Suara Warga

Tersangka: ISIS

Artikel terkait : Tersangka: ISIS



“Aku adalah berdasarkan kepada sangkaan hamba-Ku terhadap-Ku.

[Hadith Qudsi Riwayat Bukhari-Muslim]



“How one sees the future depends on how one sees the present. And how one sees the present depends very much where one look. We need to redirect our gaze away from the hateful fundamentalists and towards all those who are earnestly trying to reconstruct Muslim civilization.” (Ziauddin Sardar, 2006)

“Ya, mereka itu adalah para alumni Afghan!”jawab panelis saat ditanya oleh Moderator diskusi siang, beberapa hari lalu.

“Alumni Afganistan, maksudnya?”tegas Moderator.

“Ya, Alumni Afghanistan yang kembali ke tanah air. Mereka kembali dengan membawa paham-paham Islam radikal. Islam yang identik dengan kekerasan dan teror,”terang panelis lagi. Terlihat wajah-wajah serius para pendengar dan bisikan di satu-dua tempat duduk lainnya.

Itu sekelumit cerita dalam rentangan diskusi yang digelar tentang maraknya gerakan Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS) atau dalam lafazh Arab sering diucapkan sebagai ad-Daulah al-Islamiyyah fie l-Iraq wa Syam, di kawasan Timur Tengah, Iraq dan Syiria khususnya, dan kekhawatiran akan dampaknya di Indonesia. Apa yang sering dan terdengar dan diulang-ulang adalah frasa “Alumni Afghan”, “Pengusung Kekerasan”, “Kelompok Radikal”, “Islam Garis Keras”, “Alumni Poso”, “Kelompok Jihadis”, “anti-Pluralis”, dan kelompok frasa bermakna sejenisnya.

Bahkan, untuk menguatkan argumentasinya, Panelis menambahkan untaian kalimat bahwa “ideologi ISIS, yang mengusung konsep Daulah Islamiyah global, sangat bertentangan dengan prinsip NKRI”, dan karenanya, “harus segera dicegah dan ditangani secara komprehensif”, karena “dapat merusak tata kehidupan yang telah dibangun di atas prinsip toleransi dan perdamaian.”

Semua hal yang diopinikan kepada ISIS itu, kalaulah benar, pantas mendapat perhatian serius. Tapi, pertanyaannya adalah, “Apakah melekatkan frasa ‘Alumni Afghan’, ‘Pengusung Kekerasan’, ‘Kelompok Radikal’, ‘Islam Garis Keras’, ‘Alumni Poso’, ‘Kelompok Jihadis’, ‘Kaum Formalis’, ‘anti-Pluralis’, dan kelompok frasa bermakna sejenisnya, bukan tanpa maksud?”

Mari berandai-andai!

Andai saja pertanyaan terhadap ISIS di atas dikembangkan seperti ini:

“Bagaimana dengan ‘Alumni Barat’, seperti ‘Alumni Amerika’, ‘Alumni Kanada’, ‘Alumni Belanda’, ‘Alumni Perancis’, atau ‘Alumni Jerman’ dan alumni lainnya, yang mereka kembali ke tanah Indonesia dengan: ‘Membawa Seks Bebas’, ‘Terbiasa dengan Mengonsumsi Narkoba’, ‘Hobi Minum Minuman Beralkohol’, “Permisif terhadap Kawin Sejenis’, ‘Mengusung Paham Liberal’, ‘Cenderung Bersikap Individualis’, dan tentu sejumlah frasa semakna lainnya?”

Jawabnya ada pada mindset alias pola pikir, yang dalam bahasa lain bisa disederhanakan dengan ‘prasangka terhadap sesuatu’.

Kalau pola pikir yang dibangun, “bahwa Alumni Afghan dan negara yang diasosiasikan dengannya adalah frasa-frasa negatif, maka seperti itu pulalah akibat dan dan pandangan masyarakat yang terbentuk!” Tapi, kalau pola pikir yang dibangun, “bahwa Alumni Afghan dan negara yang diasosiasikan dengannya adalah frasa-frasa positif, maka out put-nya pun akan berbeda!”

Sebaliknya, kalau pola pikir yang dibangun, “bahwa Alumni Barat dan negara yang diasosiasikan dengannya adalah frasa-frasa negatif, maka seperti itu pulalah akibat dan dan pandangan masyarakat yang terbentuk!” Vice versa!

Masalahnya adalah, seringkali kita menggunakan standar ganda untuk sesuatu yang seharusnya diperlakukan sama. Atau setidak-tidaknya, “kita lebih sering mengedepankan Sangka-Buruk (Su’u-zhan) dari pada Sangka-Baik (Khusnu-zhan)!” Meskipun, “kehati-hatian tetaplah perlu.” Dan ISIS hari ini, di Indonesia, dengan segala keterbatasan informasi tentangnya, telah menjadi Tersangka! Setidaknya sampai waktu yang tak ditentukan.

Beberapa tahun lalu penulis inspiratif Francis Fukuyama dalam After The Neocons: America at the Crossroads [Profile Book Ltd., London, 2006], menyebutkan: “Terminology is important. There are significant distinctions between Islamic Fundamentalists, Islamists, Radical Islamists, and Ordinary Muslims, distinction that became particularly important in the wake of September 11. I shall use Jihadism to refer to this particular movement.”

Mengapa? Karena, “the implication of this view is that we are not currently engaged in anything that looks like a “clash of civilizations” but rather in something that looks much more familiar to us from the experience of the twentieth century. The most dangerous people are not pious Muslims in the Middle East but alienated and uprooted young people in Hamburg, London, or Amsterdam who see ideology as the answer to the personal search for identity.”

Kekeliruan pemberian label atas sebuah gerakan/fenomena (baca Gerakan Islam), karena keterbatasan informasi dan pemahaman atas fenomena itu sendiri, sangat berbahaya. Internasionaliasi ISIS, misalnya, merupakan fenomena yang biasa, bila dipahami bahwa salah satu konsep tentang kesatuan wilayah dalam Islam, seperti disinggung Aspinal, sesaat setelah meneliti dan menuliskan penelitiannya tentang Aceh. [Edward Aspinal, “Islam and Nation: Separatist Rebellion in Aceh Indonesia”, California: Stanford University Press, 2009.]

Akhirnya, bersikap proporsional adalah langkah awal yang baik dalam memberikan penilaian atas sesuatu, darimana pun datangnya. Dan itulah salah satu inti dari ajaran Islam yang universal, yang diperpegangi oleh tidak kurang dari 1/5 penduduk bumi. Dan atas fenomena hari ini dan yang mungkin akan terjadi di masa depan, Sardar kembali mengingatkan:

“So prepare yourself for the re-emergence of a dynamic, thriving civilization for Islam. It will not emerge in the near future. It will take several decades, even half a century. It will be deeply rooted in history and tradition, but it will be different entity.” [What Do Muslims Believe? Granta Publications, London, 2006].




Sumber : http://ift.tt/1p4MSH0

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz