Tertipu Pencitraan Politisi
Malang benar nasib kita sebagai rakyat jelata. Dalam setiap pemilihan umum, baik pemilihan legislatif, kepala daerah ataupun presiden, kita diatasnamakan. Namun setelah mereka menduduki kursi kekuasaan, kita pun dilupakan. Pencirtaan seakan-akan pro-rakyat mereka bangun dengan biaya yang besar. Dan kita pun terbuai, atau lebih tepatnya tertipu dengan pencitraan itu.
Biaya pencitraan pasangan Jokowi-Kalla yang berbentuk iklan di media massa cukup besar. Seperti ditulis di http://ift.tt/1t1FDjI, kubu mereka menghabiskan Rp61,94 miliar. Itu pun hanya untuk belanja iklan di media cetak, radio dan televisi. Iklan di media online belum di hitung. Selain itu, uang Rp.61,94 miliar itu hanya untuk belanja iklan media massa di lima kota besar di Indonesia (Jakarta, Surabaya, Medan, Banjarmasin dan Makassar).
“Pencitraan itu sebelum pemilu, setalah pemilu kerja keras. Dulu menaikkan harga BBM bersubsidi memang tidak populis, sekarang tidak,” tegas Wakil Presiden terpilih Jusuf Kalla seperti ditulis oleh kompas.com. Padahal persoalan menaikan atau tidak harga BBM adalah soal komitmen terhadap rakyat miskin bukan soal pencitraan. Jika pilihannya untuk mengatasi krisis BBM adalah menaikan harga BBM, maka yang terpukul adalah rakyat banyak. Karena kenaikan harga BBM akan diikuti dengan kenaikan harga lainnya.
Berbeda bila pilihannya menaikan pajak mobil, maka yang terkena dampaknya hanya orang-orang kaya. Namun, nampaknya Jusuf Kalla lebih memilih menaikan harga BBM yang memukul rakyat miskin daripada menaikan pajak mobil milik orang kaya.
Kalau mereka memilih menaikan harga BBM berarti kita, rakyat Indonesia, telah tertipu dengan pencitraan Jokowi-Kalla selama kampanye pilpres kemarin. Nasib…nasib..
Sumber : http://ift.tt/1C1B8eh
Biaya pencitraan pasangan Jokowi-Kalla yang berbentuk iklan di media massa cukup besar. Seperti ditulis di http://ift.tt/1t1FDjI, kubu mereka menghabiskan Rp61,94 miliar. Itu pun hanya untuk belanja iklan di media cetak, radio dan televisi. Iklan di media online belum di hitung. Selain itu, uang Rp.61,94 miliar itu hanya untuk belanja iklan media massa di lima kota besar di Indonesia (Jakarta, Surabaya, Medan, Banjarmasin dan Makassar).
“Pencitraan itu sebelum pemilu, setalah pemilu kerja keras. Dulu menaikkan harga BBM bersubsidi memang tidak populis, sekarang tidak,” tegas Wakil Presiden terpilih Jusuf Kalla seperti ditulis oleh kompas.com. Padahal persoalan menaikan atau tidak harga BBM adalah soal komitmen terhadap rakyat miskin bukan soal pencitraan. Jika pilihannya untuk mengatasi krisis BBM adalah menaikan harga BBM, maka yang terpukul adalah rakyat banyak. Karena kenaikan harga BBM akan diikuti dengan kenaikan harga lainnya.
Berbeda bila pilihannya menaikan pajak mobil, maka yang terkena dampaknya hanya orang-orang kaya. Namun, nampaknya Jusuf Kalla lebih memilih menaikan harga BBM yang memukul rakyat miskin daripada menaikan pajak mobil milik orang kaya.
Kalau mereka memilih menaikan harga BBM berarti kita, rakyat Indonesia, telah tertipu dengan pencitraan Jokowi-Kalla selama kampanye pilpres kemarin. Nasib…nasib..
Sumber : http://ift.tt/1C1B8eh