Suara Warga

Hadi Purnomo Raden Pardede Dalang Kasus Pajak BCA?

Artikel terkait : Hadi Purnomo Raden Pardede Dalang Kasus Pajak BCA?

Kasus Pajak BCA tenggelam di hiruk pikuk Pilpres 2014 kemarin. Setelah sempat mencuat karena telah ditetapkannya Hadi Purnomo sebagai tersangka tak lama kemudian kasus ini sempat teralihkan oleh isu-isu lainnya. Bagaimanakah kelanjutan dari kasus ini?

Munculnya skandal pajak BCA beberapa bulan lalu senilai Rp 375 miliar banyak menuai pertanyaan. Banyak yang mengatakan kalau ada motif politik dalam terkuaknya kasus ini. Boleh jadi benar demikian. Namun tentu saja, meski ada motif politik di belakang terkuaknya kasus ini, itu tidak berarti kasus ini mengada-ada. Politisasi kasus itu sejatinya bukan merekayasa kasus, melainkan memainkan timeline atau waktu untuk membukanya. Momentum tertentu biasanya menjadi acuan untuk mempolitisasi sebuah kasus.

Mari kita simak penjelasan BCA. Menurut BCA, setelah krisis moneter 1998, akhirnya BCA berhasil membukukan laba fiskal sebesar Rp 174 miliar di tahun 1999. Kemudian pada tahun 2002, lanjut BCA, setelah pemeriksaan oleh Ditjen Pajak, angka itu direvisi. Ditjen Pajak memutuskan bahwa laba fiskal BCA pada tahun 1999 adalah sebesar Rp 6,78 triliun. Sulap, dari Rp 174 miliar menjadi Rp 6,78 triliun.

Masih menurut BCA, perubahan itu ada salah satunya karena adanya pengalihan utang kepada pemerintah menjadi saham BCA Rp 5,7 triliun. Karena adanya konversi utang jadi saham BCA untuk pemerintah itu, BCA mencatat laba fiskal tahun 1999 sebesar Rp 6,78 triliun.

Ada kejanggalan dari penjelasan resmi BCA tersebut. Pertama, revisi laba fiskal BCA tahun 1999 dilakukan pada tahun 2002, saat Hadi Purnomo baru saja menjabat Dirjen Pajak (2002 – 2004). Kedua, bukankah konversi utang BCA ke negara menjadi saham itu adalah bentuk pembayaran utang. Lantas kenapa BCA membukukan itu sebagai laba? Seharusnya utang BCA kepada negara dibayar dengan saham, sehingga tidak ada uang masuk dalam kas BCA. Kenapa BCA mencatatkan pengalihan utang jadi saham itu sebagai pemasukan dan keuntungan?

Direktorat PPH sudah benar yang menilai bahwa transaksi pengalihan utang dengan saham senilai Rp 5,7 triliun itu bentuk penghapusan utang, bukan jual beli. Dari sini sudah jelas, BCA berbohong dan memanipulasi laporan keuangan dibantu oleh Hadi Purnomo.

Karena itu pula, KPK menetapkan Hadi Purnomo sebagai Tersangka dalam skandal pajak BCA.

Tak berhenti sampai Hadi Purnomo, KPK mengatakan ada petinggi BCA yang akan diseret dalam kasus ini. Siapakah dia?

Jawabannya adalah Raden Pardede yang menjabat sebagai Komisaris BCA yang akan jadi tersangka berikutnya. Raden Pardede menjabat sebagai Komisaris BCA pada 6 Mei 2004, dua bulan sebelum Hadi Purnomo muluskan keberatan pajak BCA. Ketika ditunjuk jadi Komisaris BCA, Raden Pardede juga menjabat sebagai Staf Khusus Menko Perekonomian (2004 - 2005). Bersamaan juga, Raden Pardede menjabat sebagai Wakil Koordinator Tim Asistensi Menteri Keuangan (2002 - 2004). Belum semua, Raden Pardede juga menjabat sebagai Wakil Direktur Utama PPA (2004 - sekarang).

Bisa bayangkan dong, dengan masuk jadi Komisaris BCA per 6 Mei 2004, Raden Pardede juga jabat beberapa posisi sekaligus. Semalam ada yang meragukan Raden Pardede masuk Komisaris BCA per 6 Mei 2004. Mungkin perlu melihat hasil putusan RUPS (rapat umum pemegang saham) BCA pada 6 Mei 2004. Lihat laporan keuangan BCA tahun 2004 halaman 186.





Pertanyaannya, kenapa BCA memasukkan Raden Pardede dalam dewan komisaris BCA?

Jawabannya karena BCA mengetahui, Direktorat PPH kemungkinan besar akan menolak pengajuan keberatan pajak Rp 375 miliar yang sedang diajukan ke Ditjen Pajak. Persekongkolan BCA dengan Hadi Purnomo selaku Ditjen Pajak kurang kuat, perlu dukungan dari instansi yang lebih tinggi, Kementerian Keuangan.

Sementara di sisi lain, BPPN akan dibubarkan pada tahun 2004, pada akhir pemerintahan Megawati. Saham milik pemerintah via BPPN atau dalam bahasa Inggrisnya dikenal dengan nama IBRA harus dijual. Seperti skenario awal, utang para obligor BLBI dikonversi menjadi kepemilikan saham pemerintah pada aset-aset obligor BLBI, termasuk BCA. Saham-saham ini berada di bawah BPPN dan akan dikelola selama 5 tahun sejak 1999 hingga 2004. Selama periode 5 tahun itu, BPPN akan melelang saham-saham pemerintah tersebut, agar dana pemerintah yang dikucurkan melalui BLBI kembali.

Begitu pula dengan BCA. Pada tahun 2004, sisa kepemilikan saham pemerintah di BCA sebanyak 618.236.200 lembar saham (5,02%). Apabila hingga pemerintahan habis di 2004 saham ini belum berhasil dijual, maka dialihkan ke Perusahaan Pengelola Aset (PPA). PPA adalah lembaga pengganti BPPN untuk mengelola aset-aset saham pemerintah yang belum berhasil dijual pada masa BPPN.




KPK saat ini fokus untuk menggarap kasus pajak BCA yang menjerat mantan Ketua BPK Hadi Poernomo. Setelah itu, lembaga antikorupsi ini membuka peluang untuk melacak aset Hadi. KPK masih konsentrasi mendalami kasus korupsi keberatan pajak BCA terlebih dulu kemudian dari pendalaman barulah dapat disimpulkan tentang pelacakan aset tersangka Hadi Purnomo ini.

Bukan kebetulan, Raden Pardede juga menjabat di PPA sebagai Wakil Direktur Utama. Raden Pardede juga menjabat di Kementerian Keuangan dan Kementerian Perekonomian pada saat bersamaan. Juga, Raden Pardede ditunjuk sebagai Komisaris BCA pada 6 Mei 2004.

Sudah terlihat kan konektivitasnya. Saham BCA milik pemerintah sebanyak 5,02% akan dialihkan ke PPA karena belum berhasil dijual oleh BPPN. Barang yang akan dijual harus dalam kondisi prima agar harga jualnya tinggi. Kalau harga jual tinggi, pemerintahan baru (SBY) akan dapat pemasukan APBN yang lebih tinggi. Dari sisi BCA, harga jual yang bagus akan meningkatkan nilai perusahaan BCA. Jika suatu saat, Djarum atau Salim sebagai pemilik BCA ingin gadaikan sahamnya untuk menambah modal, dana yang didapat akan lebih tinggi juga.

Untuk keperluan itu, laba BCA harus ditingkatkan dan portofolio kredit macet harus diturunkan, agar nilai jualnya lebih tinggi. Ditemukanlah rumusan solusinya. Laba harus ditingkatkan dengan menekan pembayaran pajak atas NPL (kredit macet). Adalah dengan mengajukan keberatan pajak Rp 375 miliar kepada Ditjen Pajak, dimana Hadi Purnomo sudah pasang badan disana, ditambah bantuan dari Raden Pardede yang menjaga di level Kementerian Keuangan dan Kementerian Perekonomian.

Melalui skenario itu, laba BCA dari yang seharusnya Rp 2,821 triliun jika kena pajak atas NPL Rp 375 miliar, menjadi Rp 3,196 trilun di 2004. Dengan diterimanya keberatan itu, secara otomatis, BCA juga dianggap tidak punya NPL Rp 5,7 triliun. Sederhana, tak ada kredit macet, laba lebih tinggi, nilai perusahaan BCA jadi lebih bagus dong. Harga jual pun tinggi.

Setelah keberatan pajak diterima, kepemilikan saham pemerintah di BCA 5,02% dialihkan ke PPA, di bawah Raden Pardede yang juga komisaris BCA pada tahun 2005. Berapa nilai jual 5,02% saham BCA milik pemerintah yang dikelola PPA saya tidak tahu persis. Berdasarkan data harga saham BCA tahun 2005, berkisar antara Rp 1.400 hingga Rp 1.800 per saham. Dengan jumlah saham pemerintah di BCA sebanyak 618.236.200 lembar saham (5,02%), total nilai jualnya antara Rp 865 miliar hingga Rp 1,113 triliun. Itu kalau dijual pada harga pasar. Umumnya penjualan saham seperti ini dilakukan ada harga premium hingga 30% di atas harga pasar. Kalau mengacu pada itu, nilai jualnya bisa mencapai Rp 1,125 triliun hingga Rp 1,446 triliun.

Apabila, pengajuan keberatan pajak Rp 375 miliar ditolak, maka laba BCA Rp 2,821 triliun, lebih rendah 12% dari Rp 3,196 triliun (jika keberatan diterima). Anggap, perolehan laba linier dengan pergerakan harga saham. Maka asumsinya, jika keberatan pajak ditolak, harga saham BCA akan berada di level Rp 1.200 hingga Rp 1.600. Nilai jual premium 30% nya berkisar Rp 964 miliar hingga Rp 1,285 triliun. Bandingkan dengan harga jual jika keberatan pajak diterima Rp 1,125 triliun hingga Rp 1,446 triliun. Selisihnya sekitar Rp 150 miliar hingga Rp 350 miliar. Itu selisih dari harga jual.

Apabila dihitung dengan penghematan pajak Rp 375 miliar, dengan skenario di atas, maka total nilai lebihnya Rp 525 miliar hingga Rp 725 miliar. Nilai itu terdiri dari penghematan BCA dari pembayaran pajak senilai Rp 375 miliar, sedangkan dari sisi pemerintah mendapat selisih nilai jual antara Rp 150 miliar hingga Rp 350 miliar.

Dari sini sudah jelas bukan apa saja keuntungan yang diperoleh BCA melalui kerjasama dengan duet Raden Pardede dan Hadi Purnomo ini?

Keuntungan yang diterima BCA maupun pemerintah dengan memuluskan keberatan pajak BCA Rp 375 miliar itu belum memperhitungkan kemungkinan celah lainnya. Dalam peraturan pasar modal Indonesia, hanya kepemilikan saham di atas 5% saja yang wajib dipublikasi. Kepemilikan saham di bawah 5% dilindungi oleh kerahasiaan nasabah pasar modal.

Kepemilikan saham pemerintah di BCA sebesar 5,02%, maka itu tercantum dalam laporan keuagan BCA hingga 2004. Namun kepemilikan saham BCA oleh pemerintah tidak terlihat lagi pada tahun 2005. Katanya karena sudah dijual semua.



Apa betul sudah dijual? Bagaimana jika skenarionya seperti ini : PPA melelang 5,02% saham BCA itu kepada Investor A. Lalu Investor A menjual 1,02% sahamnya ke pasar modal, sehingga tersisa 4% saham BCA di tangan investor A. Dengan skema ini, maka kepemilikan 4% saham BCA oleh investor A tidak akan bisa diketahui oleh publik.

Ini perlu ditelusuri dan dibuktikan. Saya rasa kalau memang niatnya mencegah terjadinya celah-celah seperti ini, maka dalam setiap transaksi pemerintah di pasar modal harus ditelusuri sampai sedalam-dalamnya. Jika tidak, maka celah-celah seperti banyak sekali dan mudah sekali untuk dilakukan.

Akankah KPK akan mengungkap kasus ini dengan tuntas? Patut kita tunggu kelanjutannya.




Sumber : http://ift.tt/1sLF1Oh

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz