Suara Warga

Untung Beda Suara 8 Juta, Coba Kalau Beda Hanya 8 Ribu

Artikel terkait : Untung Beda Suara 8 Juta, Coba Kalau Beda Hanya 8 Ribu


Pemilu presiden sudah selesai dilaksanakan dan hasilnya sudah diumumkan oleh KPU dengan kemenangan pasangan calon nomor 2 Joko Widodo-Jusuf Kalla. Tabulasi akhir menunjukkan pasangan capres/cawapres nomor 1 mendapatkan 62.576.444 suara dan pasangan capres/cawapres nomor 2 mendapatkan 70.997.833 suara. Kalau dihitung terdapat perbedaan suara sebanyak 8.421.389 suara. Seperti kita semua sudah mengikuti dalam pemberitaan, capres Prabowo tidak menerima ketetapan KPU dengan alasan terjadi kecurangan yang masif, terstruktur dan sistematis. Dan sebelum batas waktu tiga hari terlewati, pihak Prabowo mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang pada dasarnya ingin mengatakan bahwa dalam perhitungan suara (tabulasi) dirinya yang lebih unggul dari kontestan Jokowi.



Bola panas sekarang berada di tangan MK dan dalam minggu-minggu ke depan akan duduk di kursi panas untuk memberikan keadilan yang sejati. Sekalipun tensi politik dan tensi sosial masih tinggi, masyarakat boleh sedikit bernafas lega. Disparitas (perbedaan) angka suara adalah sebesar 8 juta lebih. Rasanya impossible kalau KPU melakukan kekeliruan perhitungan dengan beda 8 juta ini. Tapi coba bayangkan seandainya hasil pilpres ini beda tipis, katakanlah hanya 8 ribu suara, mungkin prahara politik akan menimpa seluruh rakyat Indonesia. Masalahnya, dengan beda 8 ribu suara ini, segala argumentasi pembenaran bisa dimainkan oleh kedua pihak yang bertikai (dispute) mulai dari kesalahan yang tidak disengaja sampai kepada kesalahan yang direkayasa.



Sistem pemilu presiden berdasarkan Undang-undang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden nomor 42 tahun 2008 mengatakan bahwa pemenangnya adalah pihak yang memperoleh 50 persen plus satu suara. Sistem ini menurut saya sangat rawan memicu instabilitas politik dan sosial dalam masyarakat. Pada pilkada walikota Palembang antara kontestan Romi Herton dan Sarimuda hanya terdapat kekalahan sebanyak 8 (delapan) suara pada pihak Romi, dengan rincian perolehan Romi: 316.915 suara dan Sarimuda: 316.923 suara. Sungguh membuat miris dan gamang. Setelah diajukan gugatan ke MK, maka justru pihak Romi Hertonlah yang dinyatakan menang sebagai wali kota Palembang. Kasus ini menjadi lebih dramatis, setelah belakangan terbukti bahwa ketua MK Akil Mochtar dan Romi Herton terlibat dalam penyuapan. Harga sosial yang dibayar pada saat itu, sempat terjadi kerusuhan pembakaran pertokoan meskipun dalam skala kecil dan segera diatasi oleh aparat kepolisian.



Baru kali ini dalam pemilu presiden langsung di negara kita hanya diikuti oleh dua kontestan. Ini mirip dengan pemilu presiden AS yang selalu menghadapkan dua calon presiden. Namun sistem pemilu presiden AS adalah berdasarkan electoral vote. Rakyat dari ke 50 negara bagian AS ini melakukan pemilihan langsung, dan masing-masing negara bagian ini menghitung suara siapa yang mendapat suara lebih tinggi. Tiap-tiap negara bagian ini mempunyai hak electoral vote yang yang tidak sama, misalnya California: 55, Florida: 29, Texas: 38, Kentucky: 8, Hawaii: 4 (jumlah keseluruhan 538 electoral vote). Capres yang memenangi suara di suatu negara bagian otomatis akan memperoleh electoral vote ini. Capres dinyatakan menang bilamana dia sudah meraih 270 electoral vote (sedikit di atas separuh dari 538 tersebut).



Dengan sistem seperti ini, memang bisa terjadi calon presiden memperoleh jumlah suara lebih banyak (dinamakan dengan popular vote), namun dia kalah pada electoral vote. Dalam sejarah pemilu presiden AS terjadi empat kali, calon presiden memenangi popular vote, tapi kalah di electoral vote, antara lain pada tahun 2000, Al Gore mendapat keunggulan suara sebanyak 543.816 (popular vote) dari George Bush, namun kalah di electoral vote, sehingga yang dilantik adalah George Bush. Mungkin sistem ini bisa dipertimbangkan untuk pilpres kita di masa datang, mengingat sistem “50 persen plus satu suara” ini sangat beresiko tinggi. Ini bukan pemilihan ketua RT dengan populasi pemilih hanya seratus/dua ratus orang, sehingga sistem “50 persen plus satu” dengan mudah dapat dijalankan dan diawasi. Ini melibatkan 133 juta pemilih di seluruh wilayah nusantara dengan kondisi geografis TPS yang penuh dengan tantangan, sehingga menurut saya sistem “50 persen plus satu” ini terlalu sederhana dan membawa implikasi menimbulkan konflik sosial yang tidak boleh disepelekan.






Sumber : http://ift.tt/1nKrOVB

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz