Suara Warga

Reformasi Birokrasi Bukan Melulu Gaji

Artikel terkait : Reformasi Birokrasi Bukan Melulu Gaji

Dalam perjalanan pulang dari Palembang, saya membaca Koran Sindo, “Gaji PNS Diusulkan Naik 100%”. Menteri Perikanan dan Kelautan Susi Pudjiastutilah yang mengusulkan kenaikan gaji PNS 100 persen tersebut. Alasannya, kenaikan gaji ini dimaksudkan mendongkrak kinerja birokrasi.

Usulan Susi ini ternyata tak mendapatkan dukungan dari Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Yuddy Chrisnandi. Yudi menilai kenaikan gaji sekarang momentumnya tidak tepat di tengah pemerintah melakukan penghematan anggaran.

Dua menteri Jokowi-JK ini mestinya berkoordinasi terlebih dahulu, agar publik tidak disuguhkan pernyataan yang bertolak belakang. Satu ingin menaikkan gaji, dan yang lain justru menolaknya. Jelas, dua pernyatan tersebut membingungkan dan bias. Pemerintah dinilai tak punya roadmap yang jelas dan pasti dalam melakukan reformasi birokrasi.

Yang harus diingat, reformasi birokrasi itu bukan melulu soal remunerasi, akan tetapi yang terpenting, soal mentalitas. Kenaikan gaji tak berbanding lurus dengan peningkatan kinerja. Faktanya, anggaran yang berbasis kinerja, dan peningkatan belanja pegawai, tak mampu mendongkrak kinerja birokrasi. Potret birokrasi tetap high cost and low product.

Mentalitas birokrasi tetap merupakan DIM (daftar isian masalah) yang pertama dan utama dari reformasi birokrasi. Untuk membenahi ini harus melalui “revolusi mental”. Akarnya, ketauladan pemimpin, sistem dan budaya birokrasi, serta pendidikan yang baik.

Pertama, Jokowi-JK bisa dijadikan tauladan pemimpin yang sederhana. Tauladan ini harus dicontoh oleh para menteri, pejabat di kementerian, gubernur dan wakil gubernur, para kepala SKPD di lingkungan pemerintahan propinsi, bupati dan wakil bupati, para kepala SKPD di lingkungan pemerintahan kabupaten, walikota dan wakil walikota, para kepala SKPD di lingkungan pemerintahan kota, para camat, kepala desa/lurah, kapala dusun/lingkungan, RT/RW, serta masyarakat pada umumnya. Pola hidup sederhana itu dilandasi oleh filosofi hidup, “sederhana itu indah”.

Kedua, UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara akan mendorong sistem dan kultur birokrasi yang profesional, kompetitif dan efektif. Sistem penggajian yang mengarah pada single salery system menutup peluang manipulasi dan rekayasa anggaran untuk menambah kesejahteraan pegawai. UU ASN ini mengamanahkan sistem gaji tunggal yang terdiri dari gaji, tunjangan kinerja dan tunjangan kemahalan. Sudah tak ada alasan lagi, karena gaji kecil, gaji tak cukup memenuhi kebutuhan hidup, pegawai melakukan pungli, terima fee, dan menyelewengkan anggaran untuk memperkaya diri. Gaji yang diterima sudah lebih dari cukup untuk hidup layak sekaligus sejahtera.

Ketiga, jujur dan disiplin yang menjadi pangkal dari sistem dan kultur birokrasi yang bebas dari KKN, harus dibangun melalui pendidikan sejak dini. Melalui pendidikan akhlaq, karakter jujur dan disiplin terbentuk melalui proses sosialisasi, inkulturasi dan edukasi kepada setiap anak didik. Tiga pusat pendidikan, di sekolah, rumah dan masyarakat sangat menentukan pembentukan karakter tersebut. Guru, orang tua, dan para tokoh masyarakat, harus memberikan tauladan yang baik. Anak didik, selain mendapatkan doktrin, juga mendapat contoh yang baik dari orang-orang paling dekat sekaligus paling berpengaruh dalam hidupnya.

Jadi, reformasi birokrasi tanpa revolusi mental tak berarti apa-apa. Kecuali “pepesan kosong”. Sementara, publik sangat berharap pada peningkatan pelayanan publik dalam segala bidang, baik dalam urusan wajib maupun dalam urusan pilihan pemerintah. Harapan ini bersamaan dengan meningkatnya kesadaran rakyat dalam bernegara, serta berkembangnya partisipasi kritis rakyat dalam public policy.

Bukan zamannya lagi, pelayanan publik lambat dan lama. Semua harus tertuju pada pemenuhan kepuasan publik. Rakyatlah sekarang yang menjadi “raja” di republik ini. Aparat sipil negara hanya pelayan rakyat, yang keberlangsungan dan kelanjutan kariernya bergantung pada penilaian dari rakyat itu sendiri. Dalam jangka panjang, rakyatlah nanti yang benar-benar pemegang kedaulatan tertinggi di negeri ini. Jalan ini hanya tersedia di jalan demokrasi saja. Semoga!

*Moch Eksan, Ketua DPD Partai NasDem Jember, dan Anggota DPRD Propinsi Jawa Timur.




Sumber : http://ift.tt/1zBwp3r

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz