Suara Warga

Ketika Wong Ndeso Bicara BBM

Artikel terkait : Ketika Wong Ndeso Bicara BBM

Sebagai orang kampung alias wong ndeso, sebenarnya saya tak terlalu berminat untuk ikut-ikutan menulis tentang isu Bahan Bakar Minyak (BBM) yang sedang ramai dibahas akhir-akhir ini. Isu yang jika dikaji cukup berat untuk ukuran wong ndeso, disamping juga isu ini bukan bidang keahlian saya. Harus saya akui pula, pengetahuan saya tentang isu ini sangat minim sehingga tak cukup referensi untuk mengkajinya secara ilmiah.

Namun dari perkembangan situasi terakhir apa yang saya baca, dengar dan lihat cukup membuat saya geregetan untuk ikut beropini menyampaikan uneg-uneg. Alhamdulillah, meskipun tinggal di daerah yang jauh dari Ibu Kota, akses untuk memperoleh informasi bisa dibilang lancar berkat penyebarannya perangkat dan media pendukung yang sudah merata hingga ke pelosok desa.

Hampir setiap hari kita disuguhi berbagai macam berita maupun opini tentang isu kenaikan harga dan kelangkaan BBM. Berbagai media baik cetak maupun elektronik memberitakan isu kelangkaan BBM di berbagai daerah yang menampilkan antrean panjang kendaraan bermotor di SPBU. Belum lagi isu kenaikan harga BBM yang kemudian menjadi sangat politis sebab akan sangat berdampak terhadap keberlanjutan kepemimpinan nasional nanti.

Dalam tulisan ini saya tak akan membahas apa yang menjadi sebab antrean panjang kendaraan bermotor untuk memperoleh BBM. Saya juga tak akan ikut-ikutan menganalisis apa yang menjadi pertimbangan hingga harga BBM harus dinaikkan dan mengapa tak perlu naik. Semuanya sudah dibahas dan dikaji dalam berbagai berita serta opini dengan argumen yang meyakinkan oleh para pakar yang ahli di bidang tersebut.

Yang jelas, antrean panjang kendaraan mulai sepeda motor yang antre premium bersubsidi hingga truk-truk besar yang mengantre solar juga terjadi di daerah seperti Probolinggo dan sekitarnya. Beberapa SPBU yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari juga sering kehabisan stok BBM. Beruntung habisnya stok BBM di beberapa SPBU tersebut tak terjadi bersamaan sehingga ketersediaannya masih mampu memenuhi kebutuhan masyarakat, meskipun akhirnya mereka harus menunggu antre cukup lama di SPBU yang masih memiliki stok BBM.

Alhamdulillah, bagi saya yang tinggal di desa dan bekerja di pedalaman Kabupaten Probolinggo dengan fasilitas sepeda motor dinas sebagai kendaraan operasional tak terlalu terpengaruh dengan situasi dan kondisi tersebut. Sepeda motor dinas jenis bebek sport yang saya tunggangi untuk bekerja, butuh diisi BBM minimal setiap 2 (dua) hari sekali full tank untuk perjalanan 2 kali bolak balik rumah ke kantor.

Pengisian BBM tak selalu saya lakukan di SPBU, yang mengharuskan saya mengisinya dengan Pertamax karena plat merah yang menghiasi bagian depan dan belakang sepeda motor. Seringkali saya harus mengisi BBM di kios bensin eceran milik warga di sekitar wilayah kerja yang notabene adalah daerah pedalaman. Bekal BBM yang saya isi di SPBU dekat rumah sering tak sampai target pengisian 2 hari sekali karena aktivitas kerja yang menuntut saya untuk menjelajah pedesaan yang jarak tempuhnya bisa puluhan kilometer dengan medan yang tak selalu mulus.

Kewajiban mengisi pertamax di SPBU untuk motor dinas setidaknya mampu menghindarkan saya dari antrean BBM bersubsidi. Demikian pula ketika BBM menipis di pedesaan wilayah kerja yang mengharuskan saya membeli bensin eceran, tak perlu antre untuk mendapatkan premium seharga Rp. 7000,- per botolnya. Entah apakah bensin eceran yang dijual di kios bensin milik warga tersebut diperkenankan oleh ketentuan, yang jelas banyak pemilik kendaraan bermotor di pedesaan yang sangat terbantu dengan keberadaan kios bensin eceran tersebut.

Namun tak dapat dipungkiri, terbatasnya stok BBM bersubsidi yang menyebabkannya menjadi langka dampaknya mulai dirasakan oleh masyarakat di daerah. Seorang teman yang biasa menggunakan angkutan umum mengeluh karena bus yang ditumpanginya harus mengantri solar hingga 1 jam lebih. Demikian pula seorang rekan lain menyampaikan kekesalannya di twitter karena harus terjebak antrean kendaraan hingga 2 jam lebih.

Situasi dan kondisi seperti ini jika dibiarkan berlarut-larut tentunya akan menimbulkan keresahan di masyarakat. Ditambah lagi desakan kenaikan harga BBM yang telah menjadi komoditas politik yang oleh media mainstream menjadi sangat menarik untuk terus diulas. Bukan tidak mungkin para politisi oportunis akan memanfaatkan keresahan dan kebingungan masyarakat untuk mewujudkan tujuan politiknya.

Namun demikian, saya yakin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terus memantau, memikirkan dan segera mengambil langkah untuk mengatasinya. Situasi seperti ini tentu bukan yang pertama kali bagi beliau, meskipun mungkin yang kali ini cukup riskan sebab terjadi di penghujung masa jabatan. Terkait kenaikan harga BBM, Presiden SBY menegaskan bahwa saat ini belum tepat saatnya untuk menaikkan harga BBM. Tentunya Presiden SBY telah memperhitungkan dan mempertimbangkan dengan matang sehingga memutuskan belum perlu menaikkan harga BBM.

Kita semua berharap isu BBM ini dapat segera teratasi. Presiden SBY dan para pembantunya pasti telah memiliki strategi antisipatif dan penyelesaian agar isu kelangkaan dan kenaikan harga BBM ini tak meninggalkan tinta merah di akhir masa jabatannya.

Disamping langkah-langkah strategis, Presiden SBY juga harus waspada terhadap pihak-pihak yang ingin memanfaatkan situasi ini. Bukan tidak mungkin, isu BBM ini diolah sedemikian rupa oleh oknum-oknum yang memiliki kepentingan, entah itu pemanfaatan komoditi migas ataupun kepentingan politik terkait pergantian pemerintahan ke depan. Kewaspadaan sangat diperlukan untuk mengantisipasi terjadinya penyelewengan yang berpotensi mengakibatkan terjadinya kelangkaan BBM, entah disengaja atau tidak.

Tentunya kita tak bisa hanya menumpukan penyelesaian permasalahan ini pada pemerintah. Dibutuhkan kesadaran untuk lebih bijak dalam menggunakan BBM, khususnya BBM bersubsidi sebagaimana regulasi yang telah ditetapkan Pemerintah. Cepat atau lambat kenaikan BBM pasti terjadi, oleh karena itu dibutuhkan kearifan kita semua untuk menerimanya sebagai konsekuensi kesinambungan stabilitas perekonomian nasional demi kepentingan seluruh rakyat Indonesia.

Semoga isu BBM ini dapat teratasi dan tak menyisakan permasalahan sehingga Presiden SBY dapat mengakhiri masa jabatannya dengan mulus dan terhormat. Dan semoga pemerintahan yang akan datang dapat melanjutkan apa yang telah dilaksanakan pemerintahan Presiden SBY demi keberlangsungan perekonomian nasional tanpa harus terlalu membebani rakyat termasuk wong ndeso seperti saya dan saudara-saudara kita di daerah.






Sumber : http://ift.tt/1qETb4S

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz