Memaksa Tuhan
Kata “memaksa” berasal dari makna kata “mendesak”. Kata “mendesak” berasal dari kalimat yang diucapkan oleh Ali Mochtar Ngabalin selaku Direktur Tim Capres-Cawapres Prabowo-Hatta pada acara halal bihalal di Rumah Polonia, Jakarta (Minggu, 3 Agustus 2014), “Kita mendesak Allah SWT berpihak pada kebenaran, berpihak kepada Prabowo-Hatta Rajasa.” Dan, pada hari lain (Kamis, 7 Agustus 2014) Ali Mochtar berucap, “Kita gemas, kapan Tuhan turunkan (bantuan ke Prabowo). Kita desak Allah turunkan bala tentaranya tolong Prabowo.”
Kata “memaksa” dan “mendesak” juga sebelumnya bisa dikaitkan dengan makna dari ucapan Penasihat Ibadah Syukuran Eliezer H. Hardjo yang juga Tim Kampanye Kristiani Koalisi Merah Putih dalam Ibadah Pengucapan Syukur Atas Kemenangan Prabowo Hatta 2014-2019 di Jakarta Convention Centre, Jakarta (Kamis, 18 Juli 2014), “Ini dalam dimensi spiritual. Itu yang dibilang iman. Itu doa profetik, artinya kita mengimani dalam roh bahwa keduanya yang menang.”
Selain itu, dan masih berhubungan dengan dimensi spiritual-religius, adalah pengakuan Paranormal Suryo Buwono dalam sebuah ritual di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta (Jumat, 25 Juli 2014), “Sekarang bangsa goib sedang bangun. Ada lima syekh di sini. Sembilan wali, seluruh raja Brawijaya ada di sini. Ikut saya. Saya melakukan doa di sini. Saya ingin mendoakan Mas Prabowo. Orang jujur seperti Mas Prabowo, telah dicurangi, yang seharusnya menang jadi kalah.”
Tiga “sosok” yang disebutkan dengan penuh keyakinan adalah Allah SWT beserta bala tentara-Nya (Islam) , iman-roh (Kristen), dan bangsa gaib (agama tanah Jawa - Keyakinan Nenek Moyang) dalam usaha ‘memenangkan’ Capres-Cawapres Prabowo-Hatta dalam Pilpres 2014. Kalau Eliezer H. Hardjo (Kristen) melakukannya sebelum pengumuman resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) 22 Juli yang sebelumnya (9 Juli) sudah ‘terlihat sekilas’ melalui hasil hitung cepat (Quick Count) bahwa lawannya (Joko Widodo-Jusuf Kalla) memenangkan Pilpres, sedangkan Suryo Buwono (Keyakinan Nenek Moyang) dan Ali Mochtar Nagbalin (Islam) setelah pengumuman resmi KPU yang juga memenangkan lawannya (Jokowi-JK).
Dalam skala Indonesia Raya, seringkali dua agama dan satu ‘agama tanah Jawa’ tadi menjadi semacam ujung tombak sebuah perilaku berbangsa-bernegara. Sementara, entah kenapa, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu, pada “perilaku” berkebangsaan sama sekali tidak menampakkan sikap reaktif-agresif.
Yang menjadi pertanyaan, apakah para penganut ketiga aliran spiritual (Islam, Kristen, dan Agama tanah Jawa) tersebut selalu merasa memiliki hubungan sangat dekat dengan Sang Maha Kuasa karena ritual-ritual yang saban hari mereka lakukan. Atau, katakanlah, dengan “merasa” itu apakah mereka benar-benar sudah pernah bertemu langsung dengan Sang Maha Kuasa.
Dengan “merasa” bahkan “merasa pernah bertemu”, seringkali menjadikan mereka “merasa” pula bahwa mereka berhak “mendesak” bahkan “memaksa” Sang Maha Kuasa seperti halnya ketika sekelompok orang “dekat” dengan penguasa, baik penguasa lokal maupun nasional. Padahal, spiritiualitas (roh/ruh/gaib) bukanlah emosionalitas (perasaan). Dimensi spiritual berbeda dengan dimensi emosional.
Dalam pemahaman (teologi) Kristen, manusia terdiri dari tubuh, jiwa, dan roh (ruh). Tubuh terdiri dari daging, tulang, sel-sel, dan segala sesuatu berkaitan dengan fisik manusia. Jiwa terdiri dari perasaan, pikiran, nafsu-ambisi (kehendak), dan segala sesuatu yang berkaitan dengan non-fisik. Roh (ruh) merupakan bagian lain dari keduanya (metafisik), yang sering disamakan dengan hati nurani. Yesus Kristus berkata, “Roh memang penurut tetapi daging lemah.”
Kalimat “roh memang penurut” menegaskan sebuah ketaatan atau kepatuhan kepada Roh Sang Maha Kuasa. Akan tetapi, melalui ibadah dan ucapan Eliezer H. Hardjo, roh yang penurut telah ‘dipaksakan’ menaiki ‘tahta’ untuk ‘memerintahkan’ Roh Sang Maha Kuasa ‘menuruti’ roh manusia Kristen. Hal ini merupakan sebuah ‘kecelakaan’ bahkan ‘musibah’ spiritual akibat terjerumus dalam politik praktis yang sama sekali tidak pernah dilakukan oleh Yesus Kristus.
Tidak berbeda dengan kata “mendesak” dari ucapan Ali Mochtar Ngabalin, yang berkesan “memaksa” tersebut, kan? Padahal dalam pemahaman Islam, manusia adalah hamba Allah SWT. Kata “mendesak” dalam ucapan Ali Mochtar berkesan bahwa hamba berhak ‘mendesak’ Majikan (Allah SWT). Dengan kata lain, Sang Maha Kuasa menjadi Sang Kurang Kuasa.
Begitulah. Kekeliruan (blunder) bahkan kekonyolan terbesar pun terjadi, yaitu menggerogoti (menggembosi) kekuasaan Sang Maha Kuasa, yang dilakukan oleh mereka dan kemudian “disetujui” (di-amin-i) oleh banyak orang. Kekuasaan manusia yang serba terbatas ‘dipaksakan’ untuk “mendesak” Sang Penguasa Tak Pernah Terbatas supaya ‘menuruti’ kehendak (nafsu-ambisi) manusia yang kuasanya serba terbatas demi sebuah kekuasaan yang ‘hanya’ berlangsung selama lima tahun.
Apakah mereka tahu apa yang telah mereka lakukan? Kemungkinan iya. Dengan kefasihan mengucapkan kalimat-kalimat bernuansa spiritual, sangat mungkin mereka mengetahui serta menyadari apa yang telah mereka lakukan. Mereka sama sekali tidak merasa ‘terpaksa’ (terdesak) mengucapkan dan melakukan itu. Artinya, konsekuensi (risiko) atas segala ucapan dan tindakan merupakan tanggung jawab mereka sendiri secara spiritual pula, yang tidak terbatas hanya lima tahun alias dalam masa Pilpres 2014.
*******
Sabana Karang, 2014
Sumber : http://ift.tt/1ozjFV9
Kata “memaksa” dan “mendesak” juga sebelumnya bisa dikaitkan dengan makna dari ucapan Penasihat Ibadah Syukuran Eliezer H. Hardjo yang juga Tim Kampanye Kristiani Koalisi Merah Putih dalam Ibadah Pengucapan Syukur Atas Kemenangan Prabowo Hatta 2014-2019 di Jakarta Convention Centre, Jakarta (Kamis, 18 Juli 2014), “Ini dalam dimensi spiritual. Itu yang dibilang iman. Itu doa profetik, artinya kita mengimani dalam roh bahwa keduanya yang menang.”
Selain itu, dan masih berhubungan dengan dimensi spiritual-religius, adalah pengakuan Paranormal Suryo Buwono dalam sebuah ritual di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta (Jumat, 25 Juli 2014), “Sekarang bangsa goib sedang bangun. Ada lima syekh di sini. Sembilan wali, seluruh raja Brawijaya ada di sini. Ikut saya. Saya melakukan doa di sini. Saya ingin mendoakan Mas Prabowo. Orang jujur seperti Mas Prabowo, telah dicurangi, yang seharusnya menang jadi kalah.”
Tiga “sosok” yang disebutkan dengan penuh keyakinan adalah Allah SWT beserta bala tentara-Nya (Islam) , iman-roh (Kristen), dan bangsa gaib (agama tanah Jawa - Keyakinan Nenek Moyang) dalam usaha ‘memenangkan’ Capres-Cawapres Prabowo-Hatta dalam Pilpres 2014. Kalau Eliezer H. Hardjo (Kristen) melakukannya sebelum pengumuman resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) 22 Juli yang sebelumnya (9 Juli) sudah ‘terlihat sekilas’ melalui hasil hitung cepat (Quick Count) bahwa lawannya (Joko Widodo-Jusuf Kalla) memenangkan Pilpres, sedangkan Suryo Buwono (Keyakinan Nenek Moyang) dan Ali Mochtar Nagbalin (Islam) setelah pengumuman resmi KPU yang juga memenangkan lawannya (Jokowi-JK).
Dalam skala Indonesia Raya, seringkali dua agama dan satu ‘agama tanah Jawa’ tadi menjadi semacam ujung tombak sebuah perilaku berbangsa-bernegara. Sementara, entah kenapa, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu, pada “perilaku” berkebangsaan sama sekali tidak menampakkan sikap reaktif-agresif.
Yang menjadi pertanyaan, apakah para penganut ketiga aliran spiritual (Islam, Kristen, dan Agama tanah Jawa) tersebut selalu merasa memiliki hubungan sangat dekat dengan Sang Maha Kuasa karena ritual-ritual yang saban hari mereka lakukan. Atau, katakanlah, dengan “merasa” itu apakah mereka benar-benar sudah pernah bertemu langsung dengan Sang Maha Kuasa.
Dengan “merasa” bahkan “merasa pernah bertemu”, seringkali menjadikan mereka “merasa” pula bahwa mereka berhak “mendesak” bahkan “memaksa” Sang Maha Kuasa seperti halnya ketika sekelompok orang “dekat” dengan penguasa, baik penguasa lokal maupun nasional. Padahal, spiritiualitas (roh/ruh/gaib) bukanlah emosionalitas (perasaan). Dimensi spiritual berbeda dengan dimensi emosional.
Dalam pemahaman (teologi) Kristen, manusia terdiri dari tubuh, jiwa, dan roh (ruh). Tubuh terdiri dari daging, tulang, sel-sel, dan segala sesuatu berkaitan dengan fisik manusia. Jiwa terdiri dari perasaan, pikiran, nafsu-ambisi (kehendak), dan segala sesuatu yang berkaitan dengan non-fisik. Roh (ruh) merupakan bagian lain dari keduanya (metafisik), yang sering disamakan dengan hati nurani. Yesus Kristus berkata, “Roh memang penurut tetapi daging lemah.”
Kalimat “roh memang penurut” menegaskan sebuah ketaatan atau kepatuhan kepada Roh Sang Maha Kuasa. Akan tetapi, melalui ibadah dan ucapan Eliezer H. Hardjo, roh yang penurut telah ‘dipaksakan’ menaiki ‘tahta’ untuk ‘memerintahkan’ Roh Sang Maha Kuasa ‘menuruti’ roh manusia Kristen. Hal ini merupakan sebuah ‘kecelakaan’ bahkan ‘musibah’ spiritual akibat terjerumus dalam politik praktis yang sama sekali tidak pernah dilakukan oleh Yesus Kristus.
Tidak berbeda dengan kata “mendesak” dari ucapan Ali Mochtar Ngabalin, yang berkesan “memaksa” tersebut, kan? Padahal dalam pemahaman Islam, manusia adalah hamba Allah SWT. Kata “mendesak” dalam ucapan Ali Mochtar berkesan bahwa hamba berhak ‘mendesak’ Majikan (Allah SWT). Dengan kata lain, Sang Maha Kuasa menjadi Sang Kurang Kuasa.
Begitulah. Kekeliruan (blunder) bahkan kekonyolan terbesar pun terjadi, yaitu menggerogoti (menggembosi) kekuasaan Sang Maha Kuasa, yang dilakukan oleh mereka dan kemudian “disetujui” (di-amin-i) oleh banyak orang. Kekuasaan manusia yang serba terbatas ‘dipaksakan’ untuk “mendesak” Sang Penguasa Tak Pernah Terbatas supaya ‘menuruti’ kehendak (nafsu-ambisi) manusia yang kuasanya serba terbatas demi sebuah kekuasaan yang ‘hanya’ berlangsung selama lima tahun.
Apakah mereka tahu apa yang telah mereka lakukan? Kemungkinan iya. Dengan kefasihan mengucapkan kalimat-kalimat bernuansa spiritual, sangat mungkin mereka mengetahui serta menyadari apa yang telah mereka lakukan. Mereka sama sekali tidak merasa ‘terpaksa’ (terdesak) mengucapkan dan melakukan itu. Artinya, konsekuensi (risiko) atas segala ucapan dan tindakan merupakan tanggung jawab mereka sendiri secara spiritual pula, yang tidak terbatas hanya lima tahun alias dalam masa Pilpres 2014.
*******
Sabana Karang, 2014
Sumber : http://ift.tt/1ozjFV9