Suara Warga

Sekulerisme Bukan Jawaban

Artikel terkait : Sekulerisme Bukan Jawaban


Sekulerisme atau Fundamental? 2 ideologi yang berlawanan. Bagi saya, hanya ada 2 pilihan: Sekuler atau Fundamental. Tetapi, yang membedakan adalah persentase. Sama saja dengan politik sayap kanan atau sayap kiri, bagi saya mustahil untuk netral, karena persentasenya walaupun hanya 0.01% pasti menganut salah satu.


Lantas, mengapa sekulerisme bukanlah jawaban? Saya akui pernah menjadi seorang Sekuler, karena lelah melihat haji dibuat alat korupsi, Al-Qur’an dibuat alat korupsi, dan ‘meng-politikan agama’.


Setelah larut dalam pemikiran, saya pun bertanya-tanya pada diri sendiri: Apa yang menjadikan alasan untuk beralih ke Sekulerisme? Mari kita melihat dari 2 contoh ideologi dan perspektinya terhadap agama:


1. Marxisme dan agama: Marx, Lenin, dan dewa-dewa kaum Marxisme menganggap agama adalah alat kaum Borjois-Kapitalis sebagai alat untuk kaum ‘proletar’ untuk tunduk pada mereka. Karena inilah salah satu cita-cita kaum ‘kiri jauh’ adalah membumi hanguskan feodalisme.



Juga sikap Matrealisme yang didengung-dengungkan oleh Marx, karena menganggap masyarakat tak akan maju jika percaya tahayul atau hal-hal gaib. Sama seperti apa yang didengungkan Tan Malaka dan Jawaharlal Nehru. Tan Malaka sebenarnya memandang Marxisme dari perspektif Nasionalisme dan budaya Timur. Sayangnya, Tan Malaka memandang Agama dalam perspektif Marxisme yang telah ia saring dalam budaya timur (contohnya buku filsafat Madilog yang ia tinggalkan agar masyarakat Indonesia tidak percaya tahayul dan kalimat terakhir dalam pidato Tan Malaka dalam Komunis Internasional: “Dihadapan tuhan saya beragama/Islam tetapi dihadapan kaum proletar saya seorang Komunis”. Sedangkan Nehru, ia adalah seorang Hindu Agnostik karena dengan jelas Nehru mengatakan ia tidak tertarik dengan dunia setelah kematian dan masih banyak lagi.



Marxisme juga benar-benar memisahkan agama dengan negara. Contohnya tulisan Lenin dalam Sosialisme dan Agama (http://ift.tt/1o2RuZi ) : “Bahkan untuk sekedar penyebutan agama seseorang di dalam dokumen resmi tanpa ragu lagi mesti dibatasi.” Karena inilah, wacana penghapusan kolom agama dalam KTP sangat saya tentang. Karena menurut saya alibi kalau ingin menghapuskan diskriminasi, tapi ada udang dibalik batu. Saya yakin alasanya adalah menyisipkan ajaran Lenin tanpa menyaringnya dalam perspektif agama.



2. Liberalisme dan Agama: Kaum Liberal yang menjunjung kebebasan tanpa batas beralasan dan bersikukuh dengan sekulerisme dengan alasan menerima keberagaman agama dan menentang diskriminasi. Contohnya, ada kaum Liberal yang mengatakan “Meng-Indonesiakan Islam lebih baik daripada meng-Islamkan Indonesia”. Dalam Islam jelas budaya yang tidak pas dengan agama harus dibuang jauh-jauh (Berarti jelas umat Islam harus melihat segala sesuatu dalam perspektif agama. Ini yang saya banggakan dalam budaya urang awak, yang jelas mottonya berbunyi: Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah). Dalam struktur politik Liberal Sekuler, bisakah pemerintah menjamin rakyatnya tetap dalam jalan agama? Tidak. Padahal jelas ada syair Arab yang berbunyi: “Man saara ala darbi wasalla” yang berarti “Siapa yang berjalan pada jalan-Nya akan sampai ketujuan”. Dan bagaimana para fundamentalis bersaing dengan kaum Liberal dalam merumuskan sebuah hukum untuk menyelipkan sedikit-sedikit hukum agama jika kaum Liberal memusuhi kaum fundamentalis?


Inti dari alasan 2 ideologi untuk beralih ke Sekulerisme yang mewakili spektrum politik kiri dan tengah diatas adalah: mereka melihat agama dalam perspektif ideologi mereka. Saya bukanya mendewakan kaum yang berada dalam spektrum politik sayap kanan, karena penyakit mereka adalah seperti apa yang dikritisi kaum Marxis, mereka menggunakan agama untuk kepentingan mereka. Kepentingan untuk berkuasa.


Alangkah baik jika semua ideologi dari semua political spectrum asalkan mereka melihat ideologi mereka dalam perspektif agama. Bahkan sayap kiri yang dikatakan anti-tuhan dll sekarang memiliki role model yang melihat Sosialisme (Lebih tepatnya Sosialisme abad ke-21) dengan perspektif agama dan Nasionalisme, yaitu sang malaikat dari Venezuela, Hugo Chavez. Silahkan baca ke subversif-an Chavez terhadap gereja karena merasa Yesus tidak begitu dihargai dan lihat berapa biaya yang ia keluarkan yang ‘keterlaluan banyaknya’ untuk korban gempa Haiti dan tsunami Aceh. Dan role model yang dulu ‘taubat’ karena melihat Islam dan agama dalam perspektif Marxisme adalah salah satu founding fathers kita, Soekarno. Di Jawa dia melihat Islam dalam perspektif Marxisme, tetapi dalam pembuanganya di Ende, ia melihat Islam dalam perspektif Islam sendiri dan terus begitu sampai akhir hayatnya.


Saya pribadi memiliki mimpi kaum ‘hijau’ dan ‘merah’ di Indonesia bersatu melawan Kapitalisme, bersatu dalam Sosialisme abad 21 ala Hugo Chavez yang telah dimodifikasi dengan perspektif Islam. Karena jelas Islam memandang tinggi dan sama derajat manusia, tidak membedakan kelas, dan menjunjung keadilan. Karena sesungguhnya hijau dan merah sama, karena pernah bersatu melawan penjajah dulu. Entah kapan cinta lama itu bisa bersemi kembali.


Dan apa itu tujuan Sekulerisme? Ini yang menjadi pertanyaan. Saya cukup meragukan kalau Sekulerisme bertujuan untuk menerima keberagaman agama kalau kaum Sekuler banyak yang menggunakan Mustafa Kemal dari Turki yang menjadi role model mereka. Ini kebijakan Mustafa Kemal dalam rezimnya:


1. Menutup perkumpulan para sufi


2. Tidak memperbolehkan menggunakan jilbab di tempat umum


3. Tidak memperbolehkan Masjid untuk memperdengungkan azan dan lain-lain.


Jelas, yang diinginkan Mustafa Kemal bukan menerima keberagaman agama dan pembaharuan, melainkan melawan Islam dan menekankan westernisasi. Dan akhirnya ia mati dalam kehausan.


Dan di Indonesia, Indonesia secara de jure bukan negara Sekuler. Sayangnya, pelaksanaan agama di Indonesia agak Sekuler karena negara tidak bisa memaksa rakyatnya untuk benar-benar beragama (Kecuali di Aceh dengan polisi syariat karena diberlakukan hukum syariat Islam dan dibeberapa wilayah di Sumatra Barat memberlakukan hukum syariat Islam). Memang, seharusnya negara tidak boleh memaksakan kepada rakyat. Tetapi jalan keluarnya adalah menyisipkan beberapa hukum agama yang universal dalam proses pembuatan hukum.


Syariat Islam sendiri bagi saya masih status quo untuk menjadi sebuah hukum negara. Karena satu yang tidak ada penjelasanya adalah: bagaimana cara pergantian kepala negara jika kepala negara wafat? Kenyataanya Iran yang menggunakan hukum Islam (Syiah) saja melakukan pemilihan untuk Presidenya (Tetapi tidak dengan supreme leader nya). Bukan saya sok tau, tetapi Al Quran yang merupakan panduan umat Islam adalah panduan yang cocok dengan keadaan semua zaman. Sedangkan tidak ada ayat yang mengatakan harus diadakan pemilihan umum untuk memilih kepala agama, kenapa? Menurut saya (maaf jika saya salah) Islam tidak diragukan lagi adalah agama yang ajaranya cocok dengan semua perkembangan zaman, jadi apakah pemilihan umum seperti dalam Demokrasi cocok dilakuakan diabad pertengahan? (walau Demokrasi sudah ada pada tahun sebelum masehi tetapi pelaksanaanya baru sekarang) Sepertinya dalam sistim pemerintahan, hal ini adalah ciptaan manusia dan tidak dirincikan dalam Al-Qur’an karena setiap zaman nya pasti memiliki sistim pemerintahan yang berbeda. Saya yakin 200 tahun lagi pasti sistim pemerintahan dan hukum yang dominan itu mungkin saja berbeda dari sekarang, sama halnya dengan kendaraan yang kita gunakan, setiap zaman pasti berbeda. Saya yakin tidak semua orang bisa menjalankan syariat Islam untuk menjadi sistim pemerintahan, karena itulah harus diambil hukum-hukum yang universal untuk dimasukan dalam hukum negara dan harus menjadi perspektif (khusus untuk umat Islam) bagi hukum yang berlaku pada masa tertentu agar hukum itu tidak bertentangan dengan agama.


Sekali lagi, apakah Sekulerisme adalah jawaban agar kaum agamis tidak menggunakan agama sebagai alat untuk berkuasa dan alat korupsi? Tidak. Tetapi jika agamis menggunakan agama sebagai alat korupsi, bahkan seorang Komunis pun saat itu lebih baik daripada kaum agamis itu. Karena Tan Malaka yang melihat agama dalam perspektif Marxis saja tidak menggunakan agama sebagai alat perjuangan akibat kecewa terhadap kaum rohaniwan. Harus ada hukum yang tepat untuk menghentikan mereka, tetapi tidak harus melakukan perestroika atau reformasi seperti beralih kepada Sekulerisme, karena bagi saya beralih ke Sekulerisme sama saja reformasi, bahkan revolusi (Jika hukum terdahulunya adalah negara agama tetapi beralih ke Sekulerisme saya berani katakan itu revolusi, sedangkan jika bentuk negara yang pandangan terhadap agamanya ambigu seperti Indonesia ini saya rasa masih bersifat reformasi). Sekulerisme juga tidak tepat jika ingin ‘melindungi’ agama, jika ada yang beralasan seperti ini jarang ditemukan. Lebih banyak ber-alibi untuk melindungi agama tetapi kenyataanya menghancurkan agama itu dari dalam.


Sekian dari saya, semoga bermanfaat.


Bandung, 27 Juli 2014


Muhammad Ramadhan






Sumber : http://ift.tt/WWxrWY

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz