Dari Freeport sampai Kartu Sakti Jokowi Ilegal?!
Program kartu sakti yang baru saja diluncurkan oleh pemerintahan jokowi-JK, mereka klaim sesuai atau sejalan dengan UU BPJS, UU diknas dan UUD 1945. Freeport juga sewaktu masuk Papua pakai andil UU PMA tanpa aturan teknis yang memadai. Baru tahun 2009, UU minerba berlaku. Akibatnya Negara tra dapat apa-apa dari sebuah kebijakan yang seenaknya itu.
Sesuatu kebijakan yang tidak punya payung hukum (dari aturan utama-aturan teknis), ibarat sebuah gerbong kereta yang meluncur bukan pada rel (maen tabrak saja asal sampai). Belum dinikmati warga Negara, program kartu-kartu itu mendapat kritik pedas dari para pakar hukum.
Indonesia semestinya belajar dari pengalaman masuknya Freeport ke Indonesia Papua, dan kasus terbesar yang masih hangat alias century gate (skandal pembobolan) uang Negara. Kecelakaan hukum yang mengabaikan prinsip kedaulatan Negara tersebut, seharusnya, dimasa kini, hal sekecil apapun patut di ukur kadar hukumnya sudah lengkap atau tidak, biar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum.
Dulu LPS disebut bukan uang Negara, eh malah bermasalah. Sekarang, CSR dari BUMN untuk biaya kartu Sakti dibilang itu sumbangan dari para insane BUMN semata sehingga bukan uang Negara. Lama kelamaan, Amerika beli pulau Bali atau Raja Ampat tetapi diklaim itu bukan uang Negara.
Belum lama ini, kabinet Kerja via Puan mengatakan kebijakan KIP, KKS dan KIS itu akan dibuatkan payung hukumnya dalam bentuk Inpres dan Keppres yang akan diteken Presiden Joko Widodo. Pijakan anak Megawati itu dibantah. Kata Yusril, Puan harus tahu bahwa Inpres dan Keppres itu bukanlah instrumen hukum dalam hierarki peraturan perundang-undangan RI. Inpres dan Keppres pernah digunakan di zaman Soekarno dan Soekarno sebagai instrumen hukum. Namun lanjut Yusril kini setelah reformasi, tidak digunakan lagi. “Inpres hanyalah perintah biasa dari Presiden dan Keppres hanya untuk penetapan seperti mengangkat dan memberhentikan pejabat,” kata Yusril.
Mengenai sumber dana yang digunakan untuk membiayai kebijakan tiga kartu sakti tersebut, Mensesneg Pratikno, menyebut dana tiga kartu sakti berasal dari dana CSR BUMN. jadi bukan dana APBN sehingga tidak perlu dibahas dengan DPR. Pernyataan tersebut juga di kritik. Penyaluran dana melalui tiga kartu sakti tersebut, kata Yusril, bukanlah kegiatan BUMN dalam melaksanakan corporate social responsibility mereka. Kekayaan BUMN itu kekayaan yang sudah dipisahkan dari keuangan negara, namun tetap menjadi obyek pemeriksaan BPK dan BPKP. Karena itu jika negara ingin menggunakan dana CSR BUMN status dana tersebut haruslah jelas, dipinjam negara atau diambil oleh negara. Sebab dana yang disalurkan melalui tiga kartu sakti adalah kegiatan pemerintah sebagai ‘kompensasi’ kenaikan harga BBM yang akan dilakukan Pemerintah,” ujar Yusril.
“Ini bukan mengelola warung, kartu Jokowi harus jelas dasar hukumnya. Sampai siang ini belum jelas apa dasar hukum dikeluarkannya kebijakan tiga jenis kartu sakti KIS, KIP dan KKS oleh Presiden Jokowi,” kata Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra dalam pernyataannya kepada Tribunnews, Kamis (6/11/2014). “Kalau mengelola rumah tangga atau warung, apa yang terlintas dalam pikiran bisa langsung diwujudkan dalam tindakan. Negara tidak begitu. Suatu kebijakan harus ada landasan hukumnya,”ujar Yusril.
http://ift.tt/1tKLFaH
Kebijakan yang tidak sesuai prosedur, otomatis illegal alias tidak dibenarkan dalam Negara hukum itu sendiri. Sebab, bagaimana mengukur sebuah program Negara dari segi peluang korupsi sementara payung hukum teknis saja tidak ada. Praktik abuse of power sudah tak ada gunanya dimasa sekarang. Semua pihak harus taat pada aturan. Apalagi pemerintah pusat, wajib.
Menurut saya, peluncuran kartu yang digalangkan pemerintah saat ini lebih pada bagi-bagi uang sebelum uang itu diatur ketat oleh hukum. Dulu, Budiono diberi kewenangan besar oleh hukum mengeluarkan kebijakan atasnama gubernur BI. Baileout century berujung pada masalah. Yang ditangkap hanya mereka yang dituding memperkaya diri dari kebijakan itu, sementara pengambil kebijakan diatasnya belum terjerat.
Memang yang namanya kebijakan bukan pelanggaran pidana, tapi lebih pada administrasi semata. Tetapi, dampak dari kebijakan pejabat yang merugikan Negara, tentu melanggar konstitusi.
Untuk kartu sehat saja, anda bayangkan, UU BPJS belum ada petunjuk teknis pelaksanaanya berupa perpres, kepres atau inpres atau ampres dan seterusnya kebawah. Sementara kartu sehat yang diklaim sesuai dengan UU itu, sudah luncur. Ibarat seorang sopir yang mengendarai mobil milik sang bos besar tanpa punya SIM, ketika di cegat di jalan oleh polentas, sopir yang kena. Supaya lolos, mereka lalu sogok polantas dan aman-aman saja.
Ingin bangun rumah layak, anda jangan langsung mengandalkan fondasinya saja, tapi bagaimana mendirikan tiang-tiangnya, lalu atapnya supaya ketika hujan atau panas mahluk hidup didalamnya nyaman. Pintu masuk dan keluar, halaman rumah, dapur, ruang tidur ruang makan dan seterusnya. Itulah yang disebut aturan pelaksana sebuah kebijakan, dari dasar Negara hingga kebawahnya.
Indonesia belum keluar dari budaya mengabaikan prinsip hukum. Semaunya bikin apa saja, seolah-olah Negara milik nenek moyang segelintir mereka saja, lalu mengklaim bahwa itulah demi kepentingan rakyat dan konstitusi. Imperialisme Freeport baku selingkuh dengan antek neoliberal yang tumbuh subur di Indonesia, sama-sama bekerja untuk mengabaikan prinsip tata hukum Negara. Sebuah praktik yang kadaluarsa tapi dianggap mutakhir.
Sumber : http://ift.tt/1xi9plq
Sesuatu kebijakan yang tidak punya payung hukum (dari aturan utama-aturan teknis), ibarat sebuah gerbong kereta yang meluncur bukan pada rel (maen tabrak saja asal sampai). Belum dinikmati warga Negara, program kartu-kartu itu mendapat kritik pedas dari para pakar hukum.
Indonesia semestinya belajar dari pengalaman masuknya Freeport ke Indonesia Papua, dan kasus terbesar yang masih hangat alias century gate (skandal pembobolan) uang Negara. Kecelakaan hukum yang mengabaikan prinsip kedaulatan Negara tersebut, seharusnya, dimasa kini, hal sekecil apapun patut di ukur kadar hukumnya sudah lengkap atau tidak, biar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum.
Dulu LPS disebut bukan uang Negara, eh malah bermasalah. Sekarang, CSR dari BUMN untuk biaya kartu Sakti dibilang itu sumbangan dari para insane BUMN semata sehingga bukan uang Negara. Lama kelamaan, Amerika beli pulau Bali atau Raja Ampat tetapi diklaim itu bukan uang Negara.
Belum lama ini, kabinet Kerja via Puan mengatakan kebijakan KIP, KKS dan KIS itu akan dibuatkan payung hukumnya dalam bentuk Inpres dan Keppres yang akan diteken Presiden Joko Widodo. Pijakan anak Megawati itu dibantah. Kata Yusril, Puan harus tahu bahwa Inpres dan Keppres itu bukanlah instrumen hukum dalam hierarki peraturan perundang-undangan RI. Inpres dan Keppres pernah digunakan di zaman Soekarno dan Soekarno sebagai instrumen hukum. Namun lanjut Yusril kini setelah reformasi, tidak digunakan lagi. “Inpres hanyalah perintah biasa dari Presiden dan Keppres hanya untuk penetapan seperti mengangkat dan memberhentikan pejabat,” kata Yusril.
Mengenai sumber dana yang digunakan untuk membiayai kebijakan tiga kartu sakti tersebut, Mensesneg Pratikno, menyebut dana tiga kartu sakti berasal dari dana CSR BUMN. jadi bukan dana APBN sehingga tidak perlu dibahas dengan DPR. Pernyataan tersebut juga di kritik. Penyaluran dana melalui tiga kartu sakti tersebut, kata Yusril, bukanlah kegiatan BUMN dalam melaksanakan corporate social responsibility mereka. Kekayaan BUMN itu kekayaan yang sudah dipisahkan dari keuangan negara, namun tetap menjadi obyek pemeriksaan BPK dan BPKP. Karena itu jika negara ingin menggunakan dana CSR BUMN status dana tersebut haruslah jelas, dipinjam negara atau diambil oleh negara. Sebab dana yang disalurkan melalui tiga kartu sakti adalah kegiatan pemerintah sebagai ‘kompensasi’ kenaikan harga BBM yang akan dilakukan Pemerintah,” ujar Yusril.
“Ini bukan mengelola warung, kartu Jokowi harus jelas dasar hukumnya. Sampai siang ini belum jelas apa dasar hukum dikeluarkannya kebijakan tiga jenis kartu sakti KIS, KIP dan KKS oleh Presiden Jokowi,” kata Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra dalam pernyataannya kepada Tribunnews, Kamis (6/11/2014). “Kalau mengelola rumah tangga atau warung, apa yang terlintas dalam pikiran bisa langsung diwujudkan dalam tindakan. Negara tidak begitu. Suatu kebijakan harus ada landasan hukumnya,”ujar Yusril.
http://ift.tt/1tKLFaH
Kebijakan yang tidak sesuai prosedur, otomatis illegal alias tidak dibenarkan dalam Negara hukum itu sendiri. Sebab, bagaimana mengukur sebuah program Negara dari segi peluang korupsi sementara payung hukum teknis saja tidak ada. Praktik abuse of power sudah tak ada gunanya dimasa sekarang. Semua pihak harus taat pada aturan. Apalagi pemerintah pusat, wajib.
Menurut saya, peluncuran kartu yang digalangkan pemerintah saat ini lebih pada bagi-bagi uang sebelum uang itu diatur ketat oleh hukum. Dulu, Budiono diberi kewenangan besar oleh hukum mengeluarkan kebijakan atasnama gubernur BI. Baileout century berujung pada masalah. Yang ditangkap hanya mereka yang dituding memperkaya diri dari kebijakan itu, sementara pengambil kebijakan diatasnya belum terjerat.
Memang yang namanya kebijakan bukan pelanggaran pidana, tapi lebih pada administrasi semata. Tetapi, dampak dari kebijakan pejabat yang merugikan Negara, tentu melanggar konstitusi.
Untuk kartu sehat saja, anda bayangkan, UU BPJS belum ada petunjuk teknis pelaksanaanya berupa perpres, kepres atau inpres atau ampres dan seterusnya kebawah. Sementara kartu sehat yang diklaim sesuai dengan UU itu, sudah luncur. Ibarat seorang sopir yang mengendarai mobil milik sang bos besar tanpa punya SIM, ketika di cegat di jalan oleh polentas, sopir yang kena. Supaya lolos, mereka lalu sogok polantas dan aman-aman saja.
Ingin bangun rumah layak, anda jangan langsung mengandalkan fondasinya saja, tapi bagaimana mendirikan tiang-tiangnya, lalu atapnya supaya ketika hujan atau panas mahluk hidup didalamnya nyaman. Pintu masuk dan keluar, halaman rumah, dapur, ruang tidur ruang makan dan seterusnya. Itulah yang disebut aturan pelaksana sebuah kebijakan, dari dasar Negara hingga kebawahnya.
Indonesia belum keluar dari budaya mengabaikan prinsip hukum. Semaunya bikin apa saja, seolah-olah Negara milik nenek moyang segelintir mereka saja, lalu mengklaim bahwa itulah demi kepentingan rakyat dan konstitusi. Imperialisme Freeport baku selingkuh dengan antek neoliberal yang tumbuh subur di Indonesia, sama-sama bekerja untuk mengabaikan prinsip tata hukum Negara. Sebuah praktik yang kadaluarsa tapi dianggap mutakhir.
Sumber : http://ift.tt/1xi9plq