Suara Warga

Pidato Terbaik dan Paling Mengesankan Presiden SBY

Artikel terkait : Pidato Terbaik dan Paling Mengesankan Presiden SBY



14081063561701081828 SBY Pada pidato terakhirnya sebagai Presidan RI. Sumber gambar: Lipsus.Kompas.com



Sempat beberapa kali mengikuti pidato kenegaraan Presiden SBY, maka menurut saya pribadi, pidatonya hari ini, yang merupakan pidato terakhir dia sebagai Presiden Republik Indonesia, adalah pidatonya yang terbaik dan paling berkesan. Seperti biasanya, SBY berpidato dengan sangat lancar dan berwibawa. Bicara tanpa menggunakan teks tertulis namun tetap terstruktur, sistematis dan total. Maklumlah, ia sudah sepuluh kali dalam 10 tahun ini berpidato di podium tersebut. Menjadikan ia menguasai betul ‘suasana’ ruangan yang dapat menampung ribuan orang itu. Banyak hal menarik dalam isi pidato SBY ini, terkesan begitu ‘membumi’ tetapi tetap dihiasi begitu banyak singkatan maupun ungkapan berbahasa Inggris. Menandakan betapa cakapnya ia memainkan perannya sebagai seorang orator ulung.

SBY menampilkan dirinya sebagai sosok negarawan tulen dengan gaya berpidato klasik tapi padat berisi, pun juga dengan nada suara tetap terjaga sepanjang pidatonya, meski sedikit tersendat di akhir (karena mungkin menahan haru). Tatapan mata, raut wajah juga menunjukkan bahwa ada banyak ‘gejolak’ di sana. Keseriusan, kegetiran, kelucuan, serta keharuan.

Raut keseriusan amat sangat terlihat di sana tatkala dia sementara menyampaikan hal-hal yang dirasa amat penting dan serius. Umpamanya ketika ia menyampaikan betapa pentingnya kita menjaga keutuhan NKRI ini. Serta betapa berbahayanya gerakan ISIS yang sudah mulai masuk Indonesia. Juga ketika ia menyampaikan tentang pentingnya demokrasi dan daulat hukum. Begitu pula tentang korupsi. Dengan nada getir, setengah menahan rasa marah, SBY mengatakan bahwa hukum itu tidak pandang bulu, makanya penguatan terhadap KPK itu perlu dan ia tidak akan pernah kompromi dengan yang namanya koruptor, termasuk pemberantasan mafia peradilan. Bayangkan saja, 176 Kepala Daerah kita adalah koruptor dan 277 pejabat negara adalah juga koruptor. Jadi kalau dulu kita itu punya semboyan daulat politik dan daulat ekonomi, maka di era reformasi kita harus punya daulat hukum! Mestinya, tidak boleh ada siapapun yang bisa lolos dari jerat hukum bila ia terbukti korupsi.

Ada juga nada kebanggaan serta raut wajah gembira ketika menyampaikan banyaknya pencapaian Indonesia selama 10 tahun kepemimpinannya, termasuk bagaimana Indonesia punya andil dengan memberikan masukan sangat berharga kepada IMF dalam rangka mereformasi lembaga tersebut. Setelah sebelumnya Indonesia juga sangat mampu mengembalikan pinjaman ke IMF bahkan sebelum tanggal jatuh tempo tiba.

Nah, saya pribadi masih ingat betul, bahwa kebanggaan sebagai suatu bangsa yang besar mestinya memang benar-benar melekat di setiap sanubari anak negeri ini. Ketika kita mampu dan sanggup berbuat yang terbaik buat negeri ini, tentu akan ada rasa bangga dan haru di dalam dada. Lihat saja para atlet olimpiade kita yang sanggup menyumbang medali buat negaranya, ketika lagu Indonesia Raya dinyanyikan, bendera Merah Putih dinaikkan, tangan-tangan mereka memegang dada sambil tak kuasa menahan air mata haru dan bangga. Lihat juga mereka, putra-putri kita yang mewakili provinsi masing-masing menuju Istana untuk pengibaran Sang Saka Merah Putih di setiap 17 Agustus, betapa bangganya mereka sampai menitikkan air mata karenanya. Atau setiap anak bangsa yang menjadi utusan mewakili negara ke kancah internasional.

Sewaktu di Amerika Serikat, sempat beberapa kali saya menghadiri diskusi ‘antar kebangsaan’ yang dihadiri banyak orang dari berbagai kebangsaan dan negara. Ketika saat itu saya memegang bendera Merah Putih perasaannya sungguh luar biasa. Ada semacam semangat dan gelora membara dalam diri ini untuk supaya semakin membanggakan negeri ini. Rasa-rasanya kita memang sudah seharusnya bangga punya negeri yang ternnyata dikagumi banyak bangsa lain. Untuk itu jugalah maka saya kemudian mengumpulkan beberapa teman dan mendirikan organisasi bernama Kerukunan Keluarga Nusantara yang lantas didaftarkan secara resmi di East Coast (Wilayah Timur) Amerika.

Meski tentu saja rasa kebanggaan kita itu tidak mesti berlebihan dengan menampik dan menisbikan berbagai carut marut serta kesenjangan yang masih saja terus hadir di negeri kita yang kaya raya ini. Kita tidak boleh menutup mata terhadap banyaknya kekurangan di negeri kita. Akan tetapi kita juga tidak serta merta menutup mata terhadap berbagai pencapaian positif negeri kita.

Pidato SBY kali ini juga terbilang istimewa oleh karena bertepatan dengan adanya PILPRES dan merupakan pidatonya yang terakhir kali. Pidato kenegaraannya yang ke-10. Saya melihat pidato SBY tadi pagi menunjukkan ada ketulusan di sana. Ia berkata-kata begitu tulus dan sangat ‘berdaging’. Pidato yang ‘gemuk’ makna serta punya nilai positif yang membangun. Tidak Nampak sama sekali kesan arogansi atau keangkuhan dalam setiap kalimatnya. Membanggakan keberhasilan tentu amatlah wajar dan pantas untuk dibanggakan, karena memang ia sudah melakukan banyak. Tapi bukan berarti harus jumawa dan membusungkan dada merasa paling hebat.

Banyak hal terungkap dalam pidato SBY. Termasuk bagaimana kita harus menghormati proses hukum persengketaan PILPRES yang sementara berlangsung di MK. Ia juga ‘mengakui’ bahwa rakyat memang secara suara terbanyak sudah memilih pasangan Jokowi-JK sebagai Presiden terpilih, meskipun tentu saja kita masih harus menunggu keputusan MK. Ia dengan penuh kerendahan dan kesungguhan hati berjanji akan membaktikan diri bagi negeri ini dalam bentuk apapun. Termasuk juga membantu Presiden terpilih bilamana memang diminta atau dibutuhkan. Ia tak sungkan untuk mengatakan bahwa PILPRES 2014 ini sudah berjalan dengan sangat baik, transparan, dan demokratis.


Banyak hal sudah dilakukan di era kepemimpinan SBY. Misalnya saja menurutnya ada sekitar lebih dari 500 triliun pembangunan infrastruktur itu terjadi di luar Pulau Jawa. Ini namanya pemerataan dan pembangunan secara adil. Untuk politik luar negeri, menurut SBY, ia juga tidak tutup mata dengan apa yang terjadi di Timur Tengah sana. Ia sudah berbicara dengan banyak tokoh penting dunia dalam hal penyelesaian konflik di Suriah dan Palestina tentunya. Bahkan SBY sempat menulis ‘open letter’ tentang pandangannya atas konflik yang terus-terusan berlanjut itu.

SBY juga dalam pidatonya hendak meyakinkan kita, bahwasanya penghargaan negara terhadap para TKI mestilah benar-benar mewujud nyata, bukan hanya slogan semata. TKI itu harus dilindungi, dihormati, dan jangan pula diperas sana sini. Mereka adalah aset bangsa. Menurut SBY, pada tahun 2013 ada sekita 40 ribu WNI yang menjadi TKI yang berhasil diselamatkan kembali ke Indonesia. Ada sekitar 100 orang yang dapat diselamatkan dari jerat hukuman mati. Ia bahkan pula pernah beberapa kali menulis surat pribadi ke pemimpin negara lain demi pengurangan, pembebasan, peninjauan kembali hukuman mati terhadap beberapa TKI kita.

Pada kalimat-kalimat terakhir dalam pidatonya, SBY mengingatkan kita bahwa perjuangan kita saat ini bukan lagi untuk mempertahankan kemerdekaan melainkan demi mempertahankan ke-Indonesiaan kita. Indonesia adalah negara berketuhanan dan bukan negara agama. Kita harus mampu menghormati dan merayakan perbedaan dan keberagaman itu pada tataran yang paling demokratis dan implementatif. SBY kemudian berujar, “…Dunia melihat Indonesia sebagai rujukan yang positif…” Maka menurut saya, benarlah apa yang ia katakan itu. Karena apa? Sekali lagi, oleh karena bangsa kita selalu mampu menyelesaikan konflik dan perikaian apapun secara damai dan demokratis. Apa yang pernah terjadi di Maluku, Poso, Aceh adalah pelajaran amat berharga bagi kita. Jangan pernah jatuh di lubang yang sama dua kali.

Pada bagian penutup, Presiden SBY mengatakan begini, “Inilah terakhir kalinya saya berpidato di tempat yang terhormat ini….” Dengan nada suara agak tersendat-sendat. Mungkin SBY terkenang masa-masa pengabdiannya kepada negeri yang tentu amat sangat ia cintai ini. Betapa pengorbanan dan air mata mesti banyak tercucur dalam memimpin negeri berpenduduk hampir 300 juta orang ini. Nomor empat terbesar di dunia. Ia pun menyambungnya dengan beberapa kalimat patrotik dan menggugah kita, di antaranya adalah ini, “Tidak satu menit pun saya merasa tergoda untuk menghianati tanggung jawab saya…….Sebab tanggung jawab saya adalah hanya kepada rakyat dan Tuhan…”.

SBY dengan tulus mengakui bahwa ia sudah berbuat yang terbaik yang bisa ia lakukan untuk bangsa ini, walau tentu tidak bisa menyenangkan semua orang, dan masih banyak yang tidak suka serta selalu saja ada yang memberikan banyak kritikan serta masukan. Untuk itu, ia juga minta maaf jika selama bertugas ada kekhilafan dan kelalaian yang sempat ia perbuat yang mungkin dianggap menyakiti hati rakyat.

Bagi saya, apapun itu, Presiden SBY tetaplah orang besar. Bukan hanya badannya yang besar, namun jiwanya, semangat pengabdian, dan kerjanya juga besar. Ia adalah sosok negarawan yang patut kita apresiasi dan ancungkan dua jempol. Two thumbs up.

Seperti yang SBY katakan bahwa dirinya adalah ‘hanya’ anak orang biasa dari Pacitan, yang kemudian jadi tentara, jadi menteri, lalu menjadi Presiden. Ini sebetulnya adalah cerita semangat ajakan, bahwa anak orang biasa pun bisa menjadi sesuatu yang luar biasa. Anak orang biasa menjadi orang nomor satu di negeri besar ini. Siapapun bisa menjadi luar biasa. Tentu saja. Asalkan ada kesempatan, ada usaha dan kerja keras. Makanya tak mengherankan pula ketika SBY menyinggung tentang anak tukang becak yang lulus dengan IPK 3,96. Menurutnya, mereka-mereka inilah yang akan menerobos dan menghancurkan gerbang kemiskinan, karena mereka itu pernah merasakan bagaimana susahnya hidup sebagai orang miskin. Akan bermunculuan banyak doktor dan master dari kalangan anak-anak orang miskin.

SBY menutup pidatonya dengan berucap, …”Terima kasih atas pengabdian saudara-saudara yang melampaui panggilan tugas…..”Dirgahayu Republik Indonesia!” —Michael Sendow— Twitter @Michusa2000




(Note: Karena 10 tahun sudah banyak berbuat baik itulah juga mungkin yang menjadi alasan Kompasiana menggelar event pembuatan buku 10 tahun SBY ini. Ajakan menulis buku kolaborasi tentang 10 tahun kepemimpinan SBY ini mesti kita sambut positif)




Sumber : http://ift.tt/1m1rrCk

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz