Suara Warga

Pejabat Maling Teriak Maling dan Mencari Kambing Hitam

Artikel terkait : Pejabat Maling Teriak Maling dan Mencari Kambing Hitam

Sebelum saya membeberkan ini ke Media,sebagai pendamping suami saya akan menulis sedikit bagaimana pekerjaan suami di Kantor BPN(Badan Pertanahan Nasional).Suami bekerja sebagai pegawai honor sejak thn 1981 dan diangkat menjadi PNS sejak thn 1983 hingga sekarang.Bekerja hanya dengan ijazah SMU.Gaji suami saat itu hanya cukup untuk beli susu anak saya sehingga sejak menikah membuat saya harus ikut banting tulang untuk keluarga.Apapun saya lakukan yang penting bisa membantu ekonomi keluarga tanpa harus meninggalkan anak.

Sudah 10 thn bekerja tanpa ada perbaikan ekonomi,tapi kami tetap sabar dan saya semakin giat bekerja membantu suami hingga kadang roda perekonomian dalam keluarga andil saya lebih besar dibanding suami yang PNS.Yaah..mau bagaimana lagi?suami juga bukan sarjana jadi berapapun hasilnya memang sudah segitu pendapatannya.Gaji seorang PNS Gol ll C saat itu dan naik pangkat setiap 4thn sekali.

Melihat bagaimana pekerjaan suami saat itu terbersit dalam hati saya untuk tidak ingin anak2 saya nanti bekerja seperti ayahnya.Setiap hari kuping kami sakit dengar bunyi mesin ketiknya.Besoknya jika pekerjaan itu selesai dan dia dibayar hanya 1/1000 dari dana yang didapat.Memang begitulah nasib pegawai kecil seperti suami saya.Pekerjaan yang dilakukan tidak seimbang dengan bayarannya.Mau bilang apa?mau protes pada siapa?syukur2 masih terima uang sampingan,walaupun kadang harus tertidur di kursi.

Pada thn 1996,keadaan mulai berubah.Suami akhirnya mendapat jabatan sebagai Kasubsi dan 2 thn kemudian dipromosikan sebagai Kepala Perwakilan di Kecamatan.Kita dipisahkan demi masa depan yang lebih baik dan saya juga tidak langsung berleha2 tapi masih membantunya mencari nafkah.

Saat itu saya sangat menaruh harapan dengan jabatannya semoga nasib kita bisa berubah,ternyata masyarakat disana sudah hilang kepercayaan dengan kantornya.Tidak ada yang mau berurusan dengan kantor Pertanahan karena menurut laporan bahwa uang mereka diambil dan sertifikat tanah yang diurus tidak kunjung selesai.Selama 1 thn suami disana tidak ada perubahan yang berarti.Hingga akhirnya untuk menghemat pengeluaran kita kumpul semua ikut suami.Penderitaan demi penderitaan kami lalui,sebagai Kepala kantor kadang kami makan 1x sehari.Keadaan ini akhirnya membuat saya harus mencari kerja sampingan di daerah baru..Jualan roti yang saya titip di warung2.Peduli apa kata orang,yang penting kami harus makan,anak2 ke sekolah tidak jalan kaki yang jaraknya 2 km.

Alhamdulillah,usaha saya membuahkan hasil.Kami bisa bertahan hidup dari hasil jualan roti,lalu bagaimana nasib pekerjaan suami??Suami menyarankan kita kredit bank dengan jaminan rumah kami dan uangnya dipake untuk buat sertifikat masyarakat yang berurusan dikantor.Loh kok gitu??Iyaaa..karena masyarakat sudah hilang kepercayaannya dan mereka hanya mau bayar jika sertifikat sudah ada ditangan mereka.Mana ada kerja model begitu?tapi itulah yang dilakukan suami membayar dimuka untuk semua pengurusan dan jika sudah kelar mereka akan bayar berikut upahnya.

Usaha suami membuahkan hasil,setiap ada yang mau buat sertifikat tanah kita yang bayarin dulu dan lama kelamaan rasa kepercayaan masyarakat akhirnya kembali lagi,walaupun untuk itu butuh pengorbanan bukan saja materi tapi kadang waktu istirahatnya dipake untuk bersosialisasi dengan masyarakat karena Desa berbeda dengan kota,mereka sungkan masuk kantor bahkan ada perasaan takut,jadi harus didekati dari hati ke hati diluar lingkungan kantor.

Sejak mendapat kepercayaan masyarakat,suami mulai dengan proyek2 yang diprakasai sendiri,selain membantu masyarakat juga membantu income kami.Apapun yang dia lakukan selalu melalui musyawarah dengan kepala desa setempat dan stafnya.Kesewenang2an yang pernah dia terima dari atasannya dulu tidak dia terapkan dibawahannya.Dia juga merangkak dari bawah dan tidak ingin semena2 kepada bawahan.

Kehidupan kami mulai membaik,dia juga sering dikasih Proyek oleh pusat,dan masih tetap dipertahankan hingga desanya berubah jadi Kabupaten.

Terjadilah peristiwa itu PRONA di thn 2008.Saat itu suami sudah melakukan penyuluhan di desa seberang untuk PRONA,tapi hingga waktu yang ditentukan anggaran tidak kunjung turun sementara masyarakat mendesak terus.Akhirnya suami bersama kepala desa minta dana partisipasi dari masyarakat demi kelancaran proyek,untuk transportasi petugas via motor laut dan makan/rokok selama mengerjakan proyek.Semua berjalan lancar dan sukses.

Hingga sertifikat diterbitakan barulah anggaran untuk Prona turun,dan itu dikembalikan ke negara.Tiba2 ada penyelidikan Jaksa yang katanya laporan dari atasan suami atas penyelewengan dana proyek dari pusat.Loh?jika uang itu diserahakan ke suami harusnya kan ada bukti kwitansi?mana bukti2 kwitansi tanda tangan suami yang menerima uang 100jt lebih?jika tidak ada tanda terima lalu kemana uang itu?Lalu mengapa harus lapor jaksa jika tidak ada kesalahan dalam proyek suami?

Kasus ini akhirnya harus disidang berkali2 tanpa ada bukti apa2,kasus tidak lagi kemasalah uang proyek yang raib entah kemana karena sama sekali tidak ada bukti,tapi beralih ke uang partisipasi dari masyarakat dengan tuduhan pungli..Loh..loh..loh,apa maksud semua ini?Mengapa yang lain anggarannya turun tapi masih pungli tidak ada sangsi apa2..?Apakah proyek ini bisa jalan tanpa dana ?memangnya petugasnya bisa sampe dilapangan dengan berenang..?Lagian ini sudah bukan Prona tapi swadaya masyarakat..Bersambung.




Sumber : http://ift.tt/1tY35yO

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz