Manuver Koalisi Merah Putih Bikin Kubu Banteng Risau
setiap kekalahan dan kegagalan, tak perlu dirisaukan : ia bisa melahirkan siasat baru
Pasca kekalahan pilpres 9 Juli yang lalu, yang sudah dikukuhkan dengan hasil keputusan di MK, maka akhirnya Koalisi Merah Putih, sebagai barisan partai pendukung Prabowo-Hatta kemudian banting stir untuk bermanuver menghadapi realitas politik yang menempatkan mereka gagal menempatkan jagoannya sebagai presiden dan wakil presiden terpilih. Tak ingin berlama-lama dengan kesedihan, mereka kemudian merapatkan barisan untuk mempersiapkan diri sebagai kaum oposisi/penyeimbang bagi pemerintahan jokowi-jk.
Setelah sukses mengegolkan UU MD3, yang membuat pdip meradang karena posisi ketua DPR bakal lepas dari genggaman mereka. Kini langkah selanjutnya yang dilakukan oleh Koalisi Merah Putih adalah mencoba mengegolkan UU Pilkada dengan model pemilihan tidak langsung, merevisi model saat ini yang kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat.
Dengan melihat komposisi DPRD Propinsi di 33 propinsi yang ada, kekuatan Koalisi Merah Putih hanya kalah di beberapa propinsi saja, sehingga manuver Koalisi Merah Putih ini adalah cara untuk mengepung pemerintahan jokowi-jk dari pemerintahan daerah yang jika UU Pilkada akhirnya disahkan dengan model pemilihan oleh DPRD, maka mayoritas gubernur, dan bupati/walikota bakal dikuasai oleh parta-partai dari Koalisi Merah Putih.
Meski banyak pihak yang kontra dengan ide pemilihan tidak langsung yang digagas oleh Koalisi Merah Putih, namun sesungguhnya tak ada yang salah dari manuver tersebut, karena memang berdasar aturan di UUD 1945, khususnya pasal 18 ayat 4 hanya menggariskan bahwa “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis” tak ada sama sekali tertulis bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota dipilih secara langsung. Itulah mengapa Gubernur DIY yang berdasar UU Keistimewaan DIY dikukuhkan dengan sistem penetapan pun tidak menyalahi perundangan karena toh penetapan yang dilakukan juga dinilai demokratis, sehingga dengan begitu pemilihan oleh DPRD adalah juga demokratis.
Apalagi jika merunut data kepala daerah yang dipilih secara langsung sejak 2004 sampai 2014 ternyata begitu banyak kepala daerah yang tersangkut kasus hukum, terutama kasus korupsi. Hal ini lah yang menjadi salah satu argument yang dibangun untuk mengegolkan pemilihan kepala daerah melalui DPRD. belum lagi begitu banyak kasus kepala daerah yang pecah kongsi setelah terpilih sehingga menimbulkan ketegangan di lingkungan pemerintahan daerah, ada juga model penekanan kepada jajaran birokrat saat berlangsungnya pilkada untuk mendukung calon tertentu, dan tak kalah merisaukan adalah adanya model pengerahan massa yang berujung kerusuhan di beberapa daerah karena kalah dalam pilkada. hal – hal itulah yang menjadi alasan-alsan bagi tercetusnya untuk kembali ke pilkada oleh DPRD.
Bahwa kemudian banyak pihak yang kontra, itu wajar saja, namanya juga di alam demokrasi, sah sah saja mengemukakan pendapat, yang penting adalah bahwa kita tidak boleh memaksakan kehendak dan pendapat kita, saling menghormati dan menghargai pendapat pihak lain.
Dan, kita tunggu manuver lain oleh Koalisi Merah Putih selanjutnya, yang tentu tidak akan berhenti hanya dengan mengegolkan UU Pilkada. Yang penting adalah bahwa manuver yang ada masih dalam koridor yang sah sesuai peraturan perundangan, dan tidak dengan cara yang anarkhis. Dan bagi yang tidak sepakat dengan manuver dari barisan partai yang tergabung di KMP, sah-sah saja, tidak ada yang memaksa untuk semua sepakat dengan ide dan gagasan dari KMP.
sumber tulisan :
1. http://ift.tt/1lOLKIm
2. http://ift.tt/1pJINDX
3. http://ift.tt/1lOLKIo
Sumber : http://ift.tt/1pJIPvM
Pasca kekalahan pilpres 9 Juli yang lalu, yang sudah dikukuhkan dengan hasil keputusan di MK, maka akhirnya Koalisi Merah Putih, sebagai barisan partai pendukung Prabowo-Hatta kemudian banting stir untuk bermanuver menghadapi realitas politik yang menempatkan mereka gagal menempatkan jagoannya sebagai presiden dan wakil presiden terpilih. Tak ingin berlama-lama dengan kesedihan, mereka kemudian merapatkan barisan untuk mempersiapkan diri sebagai kaum oposisi/penyeimbang bagi pemerintahan jokowi-jk.
Setelah sukses mengegolkan UU MD3, yang membuat pdip meradang karena posisi ketua DPR bakal lepas dari genggaman mereka. Kini langkah selanjutnya yang dilakukan oleh Koalisi Merah Putih adalah mencoba mengegolkan UU Pilkada dengan model pemilihan tidak langsung, merevisi model saat ini yang kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat.
Dengan melihat komposisi DPRD Propinsi di 33 propinsi yang ada, kekuatan Koalisi Merah Putih hanya kalah di beberapa propinsi saja, sehingga manuver Koalisi Merah Putih ini adalah cara untuk mengepung pemerintahan jokowi-jk dari pemerintahan daerah yang jika UU Pilkada akhirnya disahkan dengan model pemilihan oleh DPRD, maka mayoritas gubernur, dan bupati/walikota bakal dikuasai oleh parta-partai dari Koalisi Merah Putih.
Meski banyak pihak yang kontra dengan ide pemilihan tidak langsung yang digagas oleh Koalisi Merah Putih, namun sesungguhnya tak ada yang salah dari manuver tersebut, karena memang berdasar aturan di UUD 1945, khususnya pasal 18 ayat 4 hanya menggariskan bahwa “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis” tak ada sama sekali tertulis bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota dipilih secara langsung. Itulah mengapa Gubernur DIY yang berdasar UU Keistimewaan DIY dikukuhkan dengan sistem penetapan pun tidak menyalahi perundangan karena toh penetapan yang dilakukan juga dinilai demokratis, sehingga dengan begitu pemilihan oleh DPRD adalah juga demokratis.
Apalagi jika merunut data kepala daerah yang dipilih secara langsung sejak 2004 sampai 2014 ternyata begitu banyak kepala daerah yang tersangkut kasus hukum, terutama kasus korupsi. Hal ini lah yang menjadi salah satu argument yang dibangun untuk mengegolkan pemilihan kepala daerah melalui DPRD. belum lagi begitu banyak kasus kepala daerah yang pecah kongsi setelah terpilih sehingga menimbulkan ketegangan di lingkungan pemerintahan daerah, ada juga model penekanan kepada jajaran birokrat saat berlangsungnya pilkada untuk mendukung calon tertentu, dan tak kalah merisaukan adalah adanya model pengerahan massa yang berujung kerusuhan di beberapa daerah karena kalah dalam pilkada. hal – hal itulah yang menjadi alasan-alsan bagi tercetusnya untuk kembali ke pilkada oleh DPRD.
Bahwa kemudian banyak pihak yang kontra, itu wajar saja, namanya juga di alam demokrasi, sah sah saja mengemukakan pendapat, yang penting adalah bahwa kita tidak boleh memaksakan kehendak dan pendapat kita, saling menghormati dan menghargai pendapat pihak lain.
Dan, kita tunggu manuver lain oleh Koalisi Merah Putih selanjutnya, yang tentu tidak akan berhenti hanya dengan mengegolkan UU Pilkada. Yang penting adalah bahwa manuver yang ada masih dalam koridor yang sah sesuai peraturan perundangan, dan tidak dengan cara yang anarkhis. Dan bagi yang tidak sepakat dengan manuver dari barisan partai yang tergabung di KMP, sah-sah saja, tidak ada yang memaksa untuk semua sepakat dengan ide dan gagasan dari KMP.
sumber tulisan :
1. http://ift.tt/1lOLKIm
2. http://ift.tt/1pJINDX
3. http://ift.tt/1lOLKIo
Sumber : http://ift.tt/1pJIPvM