Hati-Hati terhadap Jargon Iklan Capres
Seperti biasanya, beberapa bulan sebelum pilpres dilaksanakan, layar kaca TV kita dipeuhi dengan penayangan iklan-iklan politik atau iklan seputar pasangan capres. Dan jika kita simak, semua iklan politik pasangan capres dan cawapres pada Pilpres 2014 kemarin pada dasarnya menggunakan bahasa simbol dalam penyampaian pesan-pesan politik mereka. Simbolisasi-simbolisasi tadi umumnya menggunakan berbagai metafora dan diartikulasikan melalui berbagai tanda di dalam iklan politik mereka.
Tidak ada iklan politik yang secara vulgar langsung meminta agar audiens memilih mereka dalam pemilu nanti. Kesemuanya menggunakan strategi persuasif dan bermain-main dengan pemaknaan yang sifatnya konotatif. Artinya, mereka tidak secara sengaja meminta agar komunikan tunduk terhadap pesan-pesan yang mereka tembakkan melalui bahasa iklan tadi.
Para pasangan capres dan cawapres umumnya memakai simbolisasi guna membentuk pencitraan bahwa mereka adalah pasangan yang paling pantas memimpin negeri ini oleh karenanya layak dipilih dalam pemilu kelak. Tanda-tanda (signs) ini dapat berbentuk jargon-jargon dalam iklan, figurisasi, tag-line, atau sampai penggunaan jingle-jingle tertentu guna memudahkan penyematan pesan ke dalam benak komunikannya.
Sebagai contoh, mari kita melakukan flash back sebentar untuk melihat tayangan iklan Soesilo Bambang Yudhoyono di Pilpres 2009 lalu. Pada tagline tentang “SBY Presidenku”, tidak ada ajakan secara langsung untuk meminta gara konstituen memilih capres SBY dalam pemilu 2009 lalu. SBY Presidenku bermain dalam tataran simbolik guna menanamkan pemaknaan bahwa SBY adalah presiden (milik) saya—guna menciptakan sense of belonging—dan dihubungkan dengan simbol lainnya bahwa SBY saat ini memang Presiden Republik Indonesia.
Dalam istilah Umberto Eco, sebuah tanda (sign) dimaknai sebagai sesuatu yang merujuk kepada hal yang lain. Artinya sebuah tanda asap membumbung di langit tidak berupaya memaknai dirinya sebagai asap itu sendiri melainkan merujuk kepada sesuatu yang lain, yakni adanya api atau kebakaran. Jadi, setiap tanda tidak bercerita tentang dirinya sendiri tetapi memiliki maksud yang lainnya. Dan hal ini juga berlaku dalam tanda-tanda yang dikonstruksikan melalui semua iklan pasangan capres dan cawapres.
Dengan demikian, jika ada capres dan cawapres yang menampilkan dirinya sebagai wong cilik, maka bukan berarti mereka wong cilik sesungguhnya. Makna yang tersembunyi adalah kepura-puraan dekat dengan wong cilik. Mustahil orang yang sudah kaya mau ke tempat sampah jika tidak ada niatan menggapai ”makna di balik makna”. Mereka itu sekadar bersimulasi menuju citra kerakyatan! Mereka memakai topeng kerakyatan.
Pemakaian simbol dan tagline juga sering kita temui pada tayangan-tayangan iklan capres dalam Pilpres 2014 kemarin. Di kubu pasangan Prabowo-Hatta, tagline “Kalau Bukan Sekarang, Kapan Lagi; Kalau Bukan Kita, Siapa Lagi?” atau “Garuda di Dadaku, Prabowo Presidenku” menggema di seluruh pelosok negeri. Sementara di kubu Jokowi-JK, tagline “Jokowi adalah Kita” atau “Indonesia Hebat” berseliweran di dalam bentuk iklan di berbagai stasiun TV.
Tapi ketika semua iklan sibuk bermain-main dengan simbolisasi demi pencitraan, sayangnya iklan tersebut justru semakin menjauhkan diri dari substansinya. Maka muncul berbagai kritikan yang menyebutkan bahwa iklan politik capres dan cawapres tersebut kehilangan isinya dan cenderung tidak berbobot.
Padahal, dana yang telah digelontorkan untuk membiayai iklan mereka tergolong fantastis. Menurut data hasil riset yang dilakukan oleh perusahaan konsultan Sigi Kaca Pariwara, terungkap bahwa total belanja iklan televisi untuk kampanye pilpres 2014 tercatat mencapai Rp 186,63 miliar. Masing-masing capres mengeluaran dana yang hampir berimbang untuk keperluan tersebut.
Jumlah biaya iklan tentang pasangan nomor urut 1 (Prabowo-Hatta Rajasa) mencapai Rp 93,72 miliar. Adapun belanja iklan televisi yang dikeluarkan kubu Jokowi-JK sebesar Rp 92,9 miliar.
Sumber foto: http://ift.tt/1qxqSoR

Sumber : http://ift.tt/1qxqRS2
Tidak ada iklan politik yang secara vulgar langsung meminta agar audiens memilih mereka dalam pemilu nanti. Kesemuanya menggunakan strategi persuasif dan bermain-main dengan pemaknaan yang sifatnya konotatif. Artinya, mereka tidak secara sengaja meminta agar komunikan tunduk terhadap pesan-pesan yang mereka tembakkan melalui bahasa iklan tadi.
Para pasangan capres dan cawapres umumnya memakai simbolisasi guna membentuk pencitraan bahwa mereka adalah pasangan yang paling pantas memimpin negeri ini oleh karenanya layak dipilih dalam pemilu kelak. Tanda-tanda (signs) ini dapat berbentuk jargon-jargon dalam iklan, figurisasi, tag-line, atau sampai penggunaan jingle-jingle tertentu guna memudahkan penyematan pesan ke dalam benak komunikannya.
Sebagai contoh, mari kita melakukan flash back sebentar untuk melihat tayangan iklan Soesilo Bambang Yudhoyono di Pilpres 2009 lalu. Pada tagline tentang “SBY Presidenku”, tidak ada ajakan secara langsung untuk meminta gara konstituen memilih capres SBY dalam pemilu 2009 lalu. SBY Presidenku bermain dalam tataran simbolik guna menanamkan pemaknaan bahwa SBY adalah presiden (milik) saya—guna menciptakan sense of belonging—dan dihubungkan dengan simbol lainnya bahwa SBY saat ini memang Presiden Republik Indonesia.
Dalam istilah Umberto Eco, sebuah tanda (sign) dimaknai sebagai sesuatu yang merujuk kepada hal yang lain. Artinya sebuah tanda asap membumbung di langit tidak berupaya memaknai dirinya sebagai asap itu sendiri melainkan merujuk kepada sesuatu yang lain, yakni adanya api atau kebakaran. Jadi, setiap tanda tidak bercerita tentang dirinya sendiri tetapi memiliki maksud yang lainnya. Dan hal ini juga berlaku dalam tanda-tanda yang dikonstruksikan melalui semua iklan pasangan capres dan cawapres.
Dengan demikian, jika ada capres dan cawapres yang menampilkan dirinya sebagai wong cilik, maka bukan berarti mereka wong cilik sesungguhnya. Makna yang tersembunyi adalah kepura-puraan dekat dengan wong cilik. Mustahil orang yang sudah kaya mau ke tempat sampah jika tidak ada niatan menggapai ”makna di balik makna”. Mereka itu sekadar bersimulasi menuju citra kerakyatan! Mereka memakai topeng kerakyatan.
Pemakaian simbol dan tagline juga sering kita temui pada tayangan-tayangan iklan capres dalam Pilpres 2014 kemarin. Di kubu pasangan Prabowo-Hatta, tagline “Kalau Bukan Sekarang, Kapan Lagi; Kalau Bukan Kita, Siapa Lagi?” atau “Garuda di Dadaku, Prabowo Presidenku” menggema di seluruh pelosok negeri. Sementara di kubu Jokowi-JK, tagline “Jokowi adalah Kita” atau “Indonesia Hebat” berseliweran di dalam bentuk iklan di berbagai stasiun TV.
Tapi ketika semua iklan sibuk bermain-main dengan simbolisasi demi pencitraan, sayangnya iklan tersebut justru semakin menjauhkan diri dari substansinya. Maka muncul berbagai kritikan yang menyebutkan bahwa iklan politik capres dan cawapres tersebut kehilangan isinya dan cenderung tidak berbobot.
Padahal, dana yang telah digelontorkan untuk membiayai iklan mereka tergolong fantastis. Menurut data hasil riset yang dilakukan oleh perusahaan konsultan Sigi Kaca Pariwara, terungkap bahwa total belanja iklan televisi untuk kampanye pilpres 2014 tercatat mencapai Rp 186,63 miliar. Masing-masing capres mengeluaran dana yang hampir berimbang untuk keperluan tersebut.
Jumlah biaya iklan tentang pasangan nomor urut 1 (Prabowo-Hatta Rajasa) mencapai Rp 93,72 miliar. Adapun belanja iklan televisi yang dikeluarkan kubu Jokowi-JK sebesar Rp 92,9 miliar.
Sumber foto: http://ift.tt/1qxqSoR
Sumber : http://ift.tt/1qxqRS2