Benteng Tiga Pilar
Congratulations, pilpres akhirnya menobatkan pasangan nomer dua sebagai pemenang dengan selisih suara yang lumayan! Delapan juta lebih suara untuk pasangan capres nomer dua. Menelisik selisih dua ribu suara saja tidaklah mudah, apalagi delapan juta suara? Maka sepertinya sah saja ketika pada jalanan di ibukota telah terpampang beberapa papan reklame raksasa yang mengucapkan selamat. Demikian pula ucapan dari berbagai kepala negara lain kepada pasangan Jokowi-JK menjadi bagian dari selesainya sebuah pesta demokrasi.
Tetapi selain suara-suara rakyat, diam-diam ada benteng tiga pilar yang turut melindungi pilpres kali ini. Presiden, Panglima TNI dan Kapolri. Dulu saya pikir aneh, mengapa presiden tampak tidak banyak berkomentar tentang pilpres? Apakah sekedar acuh karena masa jabatannya telah berakhir atau karena ada modus lain dibalik sikap diamnya yang sering menjadi ciri khas beliau? Diam itu emas, kadang-kadang. Tapi ada momen - momen yang harus disuarakan, bukan? Masakan pesta demokrasi sebesar ini, yang menandakan berakhirnya masa sepuluh tahun pemerintahan, presiden lagi-lagi diam saja? Malah terkesan tidak menolong sama sekali, ketika ada sebuah gerakan penindasan yang boleh dikata terstruktur, sistematis dan masif (hehe!) dilakukan untuk menekan salah satu capres ketika itu. Mengapa tidak ada konperensi pers? Ternyata bukan demikian halnya.
Pilpres kemarin menjadi suatu peristiwa yang ‘nyaris’ karena kedua kubu sama kuat dan saling berhadapan. Sikap diam presiden bukan karena acuh, namun sepertinya lebih kepada strategi untuk tidak menambah minyak pada api yang sedikit membara. Sedikit saja komentar yang muncul dapat dipolitisir dan masuk dalam samudra polemik yang tak berkesudahan. Dapat Anda bayangkan, ketika Ibu Anie Yudhoyono sedikit emosi dan mengatakan ‘bodoh’ kepada seseorang saja langsung menjadi bara api para netizen dalam mengomentari kejadian tersebut. Bagaimana jika seorang presiden mengeluarkan komentar yang tidak tepat dan ketika ‘tensi’ pilpres sedang sedemikian tinggi? Maka irit dan bijak berkomentar menjadi salah satu ciri kekuatan presiden dalam pilpres kali ini. Padahal tetap ada kepentingan bagi beliau untuk berpihak. Jangankan presiden, tukang sayur langganan saja ngotot memenangkan salah satu pasangan capres pujaannya!
Untuk sikap diam presiden kali ini, sekarang saya mengerti maknanya. Kemudian sikap panglima TNI yang tidak suka kesatuannya ‘diutak-atik’. Saya juga sempat berpikir, panglima tidak adil. Mengapa kebenaran tentang issue babinsa tidak dibuka lebih lanjut? Bahkan dikatakan tidak ada. Kemudian masalah itu cepat ditutup bagaikan karung basah yang dilempar keatas kompor. Bagaimana rakyat dapat menilai ketika fakta yang dipaparkan tidak jelas dan bahkan terkesan buru-buru dihilangkan? Saya menilai panglima TNI termasuk orang yang cukup ramah dalam menjawab wawancara, namun dalam sebuah tanya-jawab secara tegas panglima menyatakan, “Isu babinsa tidak ada dan jangan disebut lagi mengenai hal itu. Saya tidak suka, karena menciderai seluruh pasukan saya, seluruh anggota TNI!” Kenapa galak bener?
Sekarang saya mengerti. Jika seandainya ia menjawab panjang, memaparkan segala fakta atau bahkan membuka forum diskusi mengenai itu. Lagi-lagi samudra polemik yang bergelora siap menyambut. Bisa jadi akan kembali memantik api yang lebih besar dan disana - sini. Jadi cukup bagi panglima TNI untuk membereskan sendiri urusan internalnya dan menutup masalah itu. Dapat pula Anda bayangkan, bagaimana mengelola pasukan perang jika para anggotanya tidak kompak menurut perintah? Ada yang hadap kanan dan ada yang hadap kiri? Ada yang berjalan dan ada yang diam ditempat? Maka benar ketika panglima menyatakan secara tegas, “Jangan sekali-kali utak - atik pasukan saya. Perintah hanya berasal dari satu pintu, panglima TNI.” Mengenai hal inipun sudah memunculkan spekulasi dengan adanya mutasi/pergeseran di tubuh pimpinan TNI yang baru saja terjadi. Dan itupun dibantah keras oleh panglima, tidak ada apa-apa. Hanya regenerasi, penyegaran dalam tubuh TNI. Sudah menjadi hal yang biasa. Okay deh!
Kemudian Kapolri yang selalu bersisian dengan panglima TNI. Bahkan Kapolri mungkin pekerjaan rumahnya sedikit lebih banyak dibanding panglima. Karena urusan - urusaan sipil lainnya yang tidak selesai-selesai. Seperti kasus berbagai gugatan, kasus berbagai tindak kriminal dan kasus berbagai kejadian kecelakaan. Masih pula anggota kepolisian menanggung beban turut menjaga kelancaran dan keamanan proses pemilihan presiden. Ya bagaimana tidak, kan mereka polisi? Jika diprediksi terjadi keributan mereka akan dan harus turut bersiap siaga pula. Bahu-membahu dengan pasukan TNI. Maka dalam hal ini Kapolri juga secara tegas menyatakan mendukung panglima TNI dalam proses pilpres. Walau masih banyak tugas lain yang tak henti masuk dalam dapur kepolisian.
Benteng tiga pilar ini diam-diam ikut melindungi keseluruhan proses yang sempat dikhawatirkan banyak pihak menjadi ricuh. Seiring dengan berlalunya hari H, tensi yang tinggi mulai menurun. Apalagi dengan munculnya realita tentang para capres tersebut. Baik pihak nomor satu dan pihak nomor dua. Masyarakat dibebaskan untuk menilai sendiri dari tindak dan lakunya. Mana yang berjiwa besar dan mana yang berjiwa kerdil. Mana yang dengan sekuat tenaga menahan agar jangan terjadi pergesekan dan mana yang justru terus-terusan memicu emosi serta niat ‘mbalelo’. Seiring dengan selesainya proses rekapitulasi suara pada hari H, presiden langsung menugaskan menko polhukam untuk menanggapi sikap salah satu capres. Dalam waktu yang singkat presiden langsung mencengkram situasi tanah air. Dan dapat dipastikan pula bahwa pada momen itu pasukan TNI dan kepolisian tentunya juga sudah bersiaga total. Ffffffiiiuhh,…
Teringat peristiwa beberapa waktu lalu ketika saya bertemu dengan sahabat yang suaminya boleh dikata termasuk ‘tokoh’ dari salah satu TV tersohor pendukung salah satu capres. Pembicaraan ibu-ibu sudah merambah ke hal yang sensitif. Saya yang hanya berpikir tentang fakta tiba-tiba disodok dan ditendang kakinya oleh teman lain. Akhirnya pembicaraan beralih. Ketika teman yang berasal dari kubu TV pesohor sudah berlalu, teman yang ‘menyelamatkan’ saya berkata, “Ssssh,.. sudah jangan kamu paksa berdiskusi dengannya. Situasi pilpres ini kurang menyenangkan bagi dia.” Lalu saya mengerti, ‘Oh, pantasan diam itu kadang-kadang disebut emas.’ Bukan berarti karena benar lalu terus-terusan bicara dan ngotot merasa yang ‘ter’. Yang waras ngalah dan yang berbesar hati merangkul. Akhirnya, selamat datang kepada Presidan dan Wakil Presiden baru Indonesia, Jokowi dan JK. Apresiasi dan terima-kasih kepada benteng tiga pilar, Presiden SBY, Panglima TNI Moeldoko dan Kapolri Sutarman. Akhir kata, sebelum berbicara dan bertindak, meminjam istilah Cak Lontong, ‘Mikiiiiiiiirrrrrrr…’
Teriring salam bagi teman-teman kompasioner semua : Selamat Hari Raya Idul Fitri 1435 H, mohon maaf lahir dan bathin.
Sumber : http://ift.tt/1rVE5Iz
Tetapi selain suara-suara rakyat, diam-diam ada benteng tiga pilar yang turut melindungi pilpres kali ini. Presiden, Panglima TNI dan Kapolri. Dulu saya pikir aneh, mengapa presiden tampak tidak banyak berkomentar tentang pilpres? Apakah sekedar acuh karena masa jabatannya telah berakhir atau karena ada modus lain dibalik sikap diamnya yang sering menjadi ciri khas beliau? Diam itu emas, kadang-kadang. Tapi ada momen - momen yang harus disuarakan, bukan? Masakan pesta demokrasi sebesar ini, yang menandakan berakhirnya masa sepuluh tahun pemerintahan, presiden lagi-lagi diam saja? Malah terkesan tidak menolong sama sekali, ketika ada sebuah gerakan penindasan yang boleh dikata terstruktur, sistematis dan masif (hehe!) dilakukan untuk menekan salah satu capres ketika itu. Mengapa tidak ada konperensi pers? Ternyata bukan demikian halnya.
Pilpres kemarin menjadi suatu peristiwa yang ‘nyaris’ karena kedua kubu sama kuat dan saling berhadapan. Sikap diam presiden bukan karena acuh, namun sepertinya lebih kepada strategi untuk tidak menambah minyak pada api yang sedikit membara. Sedikit saja komentar yang muncul dapat dipolitisir dan masuk dalam samudra polemik yang tak berkesudahan. Dapat Anda bayangkan, ketika Ibu Anie Yudhoyono sedikit emosi dan mengatakan ‘bodoh’ kepada seseorang saja langsung menjadi bara api para netizen dalam mengomentari kejadian tersebut. Bagaimana jika seorang presiden mengeluarkan komentar yang tidak tepat dan ketika ‘tensi’ pilpres sedang sedemikian tinggi? Maka irit dan bijak berkomentar menjadi salah satu ciri kekuatan presiden dalam pilpres kali ini. Padahal tetap ada kepentingan bagi beliau untuk berpihak. Jangankan presiden, tukang sayur langganan saja ngotot memenangkan salah satu pasangan capres pujaannya!
Untuk sikap diam presiden kali ini, sekarang saya mengerti maknanya. Kemudian sikap panglima TNI yang tidak suka kesatuannya ‘diutak-atik’. Saya juga sempat berpikir, panglima tidak adil. Mengapa kebenaran tentang issue babinsa tidak dibuka lebih lanjut? Bahkan dikatakan tidak ada. Kemudian masalah itu cepat ditutup bagaikan karung basah yang dilempar keatas kompor. Bagaimana rakyat dapat menilai ketika fakta yang dipaparkan tidak jelas dan bahkan terkesan buru-buru dihilangkan? Saya menilai panglima TNI termasuk orang yang cukup ramah dalam menjawab wawancara, namun dalam sebuah tanya-jawab secara tegas panglima menyatakan, “Isu babinsa tidak ada dan jangan disebut lagi mengenai hal itu. Saya tidak suka, karena menciderai seluruh pasukan saya, seluruh anggota TNI!” Kenapa galak bener?
Sekarang saya mengerti. Jika seandainya ia menjawab panjang, memaparkan segala fakta atau bahkan membuka forum diskusi mengenai itu. Lagi-lagi samudra polemik yang bergelora siap menyambut. Bisa jadi akan kembali memantik api yang lebih besar dan disana - sini. Jadi cukup bagi panglima TNI untuk membereskan sendiri urusan internalnya dan menutup masalah itu. Dapat pula Anda bayangkan, bagaimana mengelola pasukan perang jika para anggotanya tidak kompak menurut perintah? Ada yang hadap kanan dan ada yang hadap kiri? Ada yang berjalan dan ada yang diam ditempat? Maka benar ketika panglima menyatakan secara tegas, “Jangan sekali-kali utak - atik pasukan saya. Perintah hanya berasal dari satu pintu, panglima TNI.” Mengenai hal inipun sudah memunculkan spekulasi dengan adanya mutasi/pergeseran di tubuh pimpinan TNI yang baru saja terjadi. Dan itupun dibantah keras oleh panglima, tidak ada apa-apa. Hanya regenerasi, penyegaran dalam tubuh TNI. Sudah menjadi hal yang biasa. Okay deh!
Kemudian Kapolri yang selalu bersisian dengan panglima TNI. Bahkan Kapolri mungkin pekerjaan rumahnya sedikit lebih banyak dibanding panglima. Karena urusan - urusaan sipil lainnya yang tidak selesai-selesai. Seperti kasus berbagai gugatan, kasus berbagai tindak kriminal dan kasus berbagai kejadian kecelakaan. Masih pula anggota kepolisian menanggung beban turut menjaga kelancaran dan keamanan proses pemilihan presiden. Ya bagaimana tidak, kan mereka polisi? Jika diprediksi terjadi keributan mereka akan dan harus turut bersiap siaga pula. Bahu-membahu dengan pasukan TNI. Maka dalam hal ini Kapolri juga secara tegas menyatakan mendukung panglima TNI dalam proses pilpres. Walau masih banyak tugas lain yang tak henti masuk dalam dapur kepolisian.
Benteng tiga pilar ini diam-diam ikut melindungi keseluruhan proses yang sempat dikhawatirkan banyak pihak menjadi ricuh. Seiring dengan berlalunya hari H, tensi yang tinggi mulai menurun. Apalagi dengan munculnya realita tentang para capres tersebut. Baik pihak nomor satu dan pihak nomor dua. Masyarakat dibebaskan untuk menilai sendiri dari tindak dan lakunya. Mana yang berjiwa besar dan mana yang berjiwa kerdil. Mana yang dengan sekuat tenaga menahan agar jangan terjadi pergesekan dan mana yang justru terus-terusan memicu emosi serta niat ‘mbalelo’. Seiring dengan selesainya proses rekapitulasi suara pada hari H, presiden langsung menugaskan menko polhukam untuk menanggapi sikap salah satu capres. Dalam waktu yang singkat presiden langsung mencengkram situasi tanah air. Dan dapat dipastikan pula bahwa pada momen itu pasukan TNI dan kepolisian tentunya juga sudah bersiaga total. Ffffffiiiuhh,…
Teringat peristiwa beberapa waktu lalu ketika saya bertemu dengan sahabat yang suaminya boleh dikata termasuk ‘tokoh’ dari salah satu TV tersohor pendukung salah satu capres. Pembicaraan ibu-ibu sudah merambah ke hal yang sensitif. Saya yang hanya berpikir tentang fakta tiba-tiba disodok dan ditendang kakinya oleh teman lain. Akhirnya pembicaraan beralih. Ketika teman yang berasal dari kubu TV pesohor sudah berlalu, teman yang ‘menyelamatkan’ saya berkata, “Ssssh,.. sudah jangan kamu paksa berdiskusi dengannya. Situasi pilpres ini kurang menyenangkan bagi dia.” Lalu saya mengerti, ‘Oh, pantasan diam itu kadang-kadang disebut emas.’ Bukan berarti karena benar lalu terus-terusan bicara dan ngotot merasa yang ‘ter’. Yang waras ngalah dan yang berbesar hati merangkul. Akhirnya, selamat datang kepada Presidan dan Wakil Presiden baru Indonesia, Jokowi dan JK. Apresiasi dan terima-kasih kepada benteng tiga pilar, Presiden SBY, Panglima TNI Moeldoko dan Kapolri Sutarman. Akhir kata, sebelum berbicara dan bertindak, meminjam istilah Cak Lontong, ‘Mikiiiiiiiirrrrrrr…’
Teriring salam bagi teman-teman kompasioner semua : Selamat Hari Raya Idul Fitri 1435 H, mohon maaf lahir dan bathin.
Sumber : http://ift.tt/1rVE5Iz