Indonesia Masih Membutuhkan Presiden dari Militer
Indonesia masih membutuhkan presiden dari latar belakang militer. Kalimat itu sering diumbar selama tahapan kampanye Pilpres 9 Juli lalu yang tujuannya agar memilih Prabowo. Walau, pada akhirnya sebagian besar rakyat Indonesia mempercayakan republik ini dipimpin oleh Jokowi yang berlatar belakang sipil.
Memang harus diakui, pada kenyataannya rakyat selaku pemilih tidak memandang pemimpin dari militer atau sipil. Rakyat pemilih hanya memilih pemimpin yang ‘disukai’ yang didasarkan penilaian-penilaian tertentu. Dan 9 Juli lalu mayoritas menyukai Jokowi-JK yang disukai karena penilaian figur merakyat, sederhana dan membawa harapan perubahan.
Tetapi harus diingat, rakyat bukan pemain utama dalam panggung perpolitikan. Memang konstitusi mengatur kedaulatan tertinggi di tangan rakyat, namun kenyataannya, elit politiklah yang berkuasa. Sering terjadi tindakan politik elit bukan keinginan rakyat, tapi mereka dipilih oleh rakyat dan secara hukum mereka sah sebagai wakil rakyat. Tindakan mereka dinyatakan salah kalau melanggar pidana seperti korupsi atau kejahatan pidana lainnya sesuai KUHP.
Sejarah Indonesia juga mencatat, presiden yang berlatarbelakang sipil tidak berhasil mengguratkan catatan yang manis dalam sejarah, karena dinamika politik. Yang paling fenomenal, saat Gus Dur dilengserkan melalui jalur politik. Walaupun Gus Dur memiliki banyak pendukung, namun banyaknya dukungan rakyat tidak berarti banyak di panggung politik.
Melihat perkembangan politik saat ini, kalimat pembuka diatas itu memang bisa dibenarkan. Tapi bukan Indonesia atau rakyat Indonesia yang membutuhkan pemimpin dari militer dan otoriter. Melainkan, dunia perpolitikan Indonesia lah yang sangat membutuhkan pemimpin yang otoriter. Sifat otoriter diperlukan untuk menghadapi elit-elit politik Indonesia yang cenderung pragmatis dan oportunis.
Kondisi politik saat ini pasca ditetapkan Jokowi-JK sebagai presiden terpilih juga berpotensi mengulang lagi sejarah untuk presiden dengan latar belakang sipil. Sama-sama kita ketahui, saat ini, para politikus yang memiliki pengalaman jam terbang tinggi membentuk koalisi Merah Putih dengan Prabowo dari militer sebagai pimpinan koalisi.
Terlepas dari peran Prabowo yang otoriter atau tidak, ‘produk’ dari koalisi ini sudah beredar dan dinikmati di panggung politik Indonesia. Produk koalisi ini adalah perubahan Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) yang dilakukan melalui proses politik di DPR sebelum Pilpres 9 Juli. Produk kedua yang akan diluncurkan Pansus Pilpres. Pansus ini akan dibentuk setelah putusan Mahkamah Konstitusi 22 Agustus mendatang dan akan diefektifkan hingga sebelum pelantikan Jokowi-JK yang dijadualkan 20 Oktober.
Melihat kondisi pemerintahan SBY lima tahun terakhir, presiden dari militer ini juga ‘gagal’ menghadapi politikus. Namun kata gagal ini jika dikaitkan dengan upaya SBY selaku kepala pemerintahan merumuskan dan menjalankan program untuk rakyat. Pada periode kedua pemerintahan SBY, perpolitikan Indonesia sangat dinamis sehingga banyak program yang terganggu atau bisa disebut gagal.
Namun kata ‘gagal’ tidak berlaku jika dihubungkan dengan mempertahankan kekuasaan. Walaupun persoalan politik yang dihadapi SBY lebih dahsyat dari yang pernah dialami Gus Dur, SBY tidak berhasil dilengserkan. Kendatipun kekuasaan itu harus dibayar mahal dengan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan yang cenderung lamban dan merosotnya dukungan rakyat pada partai Demokrat di Pemilu Legislatif 2014.
Sekarang, apapun alasan dan kondisinya, masyarakat pemilih tidak mau tahu dengan kondisi apapun yang akan dihadapi Jokowi-JK. Sama seperti yang mereka lakukan saat memilih anggota DPR, rakyat sudah menyalurkan hak pilihnya. Jika presiden atau wakil rakyat gagal, rakyat tidak akan menyalahkan yang lain, tetapi orang yang dipilihnya yang disalahkan dan dicap tidak layak berkecimpung di dunia politik.
Termasuk dalam menghadapi koalisi Merah Putih, masyarakat pemilih menyerahkan sepenuhnya kepada kepiawaian Jokowi-JK. Pemilih hanya menonton melalui TV atau juga mengamati media massa lainnya untuk mengikuti setiap episode. Tentunya sambil memprediksi skor akhir yang diwarnai diskusi, debat hingga komentar-komentar segelintir rakyat yang dilabeli sebagai pengamat atau juga pakar.
Sekarang pertanyaannya, mampukah Jokowi yang bukan berlatarbelakang militer berlaku otoriter pada elit politik negeri ini? Diketahui, walau dari sipil Gus Dur juga dicap otoriter karena sering gonta-ganti menteri dan ‘membangkang’ terhadap elit politik di senayan sehingga berakhir dengan drama pelengseran.
Mampukah Jokowi menghadapi kelompok koalisi Merah Putih atau juga kemungkinan dan partai pengusung yang tidak puas? Ataukah Jokowi akan berakhir membacakan pidato pengunduran diri dari atas kapal pinisi mengikuti jejak Gus Dur yang mengundurkan diri menggunakan celana pendek.
Mampukah Jokowi mementahkan ‘mitos’ kegagalan pemimpin Indonesia dari kalangan sipil dan menuntaskan semua visi misinya? Atau pernyataan kubu Prabowo-Hatta yang berlaku yakni : Indonesia masih membutuhkan pemimpin dari militer!!
Sumber : http://ift.tt/1ogPLja
Memang harus diakui, pada kenyataannya rakyat selaku pemilih tidak memandang pemimpin dari militer atau sipil. Rakyat pemilih hanya memilih pemimpin yang ‘disukai’ yang didasarkan penilaian-penilaian tertentu. Dan 9 Juli lalu mayoritas menyukai Jokowi-JK yang disukai karena penilaian figur merakyat, sederhana dan membawa harapan perubahan.
Tetapi harus diingat, rakyat bukan pemain utama dalam panggung perpolitikan. Memang konstitusi mengatur kedaulatan tertinggi di tangan rakyat, namun kenyataannya, elit politiklah yang berkuasa. Sering terjadi tindakan politik elit bukan keinginan rakyat, tapi mereka dipilih oleh rakyat dan secara hukum mereka sah sebagai wakil rakyat. Tindakan mereka dinyatakan salah kalau melanggar pidana seperti korupsi atau kejahatan pidana lainnya sesuai KUHP.
Sejarah Indonesia juga mencatat, presiden yang berlatarbelakang sipil tidak berhasil mengguratkan catatan yang manis dalam sejarah, karena dinamika politik. Yang paling fenomenal, saat Gus Dur dilengserkan melalui jalur politik. Walaupun Gus Dur memiliki banyak pendukung, namun banyaknya dukungan rakyat tidak berarti banyak di panggung politik.
Melihat perkembangan politik saat ini, kalimat pembuka diatas itu memang bisa dibenarkan. Tapi bukan Indonesia atau rakyat Indonesia yang membutuhkan pemimpin dari militer dan otoriter. Melainkan, dunia perpolitikan Indonesia lah yang sangat membutuhkan pemimpin yang otoriter. Sifat otoriter diperlukan untuk menghadapi elit-elit politik Indonesia yang cenderung pragmatis dan oportunis.
Kondisi politik saat ini pasca ditetapkan Jokowi-JK sebagai presiden terpilih juga berpotensi mengulang lagi sejarah untuk presiden dengan latar belakang sipil. Sama-sama kita ketahui, saat ini, para politikus yang memiliki pengalaman jam terbang tinggi membentuk koalisi Merah Putih dengan Prabowo dari militer sebagai pimpinan koalisi.
Terlepas dari peran Prabowo yang otoriter atau tidak, ‘produk’ dari koalisi ini sudah beredar dan dinikmati di panggung politik Indonesia. Produk koalisi ini adalah perubahan Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) yang dilakukan melalui proses politik di DPR sebelum Pilpres 9 Juli. Produk kedua yang akan diluncurkan Pansus Pilpres. Pansus ini akan dibentuk setelah putusan Mahkamah Konstitusi 22 Agustus mendatang dan akan diefektifkan hingga sebelum pelantikan Jokowi-JK yang dijadualkan 20 Oktober.
Melihat kondisi pemerintahan SBY lima tahun terakhir, presiden dari militer ini juga ‘gagal’ menghadapi politikus. Namun kata gagal ini jika dikaitkan dengan upaya SBY selaku kepala pemerintahan merumuskan dan menjalankan program untuk rakyat. Pada periode kedua pemerintahan SBY, perpolitikan Indonesia sangat dinamis sehingga banyak program yang terganggu atau bisa disebut gagal.
Namun kata ‘gagal’ tidak berlaku jika dihubungkan dengan mempertahankan kekuasaan. Walaupun persoalan politik yang dihadapi SBY lebih dahsyat dari yang pernah dialami Gus Dur, SBY tidak berhasil dilengserkan. Kendatipun kekuasaan itu harus dibayar mahal dengan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan yang cenderung lamban dan merosotnya dukungan rakyat pada partai Demokrat di Pemilu Legislatif 2014.
Sekarang, apapun alasan dan kondisinya, masyarakat pemilih tidak mau tahu dengan kondisi apapun yang akan dihadapi Jokowi-JK. Sama seperti yang mereka lakukan saat memilih anggota DPR, rakyat sudah menyalurkan hak pilihnya. Jika presiden atau wakil rakyat gagal, rakyat tidak akan menyalahkan yang lain, tetapi orang yang dipilihnya yang disalahkan dan dicap tidak layak berkecimpung di dunia politik.
Termasuk dalam menghadapi koalisi Merah Putih, masyarakat pemilih menyerahkan sepenuhnya kepada kepiawaian Jokowi-JK. Pemilih hanya menonton melalui TV atau juga mengamati media massa lainnya untuk mengikuti setiap episode. Tentunya sambil memprediksi skor akhir yang diwarnai diskusi, debat hingga komentar-komentar segelintir rakyat yang dilabeli sebagai pengamat atau juga pakar.
Sekarang pertanyaannya, mampukah Jokowi yang bukan berlatarbelakang militer berlaku otoriter pada elit politik negeri ini? Diketahui, walau dari sipil Gus Dur juga dicap otoriter karena sering gonta-ganti menteri dan ‘membangkang’ terhadap elit politik di senayan sehingga berakhir dengan drama pelengseran.
Mampukah Jokowi menghadapi kelompok koalisi Merah Putih atau juga kemungkinan dan partai pengusung yang tidak puas? Ataukah Jokowi akan berakhir membacakan pidato pengunduran diri dari atas kapal pinisi mengikuti jejak Gus Dur yang mengundurkan diri menggunakan celana pendek.
Mampukah Jokowi mementahkan ‘mitos’ kegagalan pemimpin Indonesia dari kalangan sipil dan menuntaskan semua visi misinya? Atau pernyataan kubu Prabowo-Hatta yang berlaku yakni : Indonesia masih membutuhkan pemimpin dari militer!!
Sumber : http://ift.tt/1ogPLja