Mereka Mati karena NKRI
Senin, [28/7], tatkala umat Islam merayakan Idul Fitri 1435 hijriah, di ufuk timur nusantara, tepatnya di kabupaten Lany Jaya, Papua terjadi baku tembak antara polisi dan kelompok sipil bersenjata. Dua orang polisi gugur dalam peristiwa ini. Keduanya adalah Bripda Zulkifli Putra dan Bripda Yoga AJ. Ginuy. Reaksi yang diambil para pejabat untuk menyikapi situasi ini adalah melakukan pengejaran terhadap pelaku, menambah jumlah pasukan, dan para pejabat teras Polda Papua melakukan kunjungan ke tempat kejadian perkara. Sementara para korban, baik yang gugur maupun yang luka dievakuasi ke Wamena untuk selanjutnya diterbangkan ke Jayapura.
Kemeriahan dan keindahan perayaan Idul Fitri kali ini membawa duka mendalam bagi segenap anggotara keluarga para korban, Polda Papua dan tentu saja segenap rakyat Indonesia. Bagi pelaku, kematian kedua anggota polisi ini adalah sebuah kegembiraan dan sukacita berlimpah. Sedangkan bagi pihak kepolisian, kematian kedua aggotanya menimbulkan duka mendalam. Mereka berdua mati dalam menjaga integritas bangsa Indonesia. Mereka gugur karena mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari ancaman disintegrasi bangsa. Atas nama NKRI mereka mati.
Ketika mendengar dan membaca berita tentang peristiwa ini, sebagai manusia, kita merasa terpukul. Mengapa ada begitu banyak nyawa mausia yang berjatuhan di atas tanah Papua? Entah dari kelompok pro-Papua merdeka, maupun dari aparat keamanan Indonesia; satu hal yang tidak dapat dimungkiri bahwa semuanya adalah manusia. Ideologi, suku, ras, budaya, dan agama boleh berbeda, tetapi saling membunuh dengan mengatasnamakan perbedaan itu adalah tindakan yang tidak terpuji. Menghilangkan nyawa sesama manusia adalah tindakan yang tidak berperikemanusiaan. Manusia diciptakaan dalam keberbedaan dan keunikannya untuk saling melengkapi, bukan sebaliknya dijadikan alasan untuk saling membunuh. Perbedaan ideologi dan perjuangan tidak dilarang, tetapi bukan dengan cara membunuh sesama. Sebagai manusia berakal budi, ada banyak cara dan jalan yang bisa ditempuh untuk mencari jalan penyelesaian atas perbedaan tersebut.
Kedua polisi itu ditembak mati, karena mereka adalah aparat negara. Kelompok sipil bersenjata secara terang-terangan menunjukkan sikap perlawanannya terhadap simbol negara. Mereka tidak hanya menghilangkan nyawa keduanya, tetapi juga sedang berjuang menunjukkan eksistensinya di atas tanahnya, yang dianggap sedang berada dalam genggaman penjajah yang bernama Indonesia. Pengalaman masa lalu yang menyakitkan, telah melahirkan sikap antipati orang Papua terhadap NKRI. Di hadapan orang Papua, NKRI adalah penjajah. Karenanya, orang Papua perlu bangkit dan melawan. Orang Papua perlu mengusir Indonesia dari tanah Papua. Sikap demikian muncul, bukan tanpa alasan. Sudah setengah abad lebih, Papua diintegrasikan secara sepihak oleh Indonesia. Pada saat bersamaan, penghormatan terhadap martabat manusia Papua hampir tidak ada. Indonesia hanya mengeruk kekayaan alam Papua dan mengabaikan orang Papua. Bahkan bukan itu saja, orang Papua masih diperlakukan sebagai manusia yang bodoh, bau, kanibal, dan lain sejenisnya. Akumulasi kekecewaan itu, kini muncul melalui gerakan-gerakan perlawanan menuntut keadilan. Salah satu bentuk perlawanan itu adalah penyerangan terhadap simbol-simbol negara.
Peristiwa baku tembak antara kelompok sipil bersenjata dengan polisi dan TNI bukan pertama kali terjadi. Hampir setiap hari terjadi kontak senjata di antara kedua bela pihak. Ironinya, sampai saat ini belum ada kebijakan khusus untuk menyelesaikan permasalahan ini secara menyeluruh. Kesan sepintas, sepertinya peristiwa ini dibiarkan terus terjadi. Kesan ini muncul secara spontan mengingat kebijakan yang diterapkan bersifat kasuistik dan aksidental. Kalau terjadi kontak senjata, maka pejabat TNI dan Polda ke tempat kejadian perkara, memerintahkan pengejaran (penyisiran) dan menambah pasukan untuk menjaga keamanan. Belum pernah ada upaya untuk mencari alternatif penyelesaian secara menyeluruh. Mengapa demikian? Misteri!
Mengingat sudah terlalu banyak nyawa manusia yang menjadi korban, maka perlu segera diambil kebijakan strategis untuk mencari alternatif bagi penyelesaian permasalahan Papua secara menyeluruh. Kalau Indonesia terlalu kaku dan takut dengan istilah dialog Jakarta-Papua untuk mencari jalan penyelesaian masalah Papua, maka Indonesia harus mengusulkan alternatif lain, yang mampu menjembatani perjumpaan orang Papua dan pemerintah Indonesia untuk duduk bicara bersama tentang permasalahan Papua. Selama ini, Indonesia selalu buat pernyataan bahwa Papua adalah bagian tidak terpisahkan dari NKRI. Indonesia hanya berkoar-koar bilang Papua harus tetap jadi bagian dari NKRI, tetapi tiap hari ada warga sipil dan TNI-Polri yang mati karena baku tembak untuk saling mempertahankan ideologinya. Ke depan, Indonesia harus cari alternatif efektif yang bisa menjembatani penyelesaian permasalahan Papua. Indonesia harus berani membuka diri dan mau mendengarkan seruan menuntut keadilan. Orang Papua sudah tunggu lima puluh tahun lebih dan mereka tidak pernah alami keadilan. Karenanya, mereka merasa bahwa Papua bukan bagian dari NKRI. Justru mereka mengalami bahwa Papua adalah daerah jajahan Indonesia. Karena itu, saat ini ada gerakan perlawanan untuk merebut kembali kedaulatan Papua yang dirampas oleh Indonesia.
Apa pun perdebatannya, realitas saat ini menunjukkan bahwa hampir setiap hari ada manusia yang mati karena saling mempertahankan ideologi NKRI dan Papua merdeka. Kematian dua anggota polisi di kabupaten Lany Jaya memperlihatkan bahwa ada masalah serius di Papua yang perlu diselesaikan. Kalau Indonesia masih menutup diri, maka tidak heran pada hari-hari mendatang akan terjadi pertumpahan darah, yang melibatkan kedua bela pihak: polisi dan TNI versus pejuang Papua merdeka.
Indonesia dan Papua perlu duduk bersama untuk bicara tentang masa depan Papua yang lebih baik. Apa pun opsi yang diberikan untuk Papua harus lahir dari pembicaraan bersama antara Indonesia dan Papua, bukan sepihak, baik Indonesia maupun Papua. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa kebijikan untuk Papua hanya mengikuti kemauan Indonesia, tanpa melibatkan orang Papua. Kalaupun orang Papua dilibatkan, tentu yang sejalan dengan pikiran Indonesia, kalau yang memiliki alternatif lain, tidak akan dilibatkan. Akibatnya, muncul kesan Indonesia dan orang Papua berhati Indonesia, bersekongkol untuk menghancurkan masa depan Papua. Demikian halnya, orang Papua, yang merasa tidak dilibatkan dan tidak menerima kebijakan Indonesia untuk Papua melakukan perlawanan. Akibatnya, baku tembak tidak dapat dihindari dan nyawapun melayang.
Semoga ke depan, ada upaya nyata untuk menyelesaikan permsalahan Papua secara menyeluruh supaya konflik segera berakhir dan segenap rakyat dan orang Papua bisa hidup damai dan sejahtera di atas tanah Papua.
Abepura, 29 Juli 2014
Sumber : http://ift.tt/1qdRR6k
Kemeriahan dan keindahan perayaan Idul Fitri kali ini membawa duka mendalam bagi segenap anggotara keluarga para korban, Polda Papua dan tentu saja segenap rakyat Indonesia. Bagi pelaku, kematian kedua anggota polisi ini adalah sebuah kegembiraan dan sukacita berlimpah. Sedangkan bagi pihak kepolisian, kematian kedua aggotanya menimbulkan duka mendalam. Mereka berdua mati dalam menjaga integritas bangsa Indonesia. Mereka gugur karena mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari ancaman disintegrasi bangsa. Atas nama NKRI mereka mati.
Ketika mendengar dan membaca berita tentang peristiwa ini, sebagai manusia, kita merasa terpukul. Mengapa ada begitu banyak nyawa mausia yang berjatuhan di atas tanah Papua? Entah dari kelompok pro-Papua merdeka, maupun dari aparat keamanan Indonesia; satu hal yang tidak dapat dimungkiri bahwa semuanya adalah manusia. Ideologi, suku, ras, budaya, dan agama boleh berbeda, tetapi saling membunuh dengan mengatasnamakan perbedaan itu adalah tindakan yang tidak terpuji. Menghilangkan nyawa sesama manusia adalah tindakan yang tidak berperikemanusiaan. Manusia diciptakaan dalam keberbedaan dan keunikannya untuk saling melengkapi, bukan sebaliknya dijadikan alasan untuk saling membunuh. Perbedaan ideologi dan perjuangan tidak dilarang, tetapi bukan dengan cara membunuh sesama. Sebagai manusia berakal budi, ada banyak cara dan jalan yang bisa ditempuh untuk mencari jalan penyelesaian atas perbedaan tersebut.
Kedua polisi itu ditembak mati, karena mereka adalah aparat negara. Kelompok sipil bersenjata secara terang-terangan menunjukkan sikap perlawanannya terhadap simbol negara. Mereka tidak hanya menghilangkan nyawa keduanya, tetapi juga sedang berjuang menunjukkan eksistensinya di atas tanahnya, yang dianggap sedang berada dalam genggaman penjajah yang bernama Indonesia. Pengalaman masa lalu yang menyakitkan, telah melahirkan sikap antipati orang Papua terhadap NKRI. Di hadapan orang Papua, NKRI adalah penjajah. Karenanya, orang Papua perlu bangkit dan melawan. Orang Papua perlu mengusir Indonesia dari tanah Papua. Sikap demikian muncul, bukan tanpa alasan. Sudah setengah abad lebih, Papua diintegrasikan secara sepihak oleh Indonesia. Pada saat bersamaan, penghormatan terhadap martabat manusia Papua hampir tidak ada. Indonesia hanya mengeruk kekayaan alam Papua dan mengabaikan orang Papua. Bahkan bukan itu saja, orang Papua masih diperlakukan sebagai manusia yang bodoh, bau, kanibal, dan lain sejenisnya. Akumulasi kekecewaan itu, kini muncul melalui gerakan-gerakan perlawanan menuntut keadilan. Salah satu bentuk perlawanan itu adalah penyerangan terhadap simbol-simbol negara.
Peristiwa baku tembak antara kelompok sipil bersenjata dengan polisi dan TNI bukan pertama kali terjadi. Hampir setiap hari terjadi kontak senjata di antara kedua bela pihak. Ironinya, sampai saat ini belum ada kebijakan khusus untuk menyelesaikan permasalahan ini secara menyeluruh. Kesan sepintas, sepertinya peristiwa ini dibiarkan terus terjadi. Kesan ini muncul secara spontan mengingat kebijakan yang diterapkan bersifat kasuistik dan aksidental. Kalau terjadi kontak senjata, maka pejabat TNI dan Polda ke tempat kejadian perkara, memerintahkan pengejaran (penyisiran) dan menambah pasukan untuk menjaga keamanan. Belum pernah ada upaya untuk mencari alternatif penyelesaian secara menyeluruh. Mengapa demikian? Misteri!
Mengingat sudah terlalu banyak nyawa manusia yang menjadi korban, maka perlu segera diambil kebijakan strategis untuk mencari alternatif bagi penyelesaian permasalahan Papua secara menyeluruh. Kalau Indonesia terlalu kaku dan takut dengan istilah dialog Jakarta-Papua untuk mencari jalan penyelesaian masalah Papua, maka Indonesia harus mengusulkan alternatif lain, yang mampu menjembatani perjumpaan orang Papua dan pemerintah Indonesia untuk duduk bicara bersama tentang permasalahan Papua. Selama ini, Indonesia selalu buat pernyataan bahwa Papua adalah bagian tidak terpisahkan dari NKRI. Indonesia hanya berkoar-koar bilang Papua harus tetap jadi bagian dari NKRI, tetapi tiap hari ada warga sipil dan TNI-Polri yang mati karena baku tembak untuk saling mempertahankan ideologinya. Ke depan, Indonesia harus cari alternatif efektif yang bisa menjembatani penyelesaian permasalahan Papua. Indonesia harus berani membuka diri dan mau mendengarkan seruan menuntut keadilan. Orang Papua sudah tunggu lima puluh tahun lebih dan mereka tidak pernah alami keadilan. Karenanya, mereka merasa bahwa Papua bukan bagian dari NKRI. Justru mereka mengalami bahwa Papua adalah daerah jajahan Indonesia. Karena itu, saat ini ada gerakan perlawanan untuk merebut kembali kedaulatan Papua yang dirampas oleh Indonesia.
Apa pun perdebatannya, realitas saat ini menunjukkan bahwa hampir setiap hari ada manusia yang mati karena saling mempertahankan ideologi NKRI dan Papua merdeka. Kematian dua anggota polisi di kabupaten Lany Jaya memperlihatkan bahwa ada masalah serius di Papua yang perlu diselesaikan. Kalau Indonesia masih menutup diri, maka tidak heran pada hari-hari mendatang akan terjadi pertumpahan darah, yang melibatkan kedua bela pihak: polisi dan TNI versus pejuang Papua merdeka.
Indonesia dan Papua perlu duduk bersama untuk bicara tentang masa depan Papua yang lebih baik. Apa pun opsi yang diberikan untuk Papua harus lahir dari pembicaraan bersama antara Indonesia dan Papua, bukan sepihak, baik Indonesia maupun Papua. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa kebijikan untuk Papua hanya mengikuti kemauan Indonesia, tanpa melibatkan orang Papua. Kalaupun orang Papua dilibatkan, tentu yang sejalan dengan pikiran Indonesia, kalau yang memiliki alternatif lain, tidak akan dilibatkan. Akibatnya, muncul kesan Indonesia dan orang Papua berhati Indonesia, bersekongkol untuk menghancurkan masa depan Papua. Demikian halnya, orang Papua, yang merasa tidak dilibatkan dan tidak menerima kebijakan Indonesia untuk Papua melakukan perlawanan. Akibatnya, baku tembak tidak dapat dihindari dan nyawapun melayang.
Semoga ke depan, ada upaya nyata untuk menyelesaikan permsalahan Papua secara menyeluruh supaya konflik segera berakhir dan segenap rakyat dan orang Papua bisa hidup damai dan sejahtera di atas tanah Papua.
Abepura, 29 Juli 2014
Sumber : http://ift.tt/1qdRR6k