Suara Warga

TV dan Telenovela Novela

Artikel terkait : TV dan Telenovela Novela

NOVELA Nawipa mendadak melesat menjadi bintang. Bintang? Ya, itu jika Anda memirsa TV One. Perempuan Papua yang bersaksi di Mahkamah Konstitusi pada sidang sengketa Pilpres, 13 Agustus lalu ini, menjadi bintang yang sedang bersinar. Paling tidak, jika mendengar komentar pembaca berita di TV One, atau membaca pujian Prabowo di akun twitternya.

Bagi pendukung pasangan calon presiden nomor urut 1, kesaksian Novela mungkin memang seperti menemukan bongkahan permata. “Kami ini di gunung. Tidak ada sosialisasi KPU propinsi Papua. Jangan bodoh-bodohi kami,” itu antara lain pernyataan Novela. Pernyataan lainnya yang tak kalah penting: ia mengakui tidak ada pemungutan suara di kampungnya, Awabutu. Sontak, TV One – media yang sejak awal memang mendukung Prabowo-Hatta, sigap menggosok ‘permata’ itu, menayangkannya berulang-ulang. Pengakuan itu tentu diharapkan memperkuat tuduhan jika pilpres kali ini memang berlangsung curang secara terstruktur, sistematis, dan masif.

Tapi, tunggu dulu. Pindahkan channel Anda ke Metro TV. Ada wajah khas timur yang juga sedang bersinar di situ. Beatrix Wanane, namanya. Perempuan dengan mata yang menyorot cerdas itu seorang Anggota KPU Propinsi Papua. Dengan gestur yang tak kalah meyakinkan dibanding Novela, ia membantah semua tudingan perempuan sepulaunya itu. “Kenapa Novela tak mengenali orang-orang yang ada di kampung itu? Dia hanya akting dengan penuh emosional,” suaranya menyimpan gusar, lurus tanpa tedeng aling-aling. Ia menyebut Novela seperti sedang melawak, dan mengecam keras dengan menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi bukan untuk dipermainkan.

Sebagai penonton, menurut Anda, siapa bintang sesungguhnya?

***

Saya tak hendak mendebat. Cuma mau bilang, kalau saja TV bukan benda mati, dia pasti sudah menertawakan pemirsanya, menertawakan kita. Betapa TV sukses mengombang-ambingkan persepsi dan ilusi kita.

Bodohnya, banyak yang percaya bahwa apa yang disajikan TV, itulah realitas yang sesungguhnya. Dia lupa bahwa sajian TV merupakan buah karya dari sejumlah ‘tangan-tangan jahil’ - kita menyebutnya pekerja kreatif. Saking kreatifnya, awak TV bukan lagi sekadar menyajikan realitas tangan kedua dari peristiwa sesungguhnya. Tapi sekaligus membolak-balikkan realitas. Yang putih jadi hitam, yang hitam jadi putih. Sesuatu, yang sesungguhnya dilarang dalam dunia jurnalistik.

Apa yang disajikan TV sesungguhnya adalah ‘peristiwa’ yang sudah diolah. Ia bukan lagi gambaran peristiwa apa adanya. Ideologi media yang tercermin dalam kebijakan redaksional, kemampuan awak media dalam memanfaatkan peralatan teknis - termasuk proses editing, kompetensi reporter/penyiar, adalah hal-hal yang mempengaruhi dan mendistorsi peristiwa yang sesungguhnya.

Bahwa TV One memihak ke capres nomor 1 dan Metro TV ke nomor 2, itu tidak perlu kita perdebatkan. Itu adalah kebijakan redaksional mereka. TV, dalam sejarahnya, sudah lama menjadi instrumen politik, alat agitasi. Tapi bagaimana TV bekerja untuk mendistorsi peristiwa, dan menyajikan “realitas kedua” di persepsi kita, itu yang menarik.

Dalam kasus sidang sengketa pilpres di MK misalnya, jangan pernah berharap TV One menyajikan kesaksian yang mementahkan tuntutan Prabowo-Hatta. Tangan ‘kreatif’ sudah bekerja di sana. Menyembunyikan fakta dengan tidak atau sesedikit mungkin menayangkan kesaksian yang justru membuat posisi KPU menguat. Dalam konteks Novela vs Beatrix, TV One pasti akan memberikan porsi yang jauh lebih besar ke Novela, dengan frekuensi yang sangat tinggi. Tapi tidak untuk Beatrix.

Sebelum itu, tangan ‘kreatif’ sudah bekerja sejak peristiwa terekam dalam kamera. Shots, camera motions, angles, special effect, akan sangat menentukan bagaimana kesan yang ingin dibentuk. Close-up dapat melibatkan emosional pemirsa, misalnya. Medium close-up berkesan netral, objektif. Sementara long shots bisa mendepersonalisasi bahkan menghilangkan momen atau detail penting. Semua dilakukan dengan kesadaran penuh dan pemahaman yang mendalam tentang psikologi pesan.

Tangan ‘kreatif’ yang tak kalah penting adalah tangan-tangan dibalik penyuntingan dan tangan-tangan para reporter/penyiar. Jika di film kita berharap tangan editor bekerja untuk menghasilkan gambar yang filmis, yang indah; maka di TV dalam konteks pilpres ini, kita akan menemukan tangan-tangan yang sudah terkontaminasi nafsu kekuasaan. Dan untuk kepentingan itu, para editor tidak segan mencampakkan gambar yang tidak sesuai dengan tujuan mereka, dan mengulang-ngulang penayangan gambar tertentu. Para penyiar tidak risih memotong penjelasan narasumbenya, menggarisbawahi penjelasan yang dianggap menguntungkan, atau justru meremehkan pendapat yang mungkin justru mengandung kebenaran. Semua untuk mendukung ambisi-ambisi elite politik di mana mereka berafiliasi.

Dengan sifatnya yang audio-visual, TV memang pernah dipercaya memiliki kemampuan yang luar biasa untuk mendefinisikan sesuatu, menggiring orientasi, lalu membuat pemirsa mempercayai bahkan meyakininya. Konon, kejahatan bisa bermakna sebaliknya, jika TV menyajikan kejahatan itu bukan sebagai kejahatan.

***

Kembali ke Novela. TV One hingga saat ini mungkin masih sangat meyakini bahwa pemirsa percaya dengan kesaksian Novela. Mereka lupa, dengan kemajuan teknologi informasi, pemirsa kini dengan mudah membedakan mana realitas yang sesungguhnya, dan mana realitas buatan. Dulu, musuh pengelola TV adalah remote control. Pemirsa bisa sangat ‘jahat’ memindahkan channel tanpa pertimbangan berarti.

Tapi kini berbeda. Tidak sampai 24 jam, akting Novela terkuak. TV One bisa saja menolak mewawancarai Beatrix, melakukan cover both side. Tapi ia tidak bisa menahan orang lain untuk menelusuri jatidiri Novela.

Sebagai pemirsa, segalanya kini kembali ke Anda. Yang ingin saya katakan adalah, TV sekali lagi, hanya benda mati. Tangan-tangan ‘kreatif’-lah di belakangnya yang menciptakan ilusi Anda. Tangan-tangan itu bisa sangat cerdas, tapi bisa juga sebaliknya.

Karena itu Anda tidak perlu menghabiskan energi untuk saling mencaci-maki demi sebuah keyakinan yang Anda peroleh semata dari tayangan TV. Karena kini, politik pun – sebagaimana yang kita saksikan sepanjang pilpres, di layar TV bisa jadi tak lebih dari sebuah telenovela.

Jangan sampai TV balik menonton dan menertawakan kebodohan Anda. ***




Sumber : http://ift.tt/1lXgdPp

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz