DPR Bukan Tukang Stempel!
Kurang dari empat bulan jelang pergantian tahun, sepertinya sudah jadi membudaya di kalangan pemerintah untuk buang-buang anggaran dengan membuat berbagai program yang tidak jelas esensinya. Memang, dari tahun ke tahun, APBN tak pernah terserap 100%. Bahkan hingga bulan September tahun 2014, sebagaimana informasi dari Komisi V DPR RI, Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal yang digawangi oleh politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) baru hanya bisa menyerap 10,99 persen anggaran. Pada akhir tahun, sisa anggaran yang tak terserap tersebut harus dikembalikan ke kas Negara sebagaimana termaktub dalam aturan perbendaharaan negara.
Mengembalikan harta Negara yang tak terpakai ini, sepertinya sangat disayangkan. Ada pameo “uang sudah di tangan, sayang kalau dilepas”. Maka berbagai upaya menghabiskan anggaran tanpa goal yang kongkret, dilakukan. Kita bisa mengecek hotel-hotel, villa-vila dan berbagai penginapan di kawasan Puncak, Bogor-Cianjur, sudah dibooking untuk program-program akhir tahun. Demikian pula di tingkatan daerah, sama saja. Untuk memperbesar penyerapan, di waktu-waktu yang tersisa, program-program tidak jelas pun dilakukan.
Mayoritas program akhir tahun penghabis anggaran yang dibuat adalah pelatihan atau penataran. Intinya, anggaran yang ada, harus habis terpakai dan dibuktikan dengan dokumentasi laporan pertanggungjawaban. Saya kira ini hanya salah satu contoh nyata bagaimana pemerintah sebagai pengguna anggaran tidak bisa mempertanggungjawabkan secara esensial dana-dana Negara/uang rakyat yang mereka gunakan. Ada semacam rasa berkuasa penuh atas APBN yang telah disahkan untuk disalahgunakan seperti membuat pelatihan-pelatihan tidak penting dan tidak ada urusannya dengan kesejahteraan rakyat digelar di hotel-hotel.
Kasus di atas hanyalah salah satu fakta, betapa penggunaan APBN masih sangat serampangan dan salah sasaran. Implikasi dari tidak penuhnya kekuatan yang diberikan kepada DPR untuk menelisik setiap rupiah yang digunakan oleh pemerintah. Apalagi, MK telah membatalkan kewenangan DPR untuk membahas anggaran hingga di satuan tiga, yakni dokumen anggaran yang memuat deskripsi program dan rincian alokasi pagu anggaran per program. Kalau mayoritas di DPR dan pemerintah berbeda arah politik seperti kelak 2014-2019 terjadi, kiranya perlu kewenangan membahas hingga satuan tiga ini dikembalikan agar setiap usulan pemerintah betul-betul bisa diteliti oleh legislatif. Kewenangan hingga ke satuan tiga memang riskan menimbulkan kongkalikong jika DPR dan pemerintah berasal dari partai-partai yang sama. Tapi untuk lima tahun kedepan, mestinya tak ada masalah.
Pemerintah periode mendatang yang tak dominan di DPR, kita harapkan bisa berbeda dalam menggunakan anggaran. Agar uang rakyat yang dihimpun dari berbagai macam pajak dan sumber-sumber pendapatan Negara lainnya tersebut digunakan tepat sasaran. Keberadaan Koalisi Merah Putih di DPR versus Koalisi Jokowi-JK di pemerintahan nampaknya jadi etape menarik bagaimana kedua kutub politik akan sulit berkompromi dalam soal anggaran.
Secara langsung, terbentuknya dua kutub politik legislatif vs eksekutif adalah sangat bagus untuk menyehatkan demokrasi kita. DPR dengan sendirinya akan menguat berhadapan dengan pemerintah. Bukan penguatan karena sekadar jumlah yang dominan, namun karena secara prinsipil berseberangan dan berdiri di atas rivalits politik. Berbeda di era 2004-2014, ketika pemerintah mengakomodasi mayoritas parpol dengan memberi tempat pada mereka di kabinet, sehingga parlemen pun cenderung dikuasai dan kuantitas yang banyak di DPR tak berpangaruh karena sudah sehaluan politik. Akibat dari mayoritas parpol senada dengan pemerintah, maka secara defacto DPR jadi lemah. Ya, tak jauh beda dengan era Orde Baru. Makanya kita saksikan banyak menteri dan pejabat eksekutif serta yang terkait dengan pemerintah (politisi parpol pendukung pemerintah) berurusan dengan KPK. Ini fakta yang tak bia dibantah!
Penguatan fungsi DPR adalah salah satu misi reformasi yang kita dorong 16 tahun silam. Trauma konstitusional yang menempatkan DPR di bawah ketiak rezim Orde Baru sebagai tukang stempel pemerintah, menjadi inspirasi untuk menguatkan lembaga legislatif ini agar tiga fungsi yang melekat : yaitu fungsi legislasi (membuat undang-undang), fungsi budgeting (anggaran) dan fungsi control terhadap pemerintah, kembali ke track yang semestinya. Berbagai upaya dilakukan agar pranat-pranata demokrasi bekerja secara mekanis, sehat serta tidak set back ke masa Orde Baru.
UU No. 27/2009 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau kemudian kita kenal dengan sebutan UU MD3 dan kini telah direvisi, merupakan salah satu produk reformasi untuk penguatan DPR sebagai saluran demokrasi pembawa aspirasi rakyat. UU MD3 menjadi jawaban atas pengalaman kelam tentang kekuasaan eksekutif yang berlebihan dan mandulnya mekanisme check and balances yang kemudian melahirkan pemerintahan korup. Lima tahun kedepan, DPR periode 2014-2019 bukan lagi tukang stempel pemerintah!
Sumber : http://ift.tt/1toLXAU