Menilai Gelagat Parpol Koalisi Merah Putih
Sejak era reformasi bergulir pada tahun 1998, maka pada tahun 2004 era baru di mana rakyat memilih langsung capres dan cawapres. Ada Lima pasangan capres dan cawapres yang berlaga memperebutkan kursi pertama dan kedua pada pemilihan umum (pemilu) presiden 2004. Kelima pasangan itu adalah Hamzah Haz-Agum Gumelar, Amien Rais-Siswono Yudohusodo, Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi, Wiranto-Salahuddin Wahid, dan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla (JK). Pemenangnya adalah SBY-JK. Dan pada tahun 2009 ada tiga pasang Capres-Cawapres, yaitu: Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) – Boediono, Megawati – Prabowo, Jusuf Kalla– Wiranto. Pemenangnya adalah SBY-Boediono.
Nah, baru kali ini dalam pilpres 2014 hanya ada dua pasang kandidat yang bertarung memperebutkan kursi RI 1 dan RI 2. Prabowo-Hatta (Prahara) bertarung melawan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK). Rapat pleno pengumuman hasil Pilpres 2014 yang dilaksanakan KPU di Jakarta, Selasa, 22 Juli 2014 menetapkan Jokowi-JK sebagai pemenang. Namun kubu Prahara tidak dapat menerima dengan lapang dada bahkan menuduh KPU telah melakukan kecurangan secara terstruktur, sistematis, dan masiv. Pada akhirnya kubu Prahara yang didukung oleh parpol yang menamakan diri koalisi merah putih (Gerindra, PAN, Golkar, PKS, PPP, dan PBB) menggugat di Makhamah Konstitusi (MK). Tapi apa daya pada muaranya MK menolak seluruh gugatan Prahara. Joko Widodo – Jusuf Kalla diputuskan sebagai pemenang yang memenangkan Pemilu Presiden 2014 dengan total perolehan suara sebesar 70.997.833 atau 53,15 %, unggul dari pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dengan perolehan suara 62.576.444 atau 46,85 %.
Kubu Prahara masih saja tidak puas dengan keputusan MK yang bersifat final dan mengikat. Mereka terus berjuang menggugat keabsahan putusan MK ini sampai hari ini. Pakar Psikologi Politik dari Universitas Indonesia, Hamdi Muluk yang juga sebagai Ketua Dewan Etik Persepi ini, mengatakan, “Prabowo Subianto mengidap gangguan psikologis, delusi. Hal ini terlihat dari realitas yang ada pada Prabowo dengan tetap menempuh jalur hukum melalui Mahkamah Agung dan Pengadilan Tata Usaha Negara terkait ditolaknya gugatannya sengketa Pilpres 2014 oleh Mahkamah Kontitusi.” Selain itu kata dia, “Negara pun harus mengambil sikap jika Prabowo masih meneruskan proses hukumnya ke PTUN ataupun ke MA, bahkan hingga Ombudsman. Indonesia adalah negara hukum, jika dibiarkan maka bisa menimbulkan efek yang tidak baik. Kalau terus-terusan kan bisa disebut makar dong.” (http://ift.tt/1tTNAIo). Juga seorang kriminolog dari Universitas Indonesia, Priyono B. Sumbogo, menilai jika ada gugatan soal hasil pemilu presiden setelah putusan Mahkamah Konstitusi, maka aksi tersebut bisa digolongkan sebagai tindakan makar. (http://ift.tt/1tTNAIr).
Terlepas dari soal aksi makar, saya melihat dari sisi yang lain. Justru aksi yang dipertontonkan oleh kubu koalisi merah putih adalah kontra produktif. Bahkan cenderung bunuh diri politik. Mereka sukar rela menerima keputusan MK yang memutuskan Jokowi-JK adalah Presiden dan Wakil presiden RI dengan amsa jabatan 2014-2019. Bahkan dalam running text dari salah satu TV swasta yang saya baca, mereka mengatakan bahwa keputusan MK meninggalkan luka yang tak tersembuhkan. Ini bukan sekadar jargon pemanis kata-kata. Namun terejawantahkan dalam gelagat sikap yang kasat mata dilihat ratusan juta rakyat Indonesia. Hanya sehari sebelum pemungutan suara Pemilu Presiden, Rabu, 9 Juli 2014, DPR hasil Pemilu 2009 mengesahkan revisi Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang dikenal dengan UU MD3. Masyarakat mengeritik. Waktu penetapan UU MD3 ini terkesan sembunyi-sembunyi dan isi dari revisi itu dianggap misterius. Tidak mengikutsertakan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Selain itu, isi revisi UU Nomor 27/2009 tersebut dinilai sangat tendensius untuk melindungi diri sendiri dari jerat hukum tindak pidana korupsi. Ini sangat tidak fair. Menjijikkan. Memilukan dan memalukan amat. Dan aksi mereka sangat amat bertentangan dengan tsunami hasrat rakyat untuk melibas habis-bis korupsi dalam tubuh NKRI tercinta ini. Prinsip equality before the law diinjak-injak oleh mereka . Revisi ini juga telah mengubah tradisi politik yang selama ini berjalan hal mana partai yang menang secara otomatis menjadi ketua DPR. Jadi sekarang dengan UU MD3 ini, maka ketua DPR tidak otomatis dijabat oleh PDI-P sebagai pemenang pemilu legislatif.
Aksi kubu koalisi merah putih tidak saja berhenti di situ. Pada Rabu sore, 27 Agustus 2014 Dewan Perwakilan Rakyat mengadakan rapat untuk membentuk Panitia Khusus Tata Tertib yang bertugas membuat aturan detail sebagai turunan Undang-Undang MPR, DPR, DPRD, dan DPRD atau UU MD3 yang baru disahkan 8 Juli lalu. Rapat pembentukan itu berlangsung sengit lantaran partai yang mengusung Jokowi-Jusuf Kalla tidak mendapatkan satu pun posisi pimpinan karena dijegal oleh kubu koalisi merah putih.
Nah, sudah dapat kita prediksikan bahwa ke depan upaya-upaya ngerecokin kalau tak mau disebut penghambatan terhadap program-program dan kebijakan pemerintahan Jokowi-JK akan terus berlangsung oleh kubu koalisi merah putih di parlemen. Mungkin inilah yang mereka sebut luka tak tersembuhkan sehingga perlu membuat luka-luka baru terhadap lawan politik. Mungkin ini obat bius penawar rasa sakit terhadap luka yang tak tersembuhkan. Sifat, karakter, dan gelagat seperti ini sejatinya adalah sangat destruktif bagi kemajuan bangsa Indonesia. Kalau aksi-aksi boikot ini terus dijalankan, maka mereka bukan sedang melukai pemerintahan Jokowi-JK, melainkan mereka sedang menggores luka yang dalam bagi seluruh kehidupan rakyat Indonesia. Mungkin mereka berpikir bahwa aksi mereka pasti didukung oleh 62.576.444 suara yang memilih Prahara. Survei terbaru Lingkaran Survei Indonesia (LSI) mengungkap fakta bahwa pemilih beragama Islam yang semula memilih Prabowo saat pileg malah beralih mendukung Jokowi-JK setelah keputusan KPU. Pemilih muslim yang memilih Prabowo tinggal 34,20%, sedangkan Jokowi naik menjadi 52,17% (http://ift.tt/1u0x7UO). Hasil survei terbaru Lingkaran Survei Indonesia (LSI) juga menunjukan bahwa kepercayaan publik kepada Jokowi-JK mencapai 71,73%. Sementara, masyarakat yang tidak percaya mencapai 14,11% dan yang tidak menjawab 14,16%. Kalau diperhatikan, kepercayaan masyarakat kepada Jokowi-JK lebih besar dari hasil suara yang diperoleh saat KPU mengumumkan kemenangan pada 22 Juli 2014. Hal ini menunjukan, mayarakat yang sebelumnya tidak memilih Jokowi-JK sudah mulai berpaling. Mereka balik percaya kepada pasangan Jokowi-JK yang diusung lima parpol itu. (http://ift.tt/1p9Gkm1).
Dengan demikian, kubu koalisi merah putih bila tidak mempertimbangkan hasil survei di atas dan masih mau terus bergenit-genitan di parlemen menggoyang kubu Jokowi-JK, maka perlahan tapi pasti mereka hanya akan menjadi kenangan masa lalu dalam museum Indonesia. Rakyat Indonesia yang semakin cerdas akan menghukum keras parpol koalisi merah putih pada tahun 2019 nanti bila gelagat mereka konsisten seperti dalam soal mengesahkan UU MD3 dan pansus tatib baru-baru ini. Karena itu parpol koalisi merah putih silakan saja mempatenkan diri sebagai partai koalisi merah putih sepanjang lima tahun ke depan. Dan Jokowi-JK tidak perlu kuatir apalagi takut menjalankan pemerintahan selama lima tahun ke depan sehingga harus melacurkan diri dengan cara membujuk-bujuk atau mengemis-ngemis kepada parpol-parpol dalam koalisi merah putih agar mau bergabung dengan pemerintahan baru. Sekali lagi jangan takut. Karena ada ratusan juta rakyat cerdas so pasti akan mengawal pemerintahan Jokowi-JK. Pemerintahan Jokowi-JK akan eksis bila mengejawantahkan semua janji-janjinya selama kampanye kemarin. Rakyat menantikan itu. Dan koalisi merah putih hanya akan eksis dan berguna jikalau mereka mendukung kebijakan dan program-program Jokowi-JK yang pro kesejahteraan rakyat serta berani menjegal bila pemerintahan Jokowi-JK melakukan berbagai penyimpangan yang membuat rakyat menderita. Jika tidak, maka nasib koalisi merah putih ibarat seseorang yang sedang meminum racun maut namun berharap orang lain yang akan mampus.
Sumber : http://ift.tt/1wOZcRm