi Merah Putih untuk menggolkan PILKADA lewat DPRD. Padahal pelaksanaan PILKADA langsung telah dipraktekan selama kurang lebih dua kali masa kepemimpinan SBY. Rakyat menyambut dengan antusias. Rakyat merasa, hak-hak demokrasi yang sangat mendasar, telah dapat ditunaikan, walaupun masih memerlukan perbaikan-perbaikan. Namun Perjuangan hasil reformasi yang sekarang ini akan dikembalikan ke masa orde baru lagi. Peran rakyat untuk melaksanakan hak-hak dasar politiknya, dipangkas dengan RUU PILKADA tak langsung. Substansi makna demokrasi tercederai. Sang Prof KH Amin Rais cukup menyampaikan penyesalannya, kenapa dulu dia menyetujui diselenggarakannya pemilukada langsung. Ada apa itu semua?

Pendita Durna, tergolong pendeta sakti yang agung. Namun ada kelemahann yang melekat pada dirinya. Dia mudah sekali tergoda harta, kekuasaan, dan wanita, selain itu pendendam (salah satu versi tentang Durna). Diawal-awal pengabdiannya di Hastina, Durna dikenal sebagai Guru besar yang jujur, memegang prinsip, adil, namun Ketika para pandawa sudah mulai beranjak dewasa, Durna mulai bergeser dukungannya kearah Prabu Duryudana yang terkenal Kaya raya, sugih banda bandu, luas tanah jajahannya. Para Pandawa sekarang, mulai dihujat, dicela, difitnah, bahkan direncanakan untuk dibunuh. Ada apa gerangan? Apa Durna termasuk juga seorang yang opportunis?, awal-awalnya memihak pandawa, memihak kepada suara rakyat Hastina, (biasanya yang namanya rakyat itu mewakili kaum miskin yang menuntut keadilan), suara rakyat yang diserupakan dengan suara para panakawan dan pandawa.

Prof Amin Rais adalah seorang pemuka agama/guru. yang secara umum merupakan seorang yang harusnya bisa menjadi panutan. Pendita Durna juga pemuka agama/guru. Gurunya para kurawa dan pandawa, keduanya harus bisa menjadi panutan. Tetapi Pendeta Durna lebih banyak mengumbar hawa nafsunya ketimbang memayu-hayuning bawana.

Durna adalah seorang pandita, jadi sebenarnya dia mengerti, kalau yang pantas di bela adalah Pandhawa, tetapi dia lebih memilih Kurawa, demi harta, kekuasaan, pangkat dan jabatan sehingga dia bisa hidup makmur. Jadi Durna itu “tidak jumbuh lahir batinnya”.

Dalam masa reformasi sekarang ini tidak menutup kemungkinan, masih banyak tokoh-tokoh berjiwa Durna, menjual agama demi harta dan kekuasaan.

Padahal yang berkorban adalah rakyat, yang memilih kita adalah rakyat, tetapi kita lebih membela kepentingan individu, kepentingan individu yang berduit. Pada akhirnya mereka akan ketahuan belangnya, ternyata walaupun dengan bungkus pakaian pendita, ternyata tidak lebih dari seorang “Pandhita Durna”.




Sumber : http://ift.tt/1D01vSk

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz