Dini Menilai Wacana Perubahan Jokowi
Dini Menilai Wacana Perubahan Jokowi
Umumnya, penilaian dini publik terhadap pemerintahan baru dengan melihat kinerja/program 100 harinya. Berhubung program 100 hari ini belum tersedia, saya melihat setidaknya ada dua indikator yang dapat digunakan untuk melakukan penilaian awal terkait janji perubahan yang diwacanakan oleh Jokowi-JK. Dua indikator ini adalah janji-janji yang dilontarkan oleh Tim Jokowi-JK tak lama setelah KPU mengumumkan kemenangan pasangan nomor 2 ini. Apa saja dua indikator tersebut?
1. Pengumuman Kabinet Setelah Lebaran
Tim Jokowi mengemukakan bahwa Jokowi akan mengumumkan kabinet setelah lebaran. Sekjen PDIP, Tjahjo Kumolo, mengatakan bahwa Kabinet Jokowi akan diumumkan setelah lebaran. Luar biasa hebat jika Jokowi dan tim mampu menyusun kabinet dalam waktu sesingkat ini.
Pertama, menyusun kabinet bukan lah perkara mudah. Selain mencari “The Right Man, on the Right Place”, Jokowi juga harus berdamai pada konstelasi politik yang terjadi. Pada masa kampanye, sering kita dengar bahwa Jokowi menolak politik transaksional, politik bagi-bagi kekuasaan atau semacamnya. Tapi, apakah mungkin hal ini terjadi di kala sistem politik multipartai seperti saat ini?
Kedua, hingga tulisan ini rampung, gabungan partai pengusung Jokowi hanya memiliki kurang dari setengah kursi DPR (minoritas). Sulit atau bahkan hampir tidak mungkin bagi Jokowi jika ingin membuat berbagai dobrakan kebijakan tanpa ada dukungan dari parlemen. Koalisi SBY di periode lalu (2009-2014) saja yang menguasai lebih dari 70 persen kursi di DPR tidak mampu berbuat banyak ketika ingin memutuskan kebijakan-kebijakan yang tidak populis, contoh menaikan harga BBM. Kebijakan demi kebaikan ini pada akhirnya kandas di Senayan, SBY tak berdaya, raisopopo.
Benar bahwa partai pengusung Prabowo lebih gemuk daripada Jokowi, namun kita juga tidak boleh lupa bahwa setidaknya ada lima partai yang mengusung Jokowi sebagai Capres. “No such a thing as a free lunch”, tidak ada yang gratis di dunia ini, lebih-lebih dalam politik. Transaksi kepentingan adalah sudah barang tentu. Wujud nyata kepentingan tersebut adalah jatah menteri atau posisi strategis lainnya di kabinet, duta besar, direksi/komisaris BUMN, dll.
Selama sistem politik multipartai kita masih seperti ini, sulit bagi siapa pun yang terpilih sebagai Presiden untuk memilih menteri hanya murni pertimbangan kompetensi atau profesionalitas belaka. Presiden beserta Wapres harus berdamai dengan realitas politik yang ada, yaitu bagi-bagi kue kekuasaan minimal kepada para parpol pendukungnya.
Idealnya, parpol adalah kawah candradimuka, tempat perkaderan, lumbung SDM, untuk para calon pengambil kebijakan. Realitanya, parpol-parpol di Indonesia masih hanya sebatas fanboys, sedangkan fungsinya untuk menciptakan kader-kader unggul yang bisa mengisi pos-pos strategis masih jauh panggang dari api.
Oleh karena itu, jangan heran jika publik memisahkan antara “Menteri Parpol/Menpol” dan “Menteri Profesional/Menpro”. Menpro diasosiasikan dengan memiliki kompetensi dan profesionalitas, sedangkan Menpol sebaliknya dan hanya sebatas bagian dari deal politik saja, meskipun ada juga beberapa Menpol yang cukup baik kinerja dan kompetensinya. Di sisi lain, terkadang ada pula yang disebut sebagai Menpro tetapi sebenarnya adalah kader partai terselubung.
Pada tulisan ini, saya hendak usulkan indikator sederhana untuk mengukur apakah wacana perubahan Jokowi, dalam konteks mengisi kabinetnya dengan orang-orang profesinal, benar adanya. Indikator ini adalah rasio dari Menpol dibagi dengan total jumlah menteri. Setelah itu, mari kita bandingkan dengan kabinet-kabinet sebelumya, khususnya Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) I (2004-2009) dan juga KIB II (2009-2014) dimana PDIP menjadi oposisi sejati selama periode tersebut. Semakin kecil rasio ini, semakin banyak Menpro yang mengisi kabinet Jokowi dan ini pertanda baik bahwa harapan perubahan itu ada, vice versa.
Kalimat bersayap adalah ciri utama bagi politisi dalam mengeluarkan pernyataan. Dalam konteks penyusunan kabinet ini, saya memprediksi ada beberapa argumen yang akan disampaikan oleh Kubu Jokowi jika kedua janji tersebut tidak dapat dipenuhi dalam waktu dekat ini.
Pertama, “setelah lebaran”. Tjahjo tidak menyebutkan secara spesifik lebaran apa yang dimaksud, apakah lebaran Idul Fitri atau Lebaran Idul Adha. Kebetulan, dua hari raya umat islam pada tahun ini memang akan terjadi sebelum Jokowi di lantik, yaitu 20 Oktober 2014. Kalau saya pribadi, mengintepretasikan “setelah lebaran” adalah “setelah Idul Fitri” tetapi saya kurang yakin Jokowi secepat itu dapat menyusun kabinetnya. Terlebih, Jokowi baru resmi dinyatakan sebagai presiden konstitusional setelah keputusan MK keluar dan dilantik pada 20 Oktober 2014. Tetapi, bukan kah tanggal 20 Oktober 2014 pun termasuk kategori “setelah lebaran”? Atau lebih tepatnya hampir 3 bulan setelah lebaran hehe..
Kedua, definisi profesional. Seperti yang saya utarakan di atas, batasan antara Menpol dan Mepro tidak begitu tegas, khususnya bagi sosok yang disebut Menpro. Menpol biasanya mudah dilacak apakah dia pengurus parpol atau bukan. Di sisi lain, orang-orang yang disebut Menpro bisa bias karena di satu sisi dia memang bukan pengurus partai tetapi di sisi lain sudah rahasia umum bahwa orang tersebut adalah dekat dengan penguasa atau Parpol X, Parpol Y, dsb. Di sini lah kita harus teliti dalam melihat dan menilai apakah menteri ini atau menteri itu adalah orang profesional atau hanya sekedar Menpol berbulu Menpro.
Publik, baik Pro Jokowi atau Pro Prabowo, harus cerdas dalam mengawal isu ini. Ini adalah dua indikator dini yang dapat kita gunakan untuk mengingatkan calon pemimpin Republik ini lima tahun ke depan. Harapan perubahan jelas ada di benak kita semua. Tentu tidak ada satu pun dari kita yang ingin dikecewakan. Pun pada akhirnya tidak sesuai ekspektasi, hukum saja dengan tidak memilihnya di periode selanjutnya sembari terus mengawal, mengingatkan, dan mengkritik pemerintahan yang sedang berjalan.
Sumber : http://ift.tt/1nJ3Ewj