Suara Warga

TB Simatupang : Jenderal dari Ladang Kopi

Artikel terkait : TB Simatupang : Jenderal dari Ladang Kopi


INSPIRATIONAL STORY


TB SIMATUPANG: JENDERAL DARI LADANG KOPI


PENDAHULUAN


Tahi Bonar Simatupang adalah seorang jenderal yang pernah mewarnai sejarah dunia militer Indonesia di awal-awal kemerdekaan. Dalam usia muda, 29 tahun, dia telah menjadi Kepala Staf Angkatan Perang Republik Indonesia. Namun perbedaan pandangan dengan Presiden Soekarno membawanya ke situasi tanpa jabatan saat jabatan Kepala Staff Angkatan Perang dihapuskan. Namun perjuangannnya tidak berhenti di situ. Dia kemudian dikenal sebagai purnawirawan yang aktif memberikan sumbangan bagi kemajuan bangsa dan Negara melalui kuliah, pidato dan tulisan-tulisannya yang menjadi landasan pemikiran bagi banyak orang.


LATAR KELUARGA


Kota Sidikalang, ibukota kabupaten Dairi , adalah satu daerah di barat laut provinsi Sumatera Utara. Luas kabupaten ini hanya sekitar 2,5 % dari luas propinsi Sumatera Utara, dengan topografi daerah pegunungan dan bukit. Hasil pertanian yang terkenal dari sini adalah Kopi Sidikalang, yang sudah terkenal ke seluruh dunia ,bersaing dengan kopi Brazil. Di daerah yang sepi dan sejuk inilah Tahi Bonar kecil dilahirkan pada tanggal 28 Janauri 1920. Nama Tahi Bonar dalam bahasa Batak bermakna Permufakatan yang Benar.


Tahi Bonar berasal dari dari keluarga ambtenaar dan berpendidikan kala itu. Ayahnya, Simon Mangaraja Soaduon Simatupang merupakan pegawai jawatan Pos dan telegraf di Pematang Siantar yang bekerja untuk pemerintah Belanda. Beliau juga merupakan pendiri Partai Christen Indonesia, disingkat Perchi, yang kemudian melebur dalam Parkindo dan sering menulis untuk koran-koran berbahasa Belanda. Bonar, nama kecilnya, adalah anak kedua dari 7 bersaudara. Abangnya Sahala Simatupang di kemudian hari menjadi Direktur PTT (Pos,Telefon dan Telegraf). Adiknya DR. Maruli Simatupang bekerja dan berdomisili di Jerman. Salah seorang adik perempuannya adalah Guru Besar Universitas Indonesia, yaitu Prof.Tapi Omas Simatupang.


MASA BERSEKOLAH



14090660531311806084

Internet



Pendidikan dasar (HIS) ditempuh TB Simatupang di Pematang Siantar dan lulus tahun 1934. Bonar kecil termasuk murid terbaik di sekolahnya. Pada waktu kelas 6 dan 7, dia menjadi asisten guru untuk mengumpulkan karangan teman-temannya dalam bahasa Belanda, kemudian memberi nilai sebelum diserahkan ke guru Belanda. Pendidikan di HIS menjadikan dia dan kawan-kawannya menjadi potensi nasionalis-nasionalis Indonesia.


Kemudian beliau melanjutkan pendidikan di MULO (setingkat SMP) Dr. Nomensen di Tarutung dan lulus tahun 1937. Sekolah ini merupakan sekolah elit bagi masyarakat elit Kristen Batak dan tergolong sekolah MULO terbaik di Hindia Belanda. Selain Matematika, bahasa Belanda dan Bahasa Inggeris, Tahi Bonar juga beroleh kesempatan belajar bahasa Jerman dan Perancis karena memiliki nilai yang baik. Sekolah ini memiliki disiplin yang sangat ketat, mirip kehidupan asrama militer ditambah kegiatan keagamaan.


Setelah merantau ke Jakarta, TB simatupang mengikuti pendidikan di AMS Salemba karena belum ada sekolah setingkat SMA di Sumatera. Saat di sekolah ini Simatupang selalu mencapai angka terbaik di kelasnya, termasuk dalam bahasa Belanda. Murid-murid Indonesia saat itu sudah memiliki solidaritas untuk membuktikan mereka tidak kalah dengan murid-murid Belanda. Saat belajar pelajaran sejarah, Simatupang mendebat guru sejarahnya hingga dia diusir, karena gurunya dianggap terlalu merendahkan kemampuan bangsa Indonesia.Gurunya, Meneer Haantjes, menyatakan bahwa penduduk “Hindia Belanda” tidak mungkin bersatu mencapai kemerdekaan karena perbedaan besar di antara suku-suku, dan bahwa penduduk “Hindia Belanda” tidak mungkin membangun tentara yang modern untuk mengalahkan Belanda karena fisiknya yang pendek tidak mengijinkan untuk tentara yang baik. Simatupang menyatakan Meneer Haantjes telah menyebarkan mitos yang ketidakbenarannya akan dibuktikan sejarah selanjutnya. Direktur sekolah, Meneer de Haan, seorang Calvinis yang taat, memberikan nasehat padanya agar dalam mengemukakan pendapat diusahakan tidak menyakiti hati orang lain. Semula Tahi Bonar merasa nasihat itu adalah nasihat orang yang berjiwa kolonial. Namun di kemudian hari, Simatupang merasa andaikan dia menerima nasihat direkturnya lebih sungguh, mungkin dia tidak akan mengalami kesulitan dalam kehidupannya selanjutnya.


Tahun 1940, Belanda diduduki oleh kelompok Nazi Jerman sehingga Akademi Militer Breda di Belanda ditutup dan dipindahkan ke Bandung. Simatupang ikut mendaftar di Koninklijke Militaire Academie (KMA) Bandung. Dia sangat bersemangat mengikuti tes untuk membuktikan bahwa mitos orang Indonesia tidak akan pernah merdeka dan tidak bisa membangun angkatan Perang tidak benar. Seleksi dilakukan secara bertahap selama 9 bulan. Simatupang lulus tahun 1942 dengan mendapatkan gelar taruna mahkota dengan mahkota perak karena dinilai berprestasi khususnya di bidang teori. Rekan seangkatannya di KMA antara lain Jenderal Nasution, Alex Kawilarang,dll. Pada masa itu ,menurut Jenderal Nasution, Simatupang sudah membaca dan mendalami buku karya Carl von Clausewitz, Tentang Perang. Dalam pertemuan alumni, biasanya Simatupang yang paling banyak bicara dan memberikan analisa-analisa. Bahkan menurut Kolonel Alex Kawilarang, seandainya Simatupang orang Belanda, dia pasti akan mendapatkan mahkota emas.


KARIR MILITER


Setelah Jepang masuk dan menguasai Indonesia tahun 1942, Tahi Bonar SImatupang dan teman-temannya ditempatkan Jepang sebagai Resimen Pertama dengan pangkat Calon perwira di daerah Jakarta. Kemudian bersama-sama dengan Panglima besar Jenderal Sudirman melakukan perang gerilya melawan Belanda. TB Simatupang kemudian diangkat sebagai Wakil Kepala Staf Angkatan perang tahun 1948-1949. Di bawah kepemimpinan Jenderal Sudirman sebagai panglima,dan Letjen Urip Sumoharjo sebagai Kepala staf Umum, Simatupang ikut membantu pembangunan TNI , khususnya dalam bidang strategi dan soal-soal organisasi.


Pada tahun 1949, TB Simatupang ikut dalam rombongan Indonesia mewakili Angkatan bersenjata dalam perundingan Meja Bundar (KMB) di Den Haag. Misi utama mereka adalah mendesak Belanda menghapus KNIl dan menjadikan TNI sebagai inti kekuatan tentara Indonesia. Belanda akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia, namun Irian Barat tidak termasuk daerah yang akan diserahkan kepada Indonesia. Setelah Jenderal Soedirman wafat, beliau diangkat menjadi Kepala staf Angkatan perang pada usia 29 tahun pada tahun 1950 dengan pangkat Mayor Jenderal.


Tokoh ahli strategi perang yang dikagumi Simatupang adalah Carl von Clausewitz, dari Prusia. Menurut von Clausewitz, perang rakyat adalah perlawanan yang dilakukan oleh rakyat terhadap musuh yang menyerang negerinya. Tentara dapat membantu untuk menggerakkan perang rakyat dengan menempatkan detasemen-detasemen kecil di mana-mana, namun tidak boleh terlalu banyak pasukan yang teratur sehingga rakyat tidak merasa terdorong melawan musuh dan berharap kepada tentara. Perang rakyat dalam arti strategi bersifat mempertahankan meskipun dalam perang itu juga menjalankan taktik menyerang atau ofensif. Perang rakyat haruslah laksana embun yang terdapat di mana-mana tapi tidak dapat dipukul.Namun demikian, sewaktu-waktu embun itu harus menjadi lebih padat ,lalu melahirkan pukulan serupa haililintar.Perang rakyat lebih berhasil di negeri yang mempunyai wilayah yang luas sehingga kekuatan musuh harus berpencar.


Pemikiran Clausewitz ini dipraktekkan Perang Setelah Kemerdekaan oleh TB Simatupang dan tentara Indonesia dengan konsep Wherkreis atau daerah pertahanan. Namun ada perbedaannya, yaitu perang rakyat tapi tentara menjadi tulang punggung peperangan. Dengan konsep ini, perlawanan terhadap Belanda tidak dilakukan secara frontal, tapi dengan sistem gerilya dengan memanfaatkan penguasaan terhadap medan. Kalau pasukan kita lebih kuat daripada Belanda di suatu daerah, maka perlawanan dilakukan dengan menggempurnya sekuat tenaga. Namun jika pasukan Belanda lebih besar dan lebih kuat, maka pasukan kita menghilang, namun pasukan kita tetap berada di daerah pertahanan yang ditentukan.




Peristiwa 17 Oktober 1952


Pada tanggal 17 oktober 1952 terjadi demonstrasi di Jakarta yang menuntut pembubaran parlemen. Terdapat meriam-meriam yang ditempatkan dengan moncong menghadap Istana Negara, yang dianggap sebagai suatu upaya militer untuk menekan Presiden Soekarno. Ada kabar juga bahwa Kolonel Bambang Soepeno menemui Presiden Soekarno menyampaikan tekad para panglima Divisi untuk meminta agar Kolonel Haris Nasution dicopot dari jabatannya sebagai KSAD.


Pagi itu Simatupang , Menteri Pertahanan Sultan Hamengkubuwono IX dan KSAD Kolonel Nasution menemui presiden untuk mengkonfirmasi kebenaran berita tersebut dan sikap presiden mengenai usulan Bambang Soepeno. Presiden Soekarno menyatakan bila itu memang benar dia mempersilahkan diganti. Tanpa ragu TB Simatupang menyatakan bahwa Presiden telah melakukan kesalahan yang sangat besar dan mendasar. Sistem di Angkatan Bersenjata akan terganggu bila panglima divisi bisa meminta KSAD untuk dicopot, dan seterusnya, Panglima Divisi bisa dicopot bila ada pengaduan dari bawahannya. Simatupang tegas menyatakan ke Presiden, selama dia menjabat KSAP, dia tidak akan membiarkan itu terjadi.


Pertentangan dengan Soekarno berakhir dengan dihapuskannya jabatan KSAP. Simatupang kemudian dialihkan sebagai penasehat militer Menteri Pertahanan. Selama non aktif di dinas kemiliteran, Simatupang menyibukkan diri dengan menulis buku dan mengajar di SSKD (Sekolah staf Angkatan darat), sekarang Seskoad, dan Akademi Hukum Milter. Beliau sangat menyadari waktunya di militer akan segera berakhir. Untuk itu ada hal yang ingin dilakukannya sehingga perannya di militer bisa berlanjut yaitu dengan menyiapkan Doktrin dan Kader melalui tulisan dan membekali perwira-perwira di sekolah militer. Akhirnya beliau resmi dipensiunkan dari dinas militer tgl 21 Juli 1959 dalam usia 39 tahun.


Dalam tulisan refleksi mengenai apa yang terjadi pada masa itu, berjudul “Dua Puluh Tahun setelah Peristiwa 17 Oktober 1952”, TB Simatupang menyatakan ada 4 segi dalam masa transisi dari suasana perjuangan di Yogyakarta dan suasana Jakarta setelah pengakuan kedaulatan berdasarkan Konferensi Meja Bundar. Pertama, adalah masalah kedudukan presiden Soekarno. Dengan penerapan sistem parlementer sesuai konstitusi Republik Indonesia Serikat, presiden Soekarno dijadikan Presiden Konstitusional. Dalam bidang pertahanan, Presiden Soekarno tidak lagi menjadi Panglima Tertinggi atas Angkatan Perang dalam arti sesungguhnya, namun hanya bersifat simbolik dan seremonial. Penanggung-jawab Angkatan Perang adalah kabinet, khususnya Menteri Pertahanan. Presiden Soekarno tidak menyukai kedudukannya yang hanya sebagai Kepala Negara dan merasa seolah-olah dimasukkan dalam sangkar. Peristiwa yang terjadi sebelum, pada saat dan sesudah peristiwa 17 Oktober 1952 merupakan upaya permulaan Presiden Soekarno untuk lepas dari sangkar itu.


Kedua, adalah segi politik. Proses transisi menciptakan kondisi politik yang berbeda dibandingkan saat di Yogyakarta. DPR yang merupakan hasil kompromi antara RI dan golongan federal sebagian terdiri dari eks federalis, sedangkan Angkatan Perang, walaupun sebagian terdiri dari eks KNIL, tetap dipimpin oleh TNI. Akibatnya ,penghargaan TNI terhadap DPR tidak begitu tinggi. Kabinet Wilopo didukung oleh kombinasi tiga kelompok politik yang menjadi dasar kepemimpinan umumnya kabinet ,yaitu kombinasi PNI-Masyumi-PNI, ditambah Parkindo dan Partai katolik. Kombinasi tiga kekuatan politik itu kemudian pecah sebelum, selama dan sesudah peritiwa 17 Oktober 1952, sehingga tidak ada lagi kombinasi kekuatan politik yang cukup berwibawa terhadap presiden dan angkatan perang. Sejak itulah peranan politik Presiden Soekarno dan Angakatan Perang semakin meningkat.


Ketiga, peralihan dari zaman perjuangan di Yogyakarta ke zaman Jakarta membawa perubahan yang besar bagi Angkatan perang. Untuk menyikapi hal tersebut, TB Simatupang sebgai Kepala Staf Angkatan Perang bersama Kolonel Abdul Haris Nasution (KSAD), Kolonel Soebijakto (KSAL), Komodor Soeryadarma (KSAU), mengembangkan pokok pikiran untuk kemajuan Angkatan perang yang melahirkan Sapta Marga, Sistem perang Wilayah, peningkatan pengetahuan dan keterampilan militer Angkatan Perang melalui sistem pendidikan yang lengkap, menempatkan TNI sebagai faktor yang membantu stabilitas dan kesatuan agar masyarakat memperoleh kesempatan untuk mencapai kemajuan dalam semua bidang.


Kebijakan ini menimbulkan integrasi, reorganisasi, pendidikan ulang, mutasi, dan lain-lain yang dilaksanakan untuk peningkatan mutu Angkatan Perang yang diwariskan perang gerilya. Akibatnya banyak perwira yang kurang setuju dan kemudian mengadakan hubungan dengan presiden soekarno dan golongan politik yang tidak mendukung kabinet Wilopo. Salah satunya adalah Kolonel Bambang Soepeno yang mendatangi para panglima divisi dan menyatakan jenderal nasution akan dicopot dari jabatannya sebagai KSAD.


Keempat, adalah hubungan dengan Belanda yang makin memburuk akibat masalah Irian Barat. Belanda sangat ngotot unduk mempertahankan Irian Barat sehingga dasar persahabatan yang dicapai selama Konperensi meja Bundar di Den Haag tahun 1949 makin lama makin goyah.


Ironisnya adalah, Presiden Soekarno kembali mengangkat Kolonel Nasution sebagai KSAD tahun 1955, karena penggantinya Kolonel Bambang Soegeng, kemudian Kolonel Bambang Utoyo tidak mampu memenuhi harapan Presiden Soekarno. Artinya , kelompok Bambang Soepeno tidak memiliki kemampuan dalam memimpin Angkatan Darat dan memberikan alternatif terhadap program pembangunan, profesionalisai dan modernisasi yang dicanangkan Mayjen Simatupang dan Kolonel Nasution.


Kehidupan Pascamiliter


Setelah berhenti dari dunia militer, TB Simatupang semakian giat menulis dan menjadi pengurus di Dewan Gereja-gereja Indonesia, Ketua Dewan Gereja se Asia (CCA), Ketua Dewan Gereja se Dunia (WCC), Ketua Yayasan Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta, pendiri Institut Pendidikan dan Pembinaan Manajemen (IPPM) Jakarta, selain tetap mengajar di lembaga pendidikan militer seperti Seskoad dan Akademi Hukum Militer. Simatupang sendiri sebenarnya merasa, dan banyak orang bahwa ada juga gunanya dia cepat pensiun dari militer karena memungkinkan dia aktif dalam dunia pemikiran yang tidak mungkin dilakukannya seandainya masih aktif di militer.Ada tiga pokok pikiran yang menjadi perhatian utama TB Simatupang, yaitu pembangunan sebagai kelanjutan dari Revolusi, Peranan militer dalam Negara berkembang dan Sumbangan Gereja dan Agama-agama dalam perkembangan bangsa dan Negara.


Pembangunan sebagai Lanjutan Revolusi


TB Simatupang sangat sering menyampaikan pemikiran bagaimana mengembangkan model pembangunan yang mampu membawa bangsa Indonesia lebih maju dalam melaksanakan cita-cita revolusi kemerdekaan, sehingga dapat menghindari kegagalan dalam pembangunan seperti yang dialami Iran, Cina dan Negara-negara Amerika Latin. Walau Negara-negara Amerika Latin sudah merdeka 200 tahun, namun mereka tidak mengalami kemajuan seperti Amerika Serikat dan Kanada (Amerika Utara) karena terjadinya kudeta yang terus menerus oleh pihak militer. Cina juga mengalami kegagalan setelah Kuomintang dikalahkan oleh kaum Komunis yang akhirnya memerintah Cina.


Simatupang mengajukan konsep Pembangunan sebagai Pengamalan Pancasila yang kemudian diterapkan oleh pemerintahan Presiden Soeharto. Yang dimaksudkan di sini adalah bagaiman mengoperasionalkan, memfungsionalkan, menerapkankan ,atau singkatnya mengamalkan semua sila Pancasila melalui perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Sehingga, Pancasila tidak hanya menjadi teori semata , melainkan menjadi hal yang konkrit dalam hidup manusia, masyarakat dan Negara. Pancasila tidak hanya ada di tempat penataran tapi juga di pusat-pusat perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan. Dengan demikian , tolak ukur keberhasilan proyek atau program pembangunan tidak hanya dinilai secara kuantitatif dari peningkatan GNP, tetapi juga secara kualitatif dari dampak yang menguntungkan pengamalan semua sila Pancasila. Misalnya, semakin ada pengamalan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, berarti semakin ada segi-segi spiritual, moral dan etik. Semakin ada pengamalan Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, berarti semakin ada ada hak-hak asasi manusia. Semakin ada pengamalan sila Persatuan Indonesia, artinya makin ada solidaritas nasional.-


Peran Gereja dalam pembangunan


Dalam tulisannya berjudul, “Tugas ‘Kaum Awam’ di Bidang Politik”, TB Simatupang berpendapat bahwa semua anggota Gereja bersama-sama bertanggung jawab atas tugas atau panggilan gereja menurut anugerah yang diberikan kepada masing-masing ,melalui partisipasinya dalam kehidupan gereja serta melalui hidup dan pekerjaannya dalam masyarakat. Itu berarti semua anggota Gereja harus diperlengkapi untuk menjadi anggota yang akil balig dan tidak terombang-ambing oleh rupa-rupa pengajaran (Ef 4:14). Semua anggota Gereja harus belajar. Harus ada pembaharuan pemahaman mengenai hakikat dan tugas gereja sehingga Gereja tidak hanya dipandang sebagai organisasi yang mengadakan kebaktian setiap hari Minggu, kebaktian-kebaktian rumah tangga, mengunjungi orang sakit dan kesusahan hingga mengubur orang mati.


Ditegaskan oleh beliau bahwa, hakikat dan tugas Gereja harus dilihat dalam rencana Allah, yang dalam Kristus telah menjadikan semuanya baru. Diantara kedatangan pertama dan kedatangan kedua kristus, Gereja terpanggil untuk memproklamasikan pembaruan dan penyelamatan dalam Kristus dan untuk mengambil bagian dalam transformasi dan pembaruan sejarah. Ini berarti orang-orang Kristen harus turut serta terus menerus membaharui dan menyempurnakan peri kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, maka peri kehidupan Gereja sendiri harus diperbarui terus menerus di bawah bimbingan Roh Kudus.


Titik tolak tugas orang-orang Kristen bukanlah situasi dimana kita hidup, tetapi Kristus yang telah memanggil dan mengutus kita ke dalam dunia (Yoh 17:18). Hakikat tugas kita adalah rencana Dia yang mengutus kita. Namun tugas itu dilaksanakan dalam situasi historis. Ilmu Politik, sosiologi, ilmu Ekonomi, ilmu sejarah dan lain-lain, memberi bahan bagi kita untuk terus menerus berusaha memahami kehendak Allah dari kita di tengah-tengah situasi dimana kita ditempatkan.


Dalam keadaan yang kita hadapi di Indonesia sekarang dan di masa yang akan datang, maka sangat perlu Gereja-gereja kita bersama-sama memberikan bimbingan dan pendidikan kepada semua orang Kristen melalui seruan, tulisan di surat kabar, majalah dan melalui pendidikan-pendidikan, yang mengandung unsur-unsur teologi, politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan, mengenai persoalan-persoalan “Kenapa dan untuk apa orang-orang Kristen berpartisipasi dalam bidang politik dan pemerintah?”


Menurut TB simatupang, partisipasi orang-orang Kristen dalam bidang politik dan pemerintahan tidak semata untuk membela kepentingan orang-orang Kristen, melainkan agar potensi umat Kristen berupa tenaga, daya juang kritis dan kreatif, pemikiran politik Kristiani mengenai manusia, masyarakat dan Negara, bisa seutuhnya disumbangkan untuk kemajuan masyarakat dan Negara kita. Partisipasi itu harus dipahami sebagai tugas yang diberikan oleh Tuhan sendiri untuk melayani kepentingan masyarakat.


Karya Tulis


Selama hampir 40 tahun, TB Simatupang telah menerbitkan karya tulis dalam bentuk buku maupun artikel. Sebagian buku merupakan kumpulan artikel yang diterbitkan di media massa. Karya tulisnya antara lain:



  • Pelopor Dalam Perang, Pelopor Dalam Damai, Jakarta, Yayasan Pustaka Militer, 1954

  • Laporan dari Banaran : Kisah Pengalaman Seorang Prajurit Selama Perang Kemerdekaan, Jakarta: PT. Pembangunan, 1960

  • Tugas Kristen Dalam Revolusi, Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1967

  • Peranan Angkatan Perang Dalam Negara Pancasila yang Membangun, Jakarta: Idayu, 1980

  • Iman Kristen dan Pancasila , Jakarta; BPK. Gunung Mulia, 1984

  • Kehadiran Kristen Dalam Perang, Revolusi dan Pembangunan: Berjuang Mengamalkan Pancasila Dalam Terang Iman, Jakarta: BPK, Gunung Mulia, 1986

  • Dari Revolusi ke Pembangunan, Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1987

  • Membuktikan Ketidakbenaran Suatu Mitos, Menelusuri Makna Pengalaman Seorang Prajurit Generasi Pembebas Bagi Masa Depan, Masyarakat, Bangsa dan Negara, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991

  • Peranan Agama dan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Dalam Negara Pancasila yang Membangun, Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 1996



Untuk memperingati ulang tahun ke 70 tgl 28 Januari 1990, TB Simatupang sudah mempersiapkan buku memoarnya 1 tahun sebelumnya. Di tengah sakit yang dideritanya, Simatupang berpacu dengan waktu untuk menyelesaikannya. Tgl 30 Desember 1989, Simatupang menulis artikel terakhir di Harian Suara Pembaruan. Dan ketika matahari pagi membuka hari baru di tgl 1 Januari 1990, TB Simatupang kembali ke haribaan penciptanya yang telah dilayani sepanjang hidupnya, meninggalkan istri, Sumiarti Budiardjo, dan 4 orang anak, Marsinta Hatigoran, Toga Paruhum, Siadji Sondang Parluhutan dan Ida Apulia Simatupang.



PENUTUP


Tgl 8 November 2013, dalam rangka memperingati Hari Pahlawan, Presiden Susilo Bambang Yudohono menganugerahkan Gelar Pahlawan Nasional untuk Letjen (Pur). Tahi Bonar Simatupang atas pengabdian dan karya baktinya untuk Negara. Sepanjang hidupnya, beliau telah mempelopori hal-hal yang menurut orang lain tidak mungkin. Namun Simatupang telah membuktikan bahwa hal itu bisa diraih. Lima puluh tahun telah berganti sejak karirnya dihapus. Akan tetapi, karya dan buah pikiran sang jenderal masih semerbak. Harum bagai ruap kopi yang dipetik dari ladang-ladang di bukit Sidikalang.


Bahan bacaan :



  1. Pelopor Dalam Perang, Pelopor Dalam Damai ,Terbitan Ulang, Jakarta, Penerbit Sinar Harapan, 1981

  2. Dari Revolusi ke Pembangunan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987

  3. Saya adalah Orang Yang Berhutang , 70 tahun Dr. TB Simatupang, Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1990

  4. Membuktikan Ketidakbenaran Suatu Mitos, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991

  5. Para Tokoh Angkat Bicara, Buku 2, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995



Internet


1. Peristiwa 17 Oktober 1952, http://ift.tt/1gkqc08


2. Menyoal Tragedi 17 Oktober 1952, http://ift.tt/1qp8GxK







Sumber : http://ift.tt/1tQEvyU

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz