PP 48/2014 diberlakukan, ‘pungli’ biaya nikah kini diduga via Modin
Praktik pemungutan biaya administrasi pencatatan nikah jauh di atas biaya resmi yang ditetapkan pemerintah, ternyata masih terus berlangsung. Padahal, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48 Tahun 2014 mengenai biaya nikah. Di wilayah Kota Semarang, praktik ‘pungli’ itu diketahui terjadi di sejumlah wilayah.
Di Kecamatan Tembalang misalnya, AA (22) mengaku terkejut diminta membayar sedikitnya Rp 850.000,- untuk biaya menikahi calon isterinya yang merupakan warga Kecamatan Tembalang. Informasi itu didapatnya saat hendak mendaftarkan rencana pernikahan yang akan dilangsungkan pada akhir Agustus 2014 nanti.
“Sesuai prosedur, saya melakukan pendaftaran pernikahan ke Modin kelurahan, kemudian modin yang mengurus ke KUA (Kantor Urusan Agama -red.) Tembalang. Setelah itu, modin datang ke rumah memberitahukan biaya pernikahan sebesar Rp 600.000 ditambah uang modin 250.000 rupiah,” ungkapnya saat ditemui, Senin (11/08).
Dia mempertanyakan, mengapa biaya administrasi bisa sebesar itu. AA mengaku dapat memahami jika harus mengganti biaya transport karena pernikahan akan dilangsungkan di rumah calon isterinya. “Tapi tentu besarannya tidak sampai sejumlah itu,” jelasnya sambil geleng-geleng kepala.
Sementara itu, Fit (22) warga Kecamatan Gayamsari, Kota Semarang, juga punya pengalaman serupa. Ia berencana menikah sekitar lima bulan lagi. Jauh-jauh hari ia membuat rencana anggaran untuk acara sakral itu. Saat mencari informasi mengenai biaya pencatatan nikah, ia kaget. “Biayanya sampai sekitar 900 ribu rupiah,” akunya.
Sejak bulan Agustus 2014, pemerintah memberlakukan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48 Tahun 2014 tentang tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak (PNBP) di lingkungan Kemeterian Agama. Salah satunya mengatur soal biaya nikah.
PP itu mengatur bahwa pencatatan nikah di luar kantor atau di luar jam kerja dikenai biaya Rp 600 ribu per pencatatan. Sebelum aktivitas pencatatan nikah, masyarakat harus setor ke bank dulu kemudian membawa bukti setoran ke petugas KUA. Bank yang ditunjuk adalah Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Negara Indonesia (BNI) dan Bank Tabungan Negara (BTN).
Penyetoran biaya melalui bank itu sejatinya dihajatkan untuk menutup peluang adanya ‘pungli’. Sayangnya, meski diatur sedemikian rupa, masih ada celah bagi praktik itu. Pengurusan pencatatan nikah oleh warga, lazimnya dilakukan melalui perangkat di desa atau kelurahan yang disebut Petugas Pembantu Pencatatan Nikah atau lebih dikenal sebagai Modin.
Nah, para modin inilah yang ditengarai menjadi penghubung ‘pungutan liar’ oleh petugas pencatat nikah dari KUA kepada warga. Pasalnya, dengan ketatnya regulasi dan setoran melalui bank, nyaris tak ada lagi jalan mendapatkan ‘uang lebih’ tanpa komunikasi intensif dan layanan pengurusan administrasi pencatatan nikah melalui Modin itu.
Praktik ‘pungutan liar’ dalam pencatatan pernikahan oleh KUA ini, selain merugikan masyarakat, tentu saja merugikan Negara. Betapa tidak, akan berapa banyak lagi dana masyarakat yang dikumpulkan oleh para pelayan publik ini yang bakal tidak tercatat sebagai penerimaan negara dan tidak disetorkan ke kas negara?
Sumber : http://ift.tt/1r4IomY