Suara Warga

Jejaring sosial dan media massa mendadak riuh pasca kesaksian Novela Nawipa di Mahkamah Konstitusi (MK) terkait gugatan sengketa Pilpres. Novela adalah saksi yang diajukan oleh Prabowo-Hatta dan asli dari tanah Papua. Di persidangan, Novela memberikan kesaksian seputar penyelenggaraan pemungutan suara di Kampung Awaputu, Kabupaten Dogiyai, Papua. Aksen argumentasi Novela yang khas Papua, cepat dan sedikit bernada ketus manakala dicecar pertanyaan oleh Hakim MK justru mampu mencairkan suasana sidang yang biasanya berlangsung serius dan tegang. Keluguan dan kepolosan Novela dalam kesaksiannya di ruang sidang, barangkali membenarkan persepsi yang dibangun oleh sebagian besar masyarakat Indonesia selama ini. Novela, membuka mata publik. Bahwa memang benar adanya bila dalam hal berpolitik dan berdemokrasi, Papua kurang mendapat perhatian dari pusat baik oleh pemerintah maupun pemberitaan media, sehingga telah jauh tertinggal dalam berdemokrasi bila dibanding daerah lain di kawasan barat Indonesia. Anasir-anasir demokrasi, tidak tidak berjalan matang laiknya demokrasi di Jawa, Sumatera, Bali maupun Sulawesi. Ini tak bisa dipungkiri. Terbukti bahwa ketika hari pencoblosan Pilpres 9 Juli, menurut kesaksian Novela di MK, di daerahnya tidak ada aktivitas pemungutan suara. Bahkan, masyarakat yang mestinya melakukan protes karena haknya tak diampuh, pun tidak ada. Ini merupakan pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk tak hanya focus pada pemerataan pembangunan yang sifatnya fisik seperti infrastruktur yang hingga kini juga belum tercapai. Yang tak kalah penting adalah bagaimana pemerintah juga serius pada pembangunan iklim demokrasi yang tak hanya bersifat top down atau struktural, tetapi menstimulus kesadaran dan partisipasi rakyat yang sifatnya bottom up dan kultural untuk terlibat aktif dalam proses demokrasi. Pelibatan aktif berbagai komponen rakyat tentu saja sangat penting agar terpenuhi legitimasi yang kuat terhadap hasil-hasil proses demokrasi yang kita usahakan. Termasuk legitimasi Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Maka ini salah satu hikmah yang bisa kita petik dari proses penegakan konstitusi yang saat ini tengah berlangsung di MK melalui gugatan Pilpres mengawal proses politik yang sebelumnya belum sempurna terselenggara.

Artikel terkait : Jejaring sosial dan media massa mendadak riuh pasca kesaksian Novela Nawipa di Mahkamah Konstitusi (MK) terkait gugatan sengketa Pilpres. Novela adalah saksi yang diajukan oleh Prabowo-Hatta dan asli dari tanah Papua. Di persidangan, Novela memberikan kesaksian seputar penyelenggaraan pemungutan suara di Kampung Awaputu, Kabupaten Dogiyai, Papua. Aksen argumentasi Novela yang khas Papua, cepat dan sedikit bernada ketus manakala dicecar pertanyaan oleh Hakim MK justru mampu mencairkan suasana sidang yang biasanya berlangsung serius dan tegang. Keluguan dan kepolosan Novela dalam kesaksiannya di ruang sidang, barangkali membenarkan persepsi yang dibangun oleh sebagian besar masyarakat Indonesia selama ini. Novela, membuka mata publik. Bahwa memang benar adanya bila dalam hal berpolitik dan berdemokrasi, Papua kurang mendapat perhatian dari pusat baik oleh pemerintah maupun pemberitaan media, sehingga telah jauh tertinggal dalam berdemokrasi bila dibanding daerah lain di kawasan barat Indonesia. Anasir-anasir demokrasi, tidak tidak berjalan matang laiknya demokrasi di Jawa, Sumatera, Bali maupun Sulawesi. Ini tak bisa dipungkiri. Terbukti bahwa ketika hari pencoblosan Pilpres 9 Juli, menurut kesaksian Novela di MK, di daerahnya tidak ada aktivitas pemungutan suara. Bahkan, masyarakat yang mestinya melakukan protes karena haknya tak diampuh, pun tidak ada. Ini merupakan pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk tak hanya focus pada pemerataan pembangunan yang sifatnya fisik seperti infrastruktur yang hingga kini juga belum tercapai. Yang tak kalah penting adalah bagaimana pemerintah juga serius pada pembangunan iklim demokrasi yang tak hanya bersifat top down atau struktural, tetapi menstimulus kesadaran dan partisipasi rakyat yang sifatnya bottom up dan kultural untuk terlibat aktif dalam proses demokrasi. Pelibatan aktif berbagai komponen rakyat tentu saja sangat penting agar terpenuhi legitimasi yang kuat terhadap hasil-hasil proses demokrasi yang kita usahakan. Termasuk legitimasi Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Maka ini salah satu hikmah yang bisa kita petik dari proses penegakan konstitusi yang saat ini tengah berlangsung di MK melalui gugatan Pilpres mengawal proses politik yang sebelumnya belum sempurna terselenggara.



14079752021990680912 Novela Nawipa (Sumber Foto Tribunnews.com)



Jejaring sosial dan media massa mendadak riuh pasca kesaksian Novela Nawipa di Mahkamah Konstitusi (MK) terkait gugatan sengketa Pilpres. Novela adalah saksi yang diajukan oleh Prabowo-Hatta dan asli dari tanah Papua. Di persidangan, Novela memberikan kesaksian seputar penyelenggaraan pemungutan suara di Kampung Awaputu, Kabupaten Dogiyai, Papua.

Aksen argumentasi Novela yang khas Papua, cepat dan sedikit bernada ketus manakala dicecar pertanyaan oleh Hakim MK justru mampu mencairkan suasana sidang yang biasanya berlangsung serius dan tegang. Keluguan dan kepolosan Novela dalam kesaksiannya di ruang sidang, barangkali membenarkan persepsi yang dibangun oleh sebagian besar masyarakat Indonesia selama ini.

Novela, membuka mata publik. Bahwa memang benar adanya bila dalam hal berpolitik dan berdemokrasi, Papua kurang mendapat perhatian dari pusat baik oleh pemerintah maupun pemberitaan media, sehingga telah jauh tertinggal dalam berdemokrasi bila dibanding daerah lain di kawasan barat Indonesia. Anasir-anasir demokrasi, tidak tidak berjalan matang laiknya demokrasi di Jawa, Sumatera, Bali maupun Sulawesi. Ini tak bisa dipungkiri.

Terbukti bahwa ketika hari pencoblosan Pilpres 9 Juli, menurut kesaksian Novela di MK, di daerahnya tidak ada aktivitas pemungutan suara. Bahkan, masyarakat yang mestinya melakukan protes karena haknya tak diampuh, pun tidak ada. Ini merupakan pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk tak hanya focus pada pemerataan pembangunan yang sifatnya fisik seperti infrastruktur yang hingga kini juga belum tercapai. Yang tak kalah penting adalah bagaimana pemerintah juga serius pada pembangunan iklim demokrasi yang tak hanya bersifat top down atau struktural, tetapi menstimulus kesadaran dan partisipasi rakyat yang sifatnya bottom up dan kultural untuk terlibat aktif dalam proses demokrasi.

Pelibatan aktif berbagai komponen rakyat tentu saja sangat penting agar terpenuhi legitimasi yang kuat terhadap hasil-hasil proses demokrasi yang kita usahakan. Termasuk legitimasi Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Maka ini salah satu hikmah yang bisa kita petik dari proses penegakan konstitusi yang saat ini tengah berlangsung di MK melalui gugatan Pilpres mengawal proses politik yang sebelumnya belum sempurna terselenggara.




Sumber : http://ift.tt/1t0EIQE

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz