Membongkar Kediktatoran Jokowi-Jusuf Kalla
Dalam usaha kubu Jokowi-JK untuk mengurangkan dukungan rakyat Indonesia kepada Koalisi Merah Putih dan pasangan Prabowo-Hatta, Jokowi mendakwa seolah Koalisi Merah Putih dan Prabowo-Hatta adalah kafir bagi demokrasi dan penegakan hak asasi manusia di Indonesia serta akan mengembalikan Indonesia ke rezim represif yang anti demokrasi dan HAM, khususnya karena tuduhan pelanggaran HAM yang dikenakan terhadap rekam jejak masa lalu Prabowo ketika masih berdinas pada Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Kubu Jokowi-JK mendakwa bahwa bangsa Indonesia tidak dibenarkan bekerja sama dan memilih kubu anti demokrasi dan pelanggar HAM, sekali lagi, seolah mereka akan menjadi kafir bila berbuat demikian. Tuduhan ini dibuat dengan begitu serius sehingga para pendukung Jokowi-JK benar-benar percaya tanpa keraguan bahwa kubu Prabowo-Hatta adalah anti demokrasi, anti minoritas, anti hak asasi manusia dan anti reformasi sebab kubu Jokowi-JK berhasil menanamkan berbagai cerita seram tentang lawannya, mulai dari isu penculikan aktivis sampai kepada mendalangi Kerusuhan 13-14 Mei 1998. Perbuatan kubu Jokowi-JK menyebabkan perpecahan dalam keluarga dan masyarakat sebab anak “mengkafirkan” orang tuanya yang mendukung Prabowo-Hatta, demikian pula orang “mengkafirkan” temannya karena mendukung Jokowi-JK.
Kubu Jokowi-JK tidak memiliki pilihan lain selain melakukan propaganda disinformasi berisi fitnah, hujjah dan hujatan seperti itu sebab tanpa menempatkan pasangan Prabowo-Hatta sebagai monster menakutkan bagi Indonesia maka mereka tidak akan pernah memenangi pemilihan presiden. Karena berbagai fitnah tersebut, ditambah kecurangan yang mereka lakukan akhirnya kubu Jokowi-JK terpilih menjadi pemimpin Republik Indonesia selama lima tahun mendatang, kendati sangat tipis yakni 52% : 48%, itupun menurut survei terakhir Cyrus Network, setelah dua bulan memerintah, elektabilitas keduanya sudah menurun sebanyak 2%, yang artinya apabila pilpres dilakukan hari ini maka kemungkinan besar mereka tidak akan terpilih kembali. Jelas sekali, tanpa berbuat curang dan melakukan pelanggaran pemilu, tidak mungkin kubu Jokowi-JK menang dan berkuasa di negeri ini, itu sudah fakta tidak terbantahkan.
Walaupun Jokowi-JK berhasil memenangkan pilpres dan PDIP, tetapi kemenangan tersebut sekarang mulai disesali oleh masyarakat. PDIP, Jokowi-JK juga terpaksa mengakui bahwa tanpa sokongan dari KMP, tidak mungkin mereka bisa bekerja dengan tenang sehingga mereka menjadi serba salah. Mereka “mengkafirkan” partai-partai pendukung Prabowo-Hatta sebagai pendukung anti demokrasi, pelanggar HAM, pro-Orde Baru dan berbagai adjektif lain. Tetapi pada hakikatnya, PDIP perlu bekerja sama dengan “orang-orang kafir” itu jika ingin program mereka terlaksana dengan baik. Untuk itulah kubu Jokowi-JK mulai menggunakan kekuasaan mereka untuk mengobok-ngobok partai-partai oposisi yang bergabung dalam KMP yang dimulai dari mengadu domba internal PPP dan sekarang Golkar, kelak entah siapa lagi yang akan menjadi korban? Tangan jahil Jokowi-JK dalam konflik kedua partai politik anggota KMP tersebut nyata terlihat dari keputusan Menteri Hukum dan HAM untuk berpolitik dan mengakui partai pecahan PPP dan Golkar sebagai partai yang sah. Bukan kebetulan tentunya apabila “partai PPP tandingan dan Golkar tandingan” sekarang menyatakan keinginan mereka untuk membubarkan KMP.
Mengingat bahwa kubu Jokowi-JK digawangi oleh CSIS maka adu domba PPP dan Golkar dalam usaha menarik kedua partai oposisi tersebut untuk menjadi partai pemerintah sesungguhnya sudah dapat diperkirakan sebelumnya, sebab strategi mengganti pucuk pimpinan partai politik atau organisasi politik yang beroposisi dengan pemerintah adalah taktik andalan CSIS sejak zaman pendiri mereka, Ali Moertopo masih hidup. Yang mengherankan adalah bahwa Jokowi-JK membuka kedok mereka sebagai pasangan pemimpin tiran bersifat diktator yang totalitarian lebih cepat dari perkiraan, yaitu hanya membutuhkan waktu dua bulan sejak mereka dilantik untuk membuka topeng anti oposisi dan anti kebebasan berpendapat mereka.
Sifat anti oposisi dan anti demokrasi juga ditandai dengan keputusan Kementerian Komunikasi dan Informatika memblokir situs berita online, Papua Post pada hari Jumat, 19 Desember 2014 karena menurut Juru Bicara Kemenkominfo, Ismail Cawidu, situs online yang sudah berdiri selama 10 tahun dan merupakan anggota Dewan Pers itu berbahaya bagi Republik Indonesia karena kerap mengkritik kebijakan pemerintah pusat di Papua. Tidak pelak lagi, kebijakan pemblokiran ini dikritik oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang mengatakan bahwa pemblokiran tersebut adalah bagian dari usaha pemerintah Jokowi-JK membungkam kebebasan pers dan kebebasan berekspresi dari warga negara dan ketimbang membungkam aspirasi rakyat Papua lebih baik pemerintah mencari solusi.
Patut diduga bahwa aksi pemblokiran tersebut dilakukan untuk membungkam Papua Post dari melaporkan aksi pembantaian terhadap puluhan warga sipil di Lapangan Karel Gobay, Eharotali, Paniai, Papua yang menewaskan lima anak SMA dan belasan lain luka kritis yang terjadi awal Desember 2014. Secara sinis, warga Papua menyindir bahwa pembantaian yang terjadi adalah hadiah natal dan tahun baru dari Jokowi-JK. Insiden ini juga menyebabkan pimpinan gereja-gereja di Papua menolak rencana Jokowi menghadiri natal di Papua. Sungguh mengerikan bahwa para anak buah Jokowi-JK di TNI/Polri dan Kemenkominfo sudah melakukan pelanggaran HAM yang sangat berat berupa pembantaian rakyat sipil dan membungkam usaha pers untuk melaporkannya padahal mereka baru resmi menjabat dua bulan lalu (http://ift.tt/13qsMPK). Dan dengan seenaknya, anak buah Jokowi-JK yang lain, yaitu Menkopolhukam Tedjo Edi Purdijanto dalam usaha melindungi bossnya mengatakan bahwa tewasnya lima warga sipil di Papua tersebut sudah diselesaikan secara adat. Gila apa, pembunuhan oleh TNI/Polri kepada warga sipil yang merupakan kewenangan Dewan Kehormatan Militer dengan seenaknya dikatakan selesai begitu saja dengan hukum adat? Tidak heran bila tokoh Gereja Paniai kemudian membantah keras pernyataan yang melukai hati masyarakat seperti itu (http://ift.tt/13qsPem).
Inilah sifat asli Jokowi-JK yang sesungguhnya..mereka tidak peduli masalah HAM, demokrasi atau penegakan hukum. Sebaliknya, mereka tidak menyukai semua itu, khususnya apabila mengancam kekuasaan dan keuntungan yang dapat mereka raup bagi diri mereka atau kroni mereka, seperti yang terlihat dalam keputusan Jokowi-JK mengimpor 1.500 kapal asing ke Indonesia. Mengapa tidak memanfaatkan PT PAL untuk memproduksi kapal-kapal tersebut bila memang membutuhkan? Selain itu, karakter anti HAM dan demokrasi Jokowi-JK juga semakin tampak jelas apabila kita mengingat kembali pernyataan Jokowi demi melindungi pelindungnya, Hendropriyono, bahwa pembantaian rakyat Talangsari Lampung oleh Hendropriyono adalah bukan pelanggaran HAM; selanjutnya Jokowi memberikan pembebasan bersyarat kepada Pollycarpus, terpidana pembunuhan aktivis HAM Munir yang didalangi oleh Hendropriyono, malah sekarang memberikan hadiah kepada Hendropriyono berupa jabatan penasehat dan komisaris Telkomsel kepada Diaz Hendropriyono. Tidak dapat dibayangkan bagaimana patah hatinya Suciwati, istri Munir melihat presiden yang dia dukung dan dia percayai akan memberikan keadilan sehubungan dengan pembunuhan Munir ternyata lebih bejat daripada presiden-presiden yang pernah menjabat di Republik ini. Kekecewaan Suciwati dapat dipastikan mewakili seluruh aktivis HAM dan demokrasi pendukung pasangan Jokowi-JK selama pilpres.
Dalam konteks seperti digambarkan di atas maka kita bisa memahami pernyataan dari koordinator KontraS, Haris Azhar bahwa pemerintahan Jokowi tidak bersungguh-sungguh menuntaskan kasus pelanggaran HAM di Indonesia padahal salah satu janji manis Jokowi pada masa pilpres adalah menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat sehingga KontraS yakin bahwa Jokowi tidak akan sanggup memberikan perlindungan kepada warga Indonesia dari pelanggaran HAM oleh negara. Tapi sepertinya Haris Azhar lupa bahwa janji kampanye seorang Jokowi memang dibuat untuk dilanggar dan pada akhirnya menanggapi isu HAM, Jokowi akan berkata: “pelanggaran HAM? bukan urusan saya, seharusnya itu diselesaikan oleh pendahulu saya.” Nasi memang sudah menjadi bubur. Ada baiknya semua rakyat Indonesia berdoa agar masa pemerintahan Jokowi-JK cepat berlalu.
Sumber : http://ift.tt/1xDgroN
Kubu Jokowi-JK mendakwa bahwa bangsa Indonesia tidak dibenarkan bekerja sama dan memilih kubu anti demokrasi dan pelanggar HAM, sekali lagi, seolah mereka akan menjadi kafir bila berbuat demikian. Tuduhan ini dibuat dengan begitu serius sehingga para pendukung Jokowi-JK benar-benar percaya tanpa keraguan bahwa kubu Prabowo-Hatta adalah anti demokrasi, anti minoritas, anti hak asasi manusia dan anti reformasi sebab kubu Jokowi-JK berhasil menanamkan berbagai cerita seram tentang lawannya, mulai dari isu penculikan aktivis sampai kepada mendalangi Kerusuhan 13-14 Mei 1998. Perbuatan kubu Jokowi-JK menyebabkan perpecahan dalam keluarga dan masyarakat sebab anak “mengkafirkan” orang tuanya yang mendukung Prabowo-Hatta, demikian pula orang “mengkafirkan” temannya karena mendukung Jokowi-JK.
Kubu Jokowi-JK tidak memiliki pilihan lain selain melakukan propaganda disinformasi berisi fitnah, hujjah dan hujatan seperti itu sebab tanpa menempatkan pasangan Prabowo-Hatta sebagai monster menakutkan bagi Indonesia maka mereka tidak akan pernah memenangi pemilihan presiden. Karena berbagai fitnah tersebut, ditambah kecurangan yang mereka lakukan akhirnya kubu Jokowi-JK terpilih menjadi pemimpin Republik Indonesia selama lima tahun mendatang, kendati sangat tipis yakni 52% : 48%, itupun menurut survei terakhir Cyrus Network, setelah dua bulan memerintah, elektabilitas keduanya sudah menurun sebanyak 2%, yang artinya apabila pilpres dilakukan hari ini maka kemungkinan besar mereka tidak akan terpilih kembali. Jelas sekali, tanpa berbuat curang dan melakukan pelanggaran pemilu, tidak mungkin kubu Jokowi-JK menang dan berkuasa di negeri ini, itu sudah fakta tidak terbantahkan.
Walaupun Jokowi-JK berhasil memenangkan pilpres dan PDIP, tetapi kemenangan tersebut sekarang mulai disesali oleh masyarakat. PDIP, Jokowi-JK juga terpaksa mengakui bahwa tanpa sokongan dari KMP, tidak mungkin mereka bisa bekerja dengan tenang sehingga mereka menjadi serba salah. Mereka “mengkafirkan” partai-partai pendukung Prabowo-Hatta sebagai pendukung anti demokrasi, pelanggar HAM, pro-Orde Baru dan berbagai adjektif lain. Tetapi pada hakikatnya, PDIP perlu bekerja sama dengan “orang-orang kafir” itu jika ingin program mereka terlaksana dengan baik. Untuk itulah kubu Jokowi-JK mulai menggunakan kekuasaan mereka untuk mengobok-ngobok partai-partai oposisi yang bergabung dalam KMP yang dimulai dari mengadu domba internal PPP dan sekarang Golkar, kelak entah siapa lagi yang akan menjadi korban? Tangan jahil Jokowi-JK dalam konflik kedua partai politik anggota KMP tersebut nyata terlihat dari keputusan Menteri Hukum dan HAM untuk berpolitik dan mengakui partai pecahan PPP dan Golkar sebagai partai yang sah. Bukan kebetulan tentunya apabila “partai PPP tandingan dan Golkar tandingan” sekarang menyatakan keinginan mereka untuk membubarkan KMP.
Mengingat bahwa kubu Jokowi-JK digawangi oleh CSIS maka adu domba PPP dan Golkar dalam usaha menarik kedua partai oposisi tersebut untuk menjadi partai pemerintah sesungguhnya sudah dapat diperkirakan sebelumnya, sebab strategi mengganti pucuk pimpinan partai politik atau organisasi politik yang beroposisi dengan pemerintah adalah taktik andalan CSIS sejak zaman pendiri mereka, Ali Moertopo masih hidup. Yang mengherankan adalah bahwa Jokowi-JK membuka kedok mereka sebagai pasangan pemimpin tiran bersifat diktator yang totalitarian lebih cepat dari perkiraan, yaitu hanya membutuhkan waktu dua bulan sejak mereka dilantik untuk membuka topeng anti oposisi dan anti kebebasan berpendapat mereka.
Sifat anti oposisi dan anti demokrasi juga ditandai dengan keputusan Kementerian Komunikasi dan Informatika memblokir situs berita online, Papua Post pada hari Jumat, 19 Desember 2014 karena menurut Juru Bicara Kemenkominfo, Ismail Cawidu, situs online yang sudah berdiri selama 10 tahun dan merupakan anggota Dewan Pers itu berbahaya bagi Republik Indonesia karena kerap mengkritik kebijakan pemerintah pusat di Papua. Tidak pelak lagi, kebijakan pemblokiran ini dikritik oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang mengatakan bahwa pemblokiran tersebut adalah bagian dari usaha pemerintah Jokowi-JK membungkam kebebasan pers dan kebebasan berekspresi dari warga negara dan ketimbang membungkam aspirasi rakyat Papua lebih baik pemerintah mencari solusi.
Patut diduga bahwa aksi pemblokiran tersebut dilakukan untuk membungkam Papua Post dari melaporkan aksi pembantaian terhadap puluhan warga sipil di Lapangan Karel Gobay, Eharotali, Paniai, Papua yang menewaskan lima anak SMA dan belasan lain luka kritis yang terjadi awal Desember 2014. Secara sinis, warga Papua menyindir bahwa pembantaian yang terjadi adalah hadiah natal dan tahun baru dari Jokowi-JK. Insiden ini juga menyebabkan pimpinan gereja-gereja di Papua menolak rencana Jokowi menghadiri natal di Papua. Sungguh mengerikan bahwa para anak buah Jokowi-JK di TNI/Polri dan Kemenkominfo sudah melakukan pelanggaran HAM yang sangat berat berupa pembantaian rakyat sipil dan membungkam usaha pers untuk melaporkannya padahal mereka baru resmi menjabat dua bulan lalu (http://ift.tt/13qsMPK). Dan dengan seenaknya, anak buah Jokowi-JK yang lain, yaitu Menkopolhukam Tedjo Edi Purdijanto dalam usaha melindungi bossnya mengatakan bahwa tewasnya lima warga sipil di Papua tersebut sudah diselesaikan secara adat. Gila apa, pembunuhan oleh TNI/Polri kepada warga sipil yang merupakan kewenangan Dewan Kehormatan Militer dengan seenaknya dikatakan selesai begitu saja dengan hukum adat? Tidak heran bila tokoh Gereja Paniai kemudian membantah keras pernyataan yang melukai hati masyarakat seperti itu (http://ift.tt/13qsPem).
Inilah sifat asli Jokowi-JK yang sesungguhnya..mereka tidak peduli masalah HAM, demokrasi atau penegakan hukum. Sebaliknya, mereka tidak menyukai semua itu, khususnya apabila mengancam kekuasaan dan keuntungan yang dapat mereka raup bagi diri mereka atau kroni mereka, seperti yang terlihat dalam keputusan Jokowi-JK mengimpor 1.500 kapal asing ke Indonesia. Mengapa tidak memanfaatkan PT PAL untuk memproduksi kapal-kapal tersebut bila memang membutuhkan? Selain itu, karakter anti HAM dan demokrasi Jokowi-JK juga semakin tampak jelas apabila kita mengingat kembali pernyataan Jokowi demi melindungi pelindungnya, Hendropriyono, bahwa pembantaian rakyat Talangsari Lampung oleh Hendropriyono adalah bukan pelanggaran HAM; selanjutnya Jokowi memberikan pembebasan bersyarat kepada Pollycarpus, terpidana pembunuhan aktivis HAM Munir yang didalangi oleh Hendropriyono, malah sekarang memberikan hadiah kepada Hendropriyono berupa jabatan penasehat dan komisaris Telkomsel kepada Diaz Hendropriyono. Tidak dapat dibayangkan bagaimana patah hatinya Suciwati, istri Munir melihat presiden yang dia dukung dan dia percayai akan memberikan keadilan sehubungan dengan pembunuhan Munir ternyata lebih bejat daripada presiden-presiden yang pernah menjabat di Republik ini. Kekecewaan Suciwati dapat dipastikan mewakili seluruh aktivis HAM dan demokrasi pendukung pasangan Jokowi-JK selama pilpres.
Dalam konteks seperti digambarkan di atas maka kita bisa memahami pernyataan dari koordinator KontraS, Haris Azhar bahwa pemerintahan Jokowi tidak bersungguh-sungguh menuntaskan kasus pelanggaran HAM di Indonesia padahal salah satu janji manis Jokowi pada masa pilpres adalah menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat sehingga KontraS yakin bahwa Jokowi tidak akan sanggup memberikan perlindungan kepada warga Indonesia dari pelanggaran HAM oleh negara. Tapi sepertinya Haris Azhar lupa bahwa janji kampanye seorang Jokowi memang dibuat untuk dilanggar dan pada akhirnya menanggapi isu HAM, Jokowi akan berkata: “pelanggaran HAM? bukan urusan saya, seharusnya itu diselesaikan oleh pendahulu saya.” Nasi memang sudah menjadi bubur. Ada baiknya semua rakyat Indonesia berdoa agar masa pemerintahan Jokowi-JK cepat berlalu.
Sumber : http://ift.tt/1xDgroN