Apa Kabar BBM?
BBM kerapkali menjadi isu sensitif bagi pemerintah. Era Presiden Megawati hingga SBY, kenaikan BBM selalu menjadi sorotan tajam dari berbagai kalangan. Hal ini karena BBM menyangkut hajat hidup orang banyak dan mempunyai pengaruh signifikan bagi APBN dan kehidupan ekonomi masyarakat secara langsung. Sensitifitas isu BBM juga disebabkan oleh intervensi kalangan politisi dengan menjadikannya sebagai bola salju politik. Tak jarang isu ini muncul dan tenggelam, atau bahkan menjadi momok paling menakutkan bagi Presiden dan partai yang sedang berkuasa.
Tak terkecuali Joko Widodo-Jusuf Kalla yang sebentar lagi akan dilantik menjadi Presiden RI. Keinginan pasangan no urut 2 dalam pilpres kemarin agar Presiden SBY menaikkan harga BBM sebelum pelantikan Presiden-Wakil Presiden mendapatkan kecaman dari berbagai pihak. Hal ini dikarenakan sikap Jokowi-JK yang seakan-akan ingin menghindar dari segala resiko akibat kenaikan BBM. Apalagi kenaikan tersebut dilakukan pada awal masa pemerintahannya. Ekspektasi harapan rakyat akan keberpihakan pasangan Jokowi-JK pada wong cilik bisa sirna seketika.
Sebenarnya jika kita telaah lebih mendalam, isu BBM merupakan problem klasik-historic-multydimensional. Siapapun pemimpin Indonesia pasti akan selalu dihadapkan pada dilema antara menaikkan harga BBM ataukah tidak. Berbagai cara sudah dilakukan untuk mensiasati dilema tersebut agar BBM tidak dinaikkan. Akan tetapi tetap saja subsidi pemerintah dalam proses ekplorasi hingga produksi BBM masih sangat besar. Porsi APBN Indonesia akhirnya selalu tersedot pada sektor ini.
Solusi tercepat dengan menaikkan harga BBM atau mencabut subsudi BBM mutlak diperlukan. Sayangnya kebijakan yang tidak populis ini selalu ditolak oleh pemerintah karena akan mengancam ‘legitimasi’ pemerintahannya. Pemerintah seakan-akan berkhianat pada rakyatnya. Padahal sejatinya, membiarkan problem ini berlarut-larut dari pemimpin yang satu kepada pemimpin yang lain hanya makin memperparah persoalan yang ada.
Sumber : http://ift.tt/1pHn9W6
Tak terkecuali Joko Widodo-Jusuf Kalla yang sebentar lagi akan dilantik menjadi Presiden RI. Keinginan pasangan no urut 2 dalam pilpres kemarin agar Presiden SBY menaikkan harga BBM sebelum pelantikan Presiden-Wakil Presiden mendapatkan kecaman dari berbagai pihak. Hal ini dikarenakan sikap Jokowi-JK yang seakan-akan ingin menghindar dari segala resiko akibat kenaikan BBM. Apalagi kenaikan tersebut dilakukan pada awal masa pemerintahannya. Ekspektasi harapan rakyat akan keberpihakan pasangan Jokowi-JK pada wong cilik bisa sirna seketika.
Sebenarnya jika kita telaah lebih mendalam, isu BBM merupakan problem klasik-historic-multydimensional. Siapapun pemimpin Indonesia pasti akan selalu dihadapkan pada dilema antara menaikkan harga BBM ataukah tidak. Berbagai cara sudah dilakukan untuk mensiasati dilema tersebut agar BBM tidak dinaikkan. Akan tetapi tetap saja subsidi pemerintah dalam proses ekplorasi hingga produksi BBM masih sangat besar. Porsi APBN Indonesia akhirnya selalu tersedot pada sektor ini.
Solusi tercepat dengan menaikkan harga BBM atau mencabut subsudi BBM mutlak diperlukan. Sayangnya kebijakan yang tidak populis ini selalu ditolak oleh pemerintah karena akan mengancam ‘legitimasi’ pemerintahannya. Pemerintah seakan-akan berkhianat pada rakyatnya. Padahal sejatinya, membiarkan problem ini berlarut-larut dari pemimpin yang satu kepada pemimpin yang lain hanya makin memperparah persoalan yang ada.
Sumber : http://ift.tt/1pHn9W6