Suara Warga

Revolusi Mental Prabowo

Artikel terkait : Revolusi Mental Prabowo

Revolusi Indonesia mengemuka, konon bukan semata-mata hasil karya kecerdasan otak seseorang pemimpin, tetapi bisa jadi akibat keadaan masyarakat/bangsa secara nasional dan internasional pada waktu itu sehingga memicu perlawanan.

Revolusi didefinisikan secara ringkas sebagai perubahan yang berlangsung secara cepat dan menyangkut sendi kehidupan dasar masyarakat. Revolusi memerlukan seorang pemimpin, ditambah dengan kendaraan (organisasi/partai) untuk mengusung ideaologi pemimpin tersebut.

Salah satu contoh revolusi yang termasyur di masa lalu adalah revolusi industri. Revolusi Industri muncul antara tahun 1750-1850 dengan ditandai terjadinya perubahan secara besar-besaran di bidang pertanian, manufaktur, pertambangan, transportasi, dan teknologi serta memiliki dampak yang mendalam terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan budaya di dunia.

Revolusi Industri menandai terjadinya titik balik besar dalam sejarah dunia, hampir setiap aspek kehidupan sehari-hari dipengaruhi oleh Revolusi Industri, khususnya dalam hal peningkatan pertumbuhan penduduk dan pendapatan rata-rata yang berkelanjutan dan belum pernah terjadi sebelumnya. (Wiki)

Revolusi Indonesia dimulai pada tanggal 17 Agustus 1945. Hari itu, kata Soekarno, Indonesia lepas dari imperialisme bangsa lain. Proses untuk lepas dari imperialisme itu adalah proses revolusioner. Karena revolusi saat itu benar-benar bertujuan untuk melawan penjajah, dan memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan negara. Dalam perjalanannya, revolusi akan mengalami pahit getir, diantarnya perbuatan oknum-oknum yang kontra revolusi. Kontra revolusioner tersebut sering dinamakan antek imperialis (penjajah).

Seperti definisi revolusi di atas, yakni menjebol dan membangun, maka proklamasi 17 Agustus 1945 menjebol kolonialisme dan imperialisme, dan kemudian membangun negara Indonesia merdeka. Soekarno meletakkan proklamasi 17 Agustus 1945—sering disebut “Revolusi Agustus”—sebagai bagian dari tahapan revolusi Indonesia.

Semasa perang revolusi, tersebutlah Soeharto, selanjutnya menjadi presiden RI kedua, sebagai salah satu ‘buronan’ tentara Belanda. Setelah Serangan Umum 1 Maret 1949 yang terkenal itu, Dusun Kemusuk, tempat kelahiran Soeharto, dan desa sekitarnya sempat diserbu pasukan Belanda dalam rangka memburu Soeharto. Serangan ini menelan korban sekitar 300 orang baik dari Kemusuk atau desa-desa lain. Pada titik ini, setiap peristiwa berbentuk revolusi tidaklah gratis, dalam prosesnya, ia meminta korban.

Korban lainnya dalam revolusi Indonesia adalah gugurnya Letjen Achmad Yani, Mayjen Mas Tirtodarmo Harjono, Mayjen Siswondo parman , Mayjen Suprapto, Brigjen Donald Isaac Pandjaitan, Brigjen Sutojo Siswomihardjo dan Lettu Pierre Tendean. Peristiwa menyayat hati ini, dinamakan Gerakan 30 September (G30S)

Jenazah para pahlawn revolusi tersebut ditemukan terkubur menjadi satu di dalam sumur tua di Lubang Buaya pada tanggal 4 Oktober 1965. Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) menjaga ketat lokasi sekitar Lubang Buaya itu dengan senjata terisi penuh. Karena pada malam sebelumnya pasukan Cakrabirawa mencoba mengambil jenazah tersebut. Upaya itu gagal karena pasukan RPKAD berhasil mengusir mereka setelah didahului dengan pertikaian dengan menggunakan senjata. Pertikaian ‘antar saudara’ dalam proses revolusi Indonesia ini akhirnya menjadi salah satu momen paling menentukan sejarah Orde Baru. Sebagai balas dendam, kelak lebih dari satu juta anggota dan kader PKI turut menjadi korban Revolusi Oktober.

Soeharto bertekad menumpas PKI hingga ke akar-akarnya setelah tujuh perwira TNI AD ditemukan dalam keadaan tewas di Lubang Buaya itu. “Saya mesti mengadakan pengejaran, pembersihan dan penghancuran,” kata Soeharto dalam Otobiografi Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya.

Berbeda perasaan Soeharto, berbeda pula perasaan Soekarno sebagai presiden kala itu. Perbedaan argumen terjadi antara keduanya, terlebih setelah Bung Karno menyebut peristiwa G30S adalah sebuah riak kecil di samudera. Saat itu Bung Karno dicurigai memiliki hubungan dekat dengan PKI dan sejumlah tokohnya.”Soeharto, kejadian seperti ini kejadian biasa dalam revolusi,” lagi-lagi konon kata Soekarno pada Soeharto. “Apa yang terjadi dengan G30S itu hanyalah ‘een rimpeltje in de oceaan’ (sebuah riak kecil di samudera).” Ucapan ini tentu saja membuat ‘tanduk’ Soeharto keluar (marah).

Akibat situasi yang memanas itu, timbullah masa di mana Indonesia lowong kepemimpinan, dimulai pada awal Oktober 1965 sampai dengan Maret 1966 (sekitar enam bulan). Bung Karno masih menjabat sebagai presiden resmi, tetapi sudah tidak punya kuasa lagi. Beliau dilarang meninggalkan Istana Bogor atau lebih tepatnya menjadi ‘tahanan rumah.’ Sejak saat itu pula, dia menjadi ‘korban’ Revolusi Oktober, hingga akhir hayatnya mengundang.

Presiden terpilih Jokowi menggelindingkan konsep revolusi mentalnya dalam banyak kesempatan. Revolusi mental ini menjadi trade-mark (merek dagang) nya. Dibandingkan dengan Prabowo rivalnya, Jokowi sebagai calon pemimpin, selain memiliki PDIP sebagai kendaraan politiknya, dia telah membangun ideologinya sendiri. Sebuah ideologi yang akan dipakai sebagai landasan membangun Indonesia kelak.

Revolusi mental adalah proses perubahan mendasar dalam cara hidup, diantarnya cara berpikir, cara memandang masalah, cara merasa, mempercayai/meyakini, cara berperilaku dan bertindak masyarakat, dalam hal ini rakyat Indonesia. Jika bagian bangsa Indonesia tersebutlah nama Prabowo, maka perubahan mendasar itu diantaranya tentang sikap legowo menerima kekalahan dalam sebuah fair play. Kekalahan dan kemenangan pilpres 2014 pun telah diketok palu oleh Mahkamah Konstitusi pada tanggal 21 Agustus 2014 lalu.

Bahkan Soehato pun, mantan mertua Prabowo, kepada Soekarno, berusaha untuk mendhem jero lan ngangkat dhuwur (menyimpan di hati sedalam-dalamnya serta menghormati setinggi-tingginya) seniornya tersebut.

Rencana gugatan Prabowo ke Pengadilan Tata Usaha Negara lebih banyak berdampak negatif. Langkah ini akan memicu masyarakat untuk menilai Prabowo tak legawa terhadap hasil pemilu presiden. “Masyarakat jenuh dengan sengketa pemilu yang tak kunjung usai,” kata Hanta Yudha Direktur Eksekutif Pol-Tracking Institute Jumat, 22 Agustus 2014.

Di tempat lain, pengajar Psikologi di Universitas Indonesia (UI), Prof Hamdi Muluk, berpendapat capres Prabowo Subianto mengalami masalah psikologi, masalah mental, yakni tidak percaya pada realitas kebenaran. Dia hanya percaya pada apa yang ada di benaknya.

Prabowo Subianto menyatakan masih ada jalan lain untuk mendapatkan keadilan dalam sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) terkait Pilpres 2014 selain melalui proses peradilan di Mahkamah Konstitusi (MK). “Kita masih ada jalan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), kita juga masih bisa ke Mahkamah Agung (MA),” katanya di Bandung, Selasa 19 Agustus 2014. Selain itu, Prabowo mengungkapkan pihaknya juga masih memiliki jalur politik di DPR RI dari Partai Koalisi Merah Putih yang memiliki jumlah kursi 63 persen. “Kekuatan politik kita juga masih sangat kuat,” tandasnya.

Selain sikap tidaklegowonya Prabowo, tim Hukum Prabowo-Hatta Maqdir Ismail mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak seluruh permohonan Prabowo-Hatta atas pelaksanaan pilpres 2014 menyisakan luka yang tak bisa disembuhkan. Mungkin ini tanda ‘kelemahan sisi mental’, yang harus diobati dengan rumusan revolusi mental. Karena itu sebaiknya, kita tunggu titik perhentiannya kelak di kemudian hari.





Sumber : http://ift.tt/1qDb93W

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz