Gempita Kenaikan BBM Semakin Terasa
Kenaikan harga BBM sudah bukan misteri lagi. Titik terang telah dimunculkan di berbagai media massa. Bulan ini BBM akan diresmikan naik. Dan sudah barang tentu berbagai gegap-gempita bermunculan, ada yang setuju, tapi tak sedikit juga yang tidak setuju. Terlepas dari pro-kontranya, yang jelas, kenaikan harga BBM sudah melalui pertimbangan yang matang.
Pemerintah sudah berupaya maksimal dalam rangka menentukan kebijakan yang diambil. Kalaupun itu salah, tapi bukan berarti hal itu serta-merta dijadikan alat untuk menjelek-jelekkan pemerintah. Barangkali masih ingat bagaimana konsep ijtihad dalam Islam. “Orang yang berijtihad meskipun salah akan tetap mendapatkan satu pahala. Sementara orang yang berijtihad dan benar maka akan mendapatkan dua pahala.” Artinya apa? Dari sana terdapat pelajaran bagaimana mengapresiasi usaha seseorang.
Namun, pemerintah juga tidak boleh takut untuk menghadapi segala resiko terhadap keputusan yang diambil. Berbagai persiapan sudah mesti lebih matang lagi agar ketika terjadi gejolak, pemerintah tidak kelimpungan. Dan yang paling utama adalah berupaya untuk menjelaskan semaksimal mungkin kepada masyarakat mengenai keputusan yang diambil. Masih terekam kuat di benak setiap orang bahwa Jokowi merupakan presiden yang berangkat dari rakyat biasa. Sehingga harapan besar masyarakat kepada Jokowi semakin berlipat ganda. Oleh karena itu, jangan sampai akibat dari keputusan ini Jokowi menjadi anjlok di mata rakyatnya sebagaimana pemerintah-pemerintah yang lain.
Setelah saya cermati, setidaknya pemerintah harus berupaya agar kata Bahan Bakar Minyak (BBM) itu tidak mudah terpeleset menjadi Beban Berat Masyarakat (BBM). Artinya, keputusan itu nantinya tidak berakibat pada semakin meningkatnya kesenjangan perekonomian rakyat jelata. Sebab, yang menjadi korban utama dalam setiap kenaikan harga BBM adalah rakyat jelata. Rakyat yang untuk menyambung kehidupannya hanya menjadi kuli atau kerja serabutan yang penghasilannya tidak mengikuti upah minimum regional (UMR). Hal ini akan mudah membuat kesenjangan di masyarakat.
Di samping itu, pemerintah sudah harus bergerak untuk mengadakan pengamanan terhadap BBM. Detik-detik kenaikan harga seperti saat ini akan mudah terjadi banyak penyimpangan, misalnya tindak penimbunan. Karena tindakan penimbunan itu, baik secara hukum maupun secara sosial ekonomi, sangat tidak baik.
Dapatlah dibaca oleh pemerintah bagaimana kenaikan konsumsi BBM menjelang detik-detik kenaikan harga BBM. Sebagaimana yang dilaporkan oleh pemerintah, ada sekitar 11 persen kenaikan tingkat konsumsi menjelang kenaikan harga BBM. Bahkan kenaikan tingkat konsumsi itu sudah mulai meningkat sejak isu kenaikan harga BBM baru muncul beberapa bulan yang lalu.
Untuk itu, pemerintah mesti segera bekerja dan tidak menunggu hingga penyimpangan itu muncul kepermukaan. Bukankah mencegah lebih baik daripada mengobati?
Pemerintah juga harus mencari solusi yang paling efektif untuk menghadapi masalah inflasi yang pasti akan dihadapi seiring kenaikan harga BBM. Untuk sementara, prediksi inflasi jika harga BBM naik sebesar tiga ribu rupiah adalah tiga persen. Bahkan beberapa hari yang lalu ada yang memprediksikan kenaikan inflasi itu dapat mencapai tujuh persen. Terlepas dari segala ketepatan prediksi tersebut, yang pasti pemerintah harus siaga tingkat tinggi.
Akan tetapi, pemerintah juga tidak perlu menjadikan hambatan jika banyak masyarakat yang memprotes. Seperti pengalaman-pengalaman sebelumnya, setiap kenaikan harga BBM memang selalu diikuti gejolak di masyarakat. Pro-kontra sudah merupakan hal lumrah dalam setiap pengambilan kebijakan. Namun, setiap gejolak itu akan cepat redam saat ketepatan pemerintah dalam mengambil keputusan itu dapat dibuktikan. Sebaliknya, gejolak itu akan semakin berkobar ketika pemerintah gagal dalam membuktikan.
Dari situ, salah satu yang menjadi kunci utama pemerintah untuk meredam setiap gejolak adalah dengan menunjukkan bukti konkret kepada masyarakat. Karena masyarakat saat ini lebih menyukai bukti konkret daripada konsep semata. Mungkin hingga saat ini Jokowi beserta menterinya masih cukup lihai memberikan bukti konkret itu, sehingga kepercayaan masyarakat kepada Jokowi masih tinggi. Dan kenaikan harga BBM ini tentunya akan menjadi tantangan tersendiri bagi Jokowi. Bisakah Jokowi membuktikan ketepatan dalam mengambil keputusan ini dengan konkret?
Oleh karena itu, Jokowi perlu menyiapkan kompensasi yang sempurna dalam rangka mengantisipasi akibat buruk kenaikan BBM terhadap masyarakat. Memang untuk saat ini yang paling gencar dibicarakan mengenai kompensasi itu adalah pengadaan kartu rakyat. Akan tetapi, seperti yang saya tulis dalam opini yang berjudul “Sistem Baru Tetap Perlu Sosialisasi”, kartu rakyat itu masih menyimpan banyak kekurangan. Padahal waktu kenaikan harga BBM sudah dalam hitungan jari.
Tampaknya, keputusan ini sangat tergesa-gesa. Kerja pemerintah benar-benar diforsir sejak dini. Semua program kerja Jokowi terlihat dikejar deadline yang sangat dekat. Semoga sukses!
Sumber : http://ift.tt/1vOW161
Pemerintah sudah berupaya maksimal dalam rangka menentukan kebijakan yang diambil. Kalaupun itu salah, tapi bukan berarti hal itu serta-merta dijadikan alat untuk menjelek-jelekkan pemerintah. Barangkali masih ingat bagaimana konsep ijtihad dalam Islam. “Orang yang berijtihad meskipun salah akan tetap mendapatkan satu pahala. Sementara orang yang berijtihad dan benar maka akan mendapatkan dua pahala.” Artinya apa? Dari sana terdapat pelajaran bagaimana mengapresiasi usaha seseorang.
Namun, pemerintah juga tidak boleh takut untuk menghadapi segala resiko terhadap keputusan yang diambil. Berbagai persiapan sudah mesti lebih matang lagi agar ketika terjadi gejolak, pemerintah tidak kelimpungan. Dan yang paling utama adalah berupaya untuk menjelaskan semaksimal mungkin kepada masyarakat mengenai keputusan yang diambil. Masih terekam kuat di benak setiap orang bahwa Jokowi merupakan presiden yang berangkat dari rakyat biasa. Sehingga harapan besar masyarakat kepada Jokowi semakin berlipat ganda. Oleh karena itu, jangan sampai akibat dari keputusan ini Jokowi menjadi anjlok di mata rakyatnya sebagaimana pemerintah-pemerintah yang lain.
Setelah saya cermati, setidaknya pemerintah harus berupaya agar kata Bahan Bakar Minyak (BBM) itu tidak mudah terpeleset menjadi Beban Berat Masyarakat (BBM). Artinya, keputusan itu nantinya tidak berakibat pada semakin meningkatnya kesenjangan perekonomian rakyat jelata. Sebab, yang menjadi korban utama dalam setiap kenaikan harga BBM adalah rakyat jelata. Rakyat yang untuk menyambung kehidupannya hanya menjadi kuli atau kerja serabutan yang penghasilannya tidak mengikuti upah minimum regional (UMR). Hal ini akan mudah membuat kesenjangan di masyarakat.
Di samping itu, pemerintah sudah harus bergerak untuk mengadakan pengamanan terhadap BBM. Detik-detik kenaikan harga seperti saat ini akan mudah terjadi banyak penyimpangan, misalnya tindak penimbunan. Karena tindakan penimbunan itu, baik secara hukum maupun secara sosial ekonomi, sangat tidak baik.
Dapatlah dibaca oleh pemerintah bagaimana kenaikan konsumsi BBM menjelang detik-detik kenaikan harga BBM. Sebagaimana yang dilaporkan oleh pemerintah, ada sekitar 11 persen kenaikan tingkat konsumsi menjelang kenaikan harga BBM. Bahkan kenaikan tingkat konsumsi itu sudah mulai meningkat sejak isu kenaikan harga BBM baru muncul beberapa bulan yang lalu.
Untuk itu, pemerintah mesti segera bekerja dan tidak menunggu hingga penyimpangan itu muncul kepermukaan. Bukankah mencegah lebih baik daripada mengobati?
Pemerintah juga harus mencari solusi yang paling efektif untuk menghadapi masalah inflasi yang pasti akan dihadapi seiring kenaikan harga BBM. Untuk sementara, prediksi inflasi jika harga BBM naik sebesar tiga ribu rupiah adalah tiga persen. Bahkan beberapa hari yang lalu ada yang memprediksikan kenaikan inflasi itu dapat mencapai tujuh persen. Terlepas dari segala ketepatan prediksi tersebut, yang pasti pemerintah harus siaga tingkat tinggi.
Akan tetapi, pemerintah juga tidak perlu menjadikan hambatan jika banyak masyarakat yang memprotes. Seperti pengalaman-pengalaman sebelumnya, setiap kenaikan harga BBM memang selalu diikuti gejolak di masyarakat. Pro-kontra sudah merupakan hal lumrah dalam setiap pengambilan kebijakan. Namun, setiap gejolak itu akan cepat redam saat ketepatan pemerintah dalam mengambil keputusan itu dapat dibuktikan. Sebaliknya, gejolak itu akan semakin berkobar ketika pemerintah gagal dalam membuktikan.
Dari situ, salah satu yang menjadi kunci utama pemerintah untuk meredam setiap gejolak adalah dengan menunjukkan bukti konkret kepada masyarakat. Karena masyarakat saat ini lebih menyukai bukti konkret daripada konsep semata. Mungkin hingga saat ini Jokowi beserta menterinya masih cukup lihai memberikan bukti konkret itu, sehingga kepercayaan masyarakat kepada Jokowi masih tinggi. Dan kenaikan harga BBM ini tentunya akan menjadi tantangan tersendiri bagi Jokowi. Bisakah Jokowi membuktikan ketepatan dalam mengambil keputusan ini dengan konkret?
Oleh karena itu, Jokowi perlu menyiapkan kompensasi yang sempurna dalam rangka mengantisipasi akibat buruk kenaikan BBM terhadap masyarakat. Memang untuk saat ini yang paling gencar dibicarakan mengenai kompensasi itu adalah pengadaan kartu rakyat. Akan tetapi, seperti yang saya tulis dalam opini yang berjudul “Sistem Baru Tetap Perlu Sosialisasi”, kartu rakyat itu masih menyimpan banyak kekurangan. Padahal waktu kenaikan harga BBM sudah dalam hitungan jari.
Tampaknya, keputusan ini sangat tergesa-gesa. Kerja pemerintah benar-benar diforsir sejak dini. Semua program kerja Jokowi terlihat dikejar deadline yang sangat dekat. Semoga sukses!
Sumber : http://ift.tt/1vOW161