Islam : Punyakah Konsep Kenegaraan?
Akhir-akhir ini cukup banyak ormas ataupun aliran Islam yang mengusung penegakan Khilafah atau hanya sekedar menuntut pemberlakuan UU Syari’ah di Indonesia. Masyarakat Indonesia, khusunya muslim, menjadi terbelah dalam menyikapi pemikiran tersebut. sebagian mendukung, tapi juga tidak sedikit yang lebih dulu mencoba memperhitungkan lebih matang. Beberapa tahun yang lalu, masalah ini sudah pernah ditulis oleh Abdurrahman Wahid dalam sebuah artikel pendek dengan judul sama seperti yang saya tuliskan. Sebagian besar tulisan saya pun hanya ‘copas’ dari artikel tersebut dengan ‘bumbu’ seperlunya.
Ali Abdel Raziq dari Mesir pernah menulis sebuah buku berjudul Al-Islam wa Qawa’id as-Sulthon (Islam dan Sendi-sendi Kekuasaan) di tahun 1940-an. Dalam buku ini, Abdul Raziq menyangkal adanya kerangka kenegaraan dalam Islam. Al-Qur’an tidak pernah menyebut-nyebut negara Islam (Daulah Islamiyah), tapi hanya menyebut ‘negara yang baik dan penuh ampunan (Baldatun Thoyyibatun wa Rabbun Ghafur). Tulisan Raziq tersebut langsung mendapat reaksi keras dari Ulama Al-Azhar dan mengakibatnya dirinya ‘diasingkan’ di Akademi Bahasa Arab.
Sebenarnya, tulisan Raziq mengadung argumentasi yang cukup kuat. Pertama, katanya di al-Qur’an tidak pernah disebut negara Islam. Kedua, perilaku Nabi Muhammad sendiri tidak memperlihatkan watak politis, tapi moralitas. Ketiga, Nabi Muhammad tidak pernah merumuskan penggantian pejabat beliau. Ketiga alasan tersebut menjadi dasar argumentasi dalam bukunya.
Kalau memang Nabi Muhammad meghendaki berdirinya sebuah negara Islam, tentunya pergantia kepemimpinan akan dirumuskan secara formal. Nabi Cuma memerintahkan ‘bermusyawarahlah kalian dalam persoalan’. Perintah semacam ini agaknya cukup lemah untuk dijadikan sebuah dasar berdiriya sebuah negara Islam (demokratis).
Negara kita yang memiliki pemeluk Islam terbesar di dunia menggunakan asas Pancasila. Di Iran, secara definitif didirikan Republik Islam dengan penyelenggaraan negara yang mirip demokrasi sekular. Di Aljazair, terdapat negara Arab Sosialis. Lain juga di Arab Saudi yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah konstitusinya walaupun bentuk pemerintahannya adalah monarki absolut dan bukan Daulah Islam (lucunya lagi, di Saudi prinsip paling dasar tentang musyawarah yang disabdakan Nabi kurang diterapkan). Cukup beragam usaha umat Islam dalam mendirikan negara yang paling ideal dan mendekati Baldatun Thoyyibatun wa Rabbun Ghafur (bukannya Daulah Islam).
Ada yang berpendapat bahwa sebuah negara telah memiliki ’watak Islam’ kalau inti ajaran Islam telah diakui, seperti ajaran Keesaan Tuhan. Islam berfungsi inspirasionalis, mendorong munculnya legislasi dan pengaturan negara yang manusiawi namun tidak menentang ajaran Islam. Tabi lebih banyak yang berpendapat bahwa penerapan Islam dalam negara haruslah sepenuhnya, tidak setengah-setengah.
Perdebatan mengenai hal ini bahkan masih belum mampu menjawab secara tuntas hal yang paling mendasar, konsep. Konsep yang digunakan dalam hal ini apakah sama dengan istilah konsep yang digunakan untuk membuat suatu definisi, ataukah konsep yang dipakai sebagai kerangka penyusun sebuah ‘bangunan’ utama? Jika konsep yang dimaksud adalah ide yang hanya berkutat dalam pikiran manusia, maka perdebatan akan berlangsung seputar ‘pandangan Islam tentang negara’. Jika pun konsep dipahami sebagai sebuah kerangka, maka perdebatan akan berlangsung seputar ‘bentuk’ negara Islam beserta lembaga-lembagannya itu sendiri.
Sumber : http://ift.tt/1sCYYWZ
Ali Abdel Raziq dari Mesir pernah menulis sebuah buku berjudul Al-Islam wa Qawa’id as-Sulthon (Islam dan Sendi-sendi Kekuasaan) di tahun 1940-an. Dalam buku ini, Abdul Raziq menyangkal adanya kerangka kenegaraan dalam Islam. Al-Qur’an tidak pernah menyebut-nyebut negara Islam (Daulah Islamiyah), tapi hanya menyebut ‘negara yang baik dan penuh ampunan (Baldatun Thoyyibatun wa Rabbun Ghafur). Tulisan Raziq tersebut langsung mendapat reaksi keras dari Ulama Al-Azhar dan mengakibatnya dirinya ‘diasingkan’ di Akademi Bahasa Arab.
Sebenarnya, tulisan Raziq mengadung argumentasi yang cukup kuat. Pertama, katanya di al-Qur’an tidak pernah disebut negara Islam. Kedua, perilaku Nabi Muhammad sendiri tidak memperlihatkan watak politis, tapi moralitas. Ketiga, Nabi Muhammad tidak pernah merumuskan penggantian pejabat beliau. Ketiga alasan tersebut menjadi dasar argumentasi dalam bukunya.
Kalau memang Nabi Muhammad meghendaki berdirinya sebuah negara Islam, tentunya pergantia kepemimpinan akan dirumuskan secara formal. Nabi Cuma memerintahkan ‘bermusyawarahlah kalian dalam persoalan’. Perintah semacam ini agaknya cukup lemah untuk dijadikan sebuah dasar berdiriya sebuah negara Islam (demokratis).
Negara kita yang memiliki pemeluk Islam terbesar di dunia menggunakan asas Pancasila. Di Iran, secara definitif didirikan Republik Islam dengan penyelenggaraan negara yang mirip demokrasi sekular. Di Aljazair, terdapat negara Arab Sosialis. Lain juga di Arab Saudi yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah konstitusinya walaupun bentuk pemerintahannya adalah monarki absolut dan bukan Daulah Islam (lucunya lagi, di Saudi prinsip paling dasar tentang musyawarah yang disabdakan Nabi kurang diterapkan). Cukup beragam usaha umat Islam dalam mendirikan negara yang paling ideal dan mendekati Baldatun Thoyyibatun wa Rabbun Ghafur (bukannya Daulah Islam).
Ada yang berpendapat bahwa sebuah negara telah memiliki ’watak Islam’ kalau inti ajaran Islam telah diakui, seperti ajaran Keesaan Tuhan. Islam berfungsi inspirasionalis, mendorong munculnya legislasi dan pengaturan negara yang manusiawi namun tidak menentang ajaran Islam. Tabi lebih banyak yang berpendapat bahwa penerapan Islam dalam negara haruslah sepenuhnya, tidak setengah-setengah.
Perdebatan mengenai hal ini bahkan masih belum mampu menjawab secara tuntas hal yang paling mendasar, konsep. Konsep yang digunakan dalam hal ini apakah sama dengan istilah konsep yang digunakan untuk membuat suatu definisi, ataukah konsep yang dipakai sebagai kerangka penyusun sebuah ‘bangunan’ utama? Jika konsep yang dimaksud adalah ide yang hanya berkutat dalam pikiran manusia, maka perdebatan akan berlangsung seputar ‘pandangan Islam tentang negara’. Jika pun konsep dipahami sebagai sebuah kerangka, maka perdebatan akan berlangsung seputar ‘bentuk’ negara Islam beserta lembaga-lembagannya itu sendiri.
Sumber : http://ift.tt/1sCYYWZ