Suara Warga

Apa Masuk Akal Jokowi-JK Melakukan Kecurangan TSM Dalam Pilpres?

Artikel terkait : Apa Masuk Akal Jokowi-JK Melakukan Kecurangan TSM Dalam Pilpres?

Saya sangat heran dan tidak habis pikir membaca berita di berbagai media online pernyataan Tim Pembela Merah Putih (kuasa hukum Prabowo Subianto-Hatta Rajasa) yang mengatakan bahwa telah terjadi dugaan kecurangan dan pelanggaran Pilpres 2014 di 33 provinsi Indonesia. Dugaan pelanggaran itu telah diperincikan melalui gugatan yang diserahkan ke Mahkamah Konstitusi (MK) (Republika.co.id, 27 Juli 2014).

Lebih mengherankan lagi Tim hukum Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dalam jumpa pers di Jakarta, Jum’at (1/8/2014) Andre Rosiade mengklaim jumlah suara bermasalah pada Pemilu Presiden 2014 bertambah dua kali lipat. Jika pada saat pendaftaran ke Mahkamah Konstitusi lalu klaim suara bermasalah itu sebanyak 21 juta, maka kini jumlahnya meningkat menjadi 50 juta (Kompas.com, 2/8/2014).

Maqdir Ismail pengacara Prabowo-Hatta mengungkapkan pelanggaran yang terjadi sekitar 52.000 TPS yang menyangkut 21 juta pemilih. “Ini yang menjadi persoalan pokok kita. Jadi, bukan berarti kita tidak siap menang, tidak siap kalah untuk mencari pembenaran, tetapi semata-mata mencari kebenaran dan keadilan, ini lebih penting daripada persoalan kemenangan.”

Dia mengklaim sesuai perhitungan kubu Koalisi Merah Putih, pasangan Probowo-Hatta mengguli pasangan Jokowi-JK. Pasangan Prabowo-Hatta memperoleh 67,139 juta suara (50,25 persen), sementara pasangan Jokowi-JK memperoleh 66,435 juta suara (49,74 persen) (Hukum online.com, 25 Juli 2014).

Tidak Masuk

Berbagai pernyataan yang diungkapkan apalagi menyebut bahwa pemilihan Presiden 2014 telah terjadi kecurangan yang terstruktur, sistimatis dan masif (TSM), yang diarahkan tuduhan ke Jokowi-JK dan timnya sama sekali tidak masuk akal.

Setidaknya terdapat 5 (lima) alasan yang mendasari untuk menolak tuduhan bahwa pemilihan Presiden telah berlangsung dengan penuh kecurangan yang terstruktur, sistimatis dan masif.

Pertama, KPU telah menyelenggarakan pemilihan Presiden (pilpres) dengan terbuka dan transparan, langsung, umum, bebas, rahasia serta jujur dan adil. Pelaksanaaan pilpres tidak hanya diawasi oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), tetapi juga DKPP yang diketuai Jumly Asshidiqie yang mengawasi pelaksana dan pengawas pilpres di semua tingkatan.

Kedua, pelaksanaan pilpres dipantau berbagai lembaga independen dari dalam dan luar negeri, masyarakat luas, media dan Komisi II DPR RI, sehingga tidak mungkin pilpres dilaksanakan dengan kecurangan yang terstruktur, sistimatis dan masif.

Ketiga, Jokowi-JK tidak didukung partai penguasa dan partai-partai politik yang mempunyai banyak kader yang menjadi gubernur, bupati dan walikota. Bagaimana melakukan kecurangan secara terstruktur, sistimatis dan masif kalau tidak memegang kekuasaan.

Keempat, dalam kampanye pilpres Jokowi-JK paling banyak mengalami kampanye hitam. Mulai dari isu suku, agama dan terakhir isu PKI. kampanye hitam yang ditimpakan ke Jokowi-JK tercatat 9 kali lebih banyak dibandingkan calon yang lain.

Kelima, menjelang pencoblosan 9 Juli 2014, semua lembaga kredibel termasuk LIPI yang melakukan survei, merilis hasil survei mereka bahwa Jokowi-JK unggul dibanding Prabowo-Hatta. Logikanya kalau sudah unggul dan ada keyakinan kuat akan memenangkan pilpres, untuk apa Jokowi-JK melakukan kecurangan, kalau seandainya mempunyai kemampuan untuk melakukan kecurangan.

Berdasarkan lima hal tersebut, maka Jokowi-JK tidak mempunyai potensi melakukan kecurangan apalagi melakukan kecurangan dalam pilpres sebagaimana yang dituduhkan tim pembela Merah-Putih.

Oleh karena itu, untuk menjernihkan tuduhan yang tidak masuk akal, maka harus diapresiasi adanya gugatan ke MK, sehingga semuanya jelas dan bisa diungkapkan bukti-bukti yang dituduhkan dalam persidangan di MK.

Wallahu a’lam bisshawab




Sumber : http://ift.tt/1qFbioR

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz