Look East Policy: Penanggulangan Masalah Papua Lewat Soft Power Diplomacy
Bila anda memperhatikan perkembangan Papua, selain Novela Nawipa dan sistem Noken dalam Pilpres 2014 yang sedang hit dibahas saat ini, pasti tidak akan asing dengan sebuah negara kecil di Pasifik Selatan, Vanuatu. Negara ini adalah negara yang saat ini mensponsori pergerakan luar negeri salah satu faksi politik OPM, yaitu WPNCL (West Papua National Coalition For Liberation). Keberhasilan WPNCL melobi pemerintah Vanuatu untuk mendukung pergerakannya di MSG, terlepas dari apapun maksud dan deal politik pemerintah Vanuatu dalam dukungannya tersebut, telah memperuncing persaingan eksistensi antara WPNCL dengan organisasi turunan OPM lainnya, baik dari faksi politik maupun faksi militer. Benar saja, salah satu faksi militer OPM, yaitu Tentara Nasional Pembebasan Papua Barat (TPN-PB) yang berada di bawah pimpinan Terryanus Satto mengeluarkan surat keberatan terkait rencana pertemuan di Vanuatu yang tidak mengikutsertakan faksi ini. Faksi ini menyampaikan bahwa pertemuan tiga faksi politik OPM, yaitu WPNCL, NRFPB (Negara Republik Federasi Papua Barat) dan KNPB (Komite Nasional Papua Barat), yang diundang oleh pemerintah Vanuatu untuk rekonsiliasi melecehkan perjuangan mereka. Dalam surat tersebut mereka juga menuntut pembubaran tiga faksi politik tersebut.
Dengan melihat hal tersebut, saya menilai bahwa keputusan pemerintah Vanuatu untuk WPNCL ini memancing faksi-faksi lain untuk menunjukan eksistensinya, dan ketika faksi militer OPM, seperti kelompok pimpinan Terryanus Sato ini menunjukan eksistensinya berarti akan berhubungan dengan penembakan yang akan merusak kedamaian di Papua. Pemerintah Vanuatu, entah disadari atau tidak, telah memperuncing persaingan antara organisasi-organisasi turunan OPM, yang berpotensi merusak kembali kedamaian di Papua.
Checkbook Diplomacy dalam Look East Policy
Permasalahan dengan Vanuatu saat ini tidak hanya dalam titik gangguan terhadap kedaulatan, tetapi juga gangguan terhadap kedamaian dan keamanan di Papua. Pemerintah Vanuatu harus dihentikan untuk bermain-main dengan isu Papua, yang hanya digunakan pemerintah Vanuatu untuk meraup simpati rakyatnya saja (baca : Vanuatu, Kedudukannya Dalam Perjuangan Papua Merdeka). Terkait hal ini, menurut saya Pemerintah Indonesia harus segera memulai kebijakan “Look East Policy”, dimana pemerintah Indonesia membangun hubungan baik yang intensif dengan negara-negara di bagian timur Indonesia di kawasan Pasifik Selatan, termasuk Vanuatu. Saya melihat ada celah yang bisa digunakan pemerintah untuk membangun hubungan dengan Vanuatu yaitu, Checkbook Diplomacy
Kebijakan diplomasi ini adalah kebijakan dengan menggunakan bantuan ekonomi serta investasi yang disertai dengan pemberian pengaruh terkait pencapaian kepentingan nasional masing-masing . Sebenarnya kebijakan ini lazim digunakan negara-negara yang berkonflik, untuk mendapatkan dukungan negara-negara Pasifik Selatan di forum PBB. Bahkan Vanuatu juga berpengalaman dalam diplomasi gaya ini.
Contohnya adalah ketika China dan Taiwan saling berkompetisi dalam mengimplementasikan chequebook diplomacy di negara Kepulauan Solomon. Taiwan membutuhkan pengakuan dari Kepulauan Solomon agar Taiwan dapat diakui dunia internasional sebagai negara independen. Sedangkan kepentingan China adalah untuk mendapatkan dukungan internasional agar Taiwan tetap masuk dalam wilayah China.
Adapun pengalaman Vanuatu dalam hal ini adalah ketika permasalahan pengakuan 2 negara pecahan Georgia, yaitu Abkhazia dan South Ossetia. Vanuatu pernah mengakui kedaulatan Abkhazia setelah mendapatkan bantuan dana dari Russia sebesar 50 juta dollar. Begitu juga dengan negara di Pasifik Selatan lainnya yaitu Nauru dan Tuvalu, kedua negara ini juga mendapatkan bantuan dari Russia terkait pengakuan kedaulatan Abkhazia dan South Ossetia.
Adu Kuat Soft Power Diplomacy Antara Indonesia-Vanuatu
Vanuatu mungkin negara dengan luas wilayah yang sangat kecil dibandingkan Indonesia, tetapi di mata dunia suara Vanuatu sebagai negara sama dengan Indonesia. Patut disadari bahwa selama ini negara-negara di Pasifik Selatan banyak memainkan perannya sebagai pemilik suara di PBB untuk penguat Soft Power Diplomacy mereka, terutama diantara negara-negara yang berkonflik. Untuk kasus ini, saya melihat isu Papua digunakan oleh Vanuatu untuk menguatkan posisi tawar mereka dalam hubungan dengan Indonesia. Semestinya Indonesia juga harus mampu memainkan posisinya, Checkbook Diplomacy yang saya tawarkan mungkin hanya salah satu cara, saya yakin para diplomat Indonesia lebih mengetahui cara-cara lainnya.
Dan yang terakhir adalah kesadaran kita sebagai masyarakat Papua, bahwa kedamaian di Papua sedang diuji dengan aksi adu eksistensi antara organisasi turunan OPM baik faksi militer maupun politik akibat pergerakan WPNCL yang disokong oleh Pemerintah Vanuatu. Bila kedamaian tergoncang, apakah Pemerintah Vanuatu dan petinggi WPNCL yang tinggal di Vanuatu merasakan kegoncangan itu?
Dobell, Graeme. (2007). China and Taiwan in the South Pacific: Diplomatic Chess versus Pacific Political Rugby . Sydney: Lowy Institute for International Policy
Sumber : http://ift.tt/1t2WdQf