Suara Warga

SIAGA BENCANA ALAM

Artikel terkait : SIAGA BENCANA ALAM

`

SIAGA BENCANA ALAM

Masih terdengar di telinga kita ketika para ibu-ibu bertanya pada saat tsunami, Apa ini Pak? Apa kita ini mau kiamat? Saya menjawab Bukan, langit masih cerah, kalau kiamat tidak ada yang tersisa. kata saya di tengah kepanikan dalam nestapa gelombang tsunami 10 tahun yang lalu. Pertanyaan ini wajar timbul, mengingat para korban yang hidup tidak tahu ternyata gempa berpotensi menggungkit ke darat nestapa gelombang dasyat, Karena itu juga, banyak mereka yang aman pada tsunami pertama, pulang ke rumah untuk melihat keluarga, harta dan dokumen berharga harus menjadi korban pada saat gelombang tsunami yang kedua. Beberapa warga Kabupaten Simeulue yang tinggal di Kabupten Meulaboh berteriak kepada masyarakat sekitarnya untuk segera melarikan diri. Sebab laut nestapa akan melahirkan tembok air tinggi yang akan runtuh menimpa membawa bala. Namun, orang-orang darat tersebut hanya bingung dan mengganggap miring si pemberi peringatan.

Bahkan banyak masyarakat Kabupaten Meulaboh pergi ke laut yang seharusnya dihindari untuk melihat fenomena surut laut dan ikan-ikan bergelimpangan. Di Kabupaten Simeulue pada tahun 1907 pernah dilanda tsunami, berbekal kejadian, warga Kabupaten Simeulue di darat memliki pengetahuan tentang gempa yang berpotensi tsunami dan pada tahun nestapa tahun 2004, boleh dikatakan tidak ada korban langsung di Kabupaten Simeulue walaupun mereka menerima skala gempa dan tsunami sama dengan di Aceh lainnya. Jarak Kabupaten Simeulue dan Kabupaten Meulaboh hanya 12 jam perjalanan laut dan satu jam perjalanan udara, kontak budaya pun kedua masyarakat sangat intens, masa panen Cengkeh pada era tahun 1980-an membuat orang darat terkesima dengan kekayaan yang dapat diraih di Kabupaten Simeulue sebagai pemetik Cengkeh dan sebaliknya. Orang Kabupaten Simeulue berbondong-bondong ke Kabupaten Meulaboh menginap di losmen untuk sekadar istirahat dan belanja sepeda motor, kulkas walaupun belum ada listrik di sana, namun pengetahuan bahwa gempa berpotensi tsunami tetap tersandera di dalam ingatan semu yang tidak dapat diingat realitas dan aplikatif pada kejadian tahun 2004.

Akankah pelajaran tahun 2004 tersebut dapat menjadi bagian dari budaya bencana masyarakat Aceh ke depan? Sebab gempa adalah rutinitas di Aceh, sebab kita berada di lantai laut yang berpotensi amblas karena memang lempengannya saling berdesakan. Bukti sejarah menyatakan bahwa bencana tsunami pernah terjadi di Aceh beberapa abad lalu dengan skala yang berbeda-beda. Hasil penelitian terkini memang menunjukkan bahwa Aceh bukan hanya sekali dilanda tsunami, tetapi menunjukan rutinitas dengan skala dan rentang yang besar dan jauh tetapi terjadi dengan rutin. Dalam sebuah report penelitian Coastal Progradation Patterns As A Potential Tool Inseismic Hazard Assessment yang dilakukan oleh multi NGOs dan lembaga riset dari berbagai penjuru dunia; Katrin Monecke, Wellesley College USA, Willi Finger, Swiss Agency For Development And Cooperation, Switzerland David Klarer, Old Woman Creek National Estuarine Research, Huron, Ohio, Widjo Kongko, BPPT, Coastal Dynamic Research Institute, Brian Mcadoo, Vassar College USA, Andrew Moore, Earlham College, USA, Sam Unggul Sudrajat, United Nations Development Program (UNDP), Indonesia Frank Karmanocky, Neil Hood, Brian Houston, University of Pittsburgh At Johnstown Stefan Luthi, Delft University of Technology, Netherlands, dan lainnya bahwa tsunami pernah terjadi beberapa kali di perairan Kabupaten Meulaboh dengan perkiraan waktu antara tahun yang berbeda, sesuai dengan ditemukan deposit tanah bekas tsunami.

Penelitian ilmiah semakin mendukung catatan-catatan gempa dalam manuskrip di Aceh, misalnya di bulan Sya’ban 1211 H Februari tahun 1797 gempa 8,4 SR di perairan Laut Hindia tepatnya Mentawai dan Padang menimbulkan tsunami yang melanda pesisir pantai barat Sumatera. Di dalam catatan sampul manuskrip Tanoh Abee disebut al-zalzalah as-syadidah at-tsaniyah gempa besar kedua kali, Kamis 9 Jumadil Akhir 1248 H/3 November tahun 1832 M. Lima tahun kemudian September tahun 1837 pada periode Sultan Muhammad Syah tahun 1824-1838, Belanda mencatat kembali gempa yang terjadi di Aceh dan epicenter di perairan barat Aceh. Di Abad yang sama, pada tahun 1861 terjadi gempa tektonik di Singkil, menghancurkan infrastruktur Belanda yang dibangun pada tahun 1852 Hermansyah, Naskah Ta’bir Gempa: Antara Mitigasi Bencana dan Kearifan Lokal di Aceh, Kajian Terhadap Naskah-Naskah Kuno. Mengulang pertanyaan di atas, akankah Aceh cukup kuat untuk menghadapi bencana serupa di tahun mendatang? Menjawab pertanyaan ini kita perlu melihat kebijakan pemerintah dan budaya masyarakat Aceh.

Pertama, terhadap kebijakan pembangunan yang diterapkan Pemerintah Aceh yang dapat kita nilai kurang mengadopsi bencana tahun 2004. Kota Banda Aceh awal tsunami pernah dirancang dengan sesi pantai yang dikosongkan dari hunian masyarakat, dengan rencana pohon-pohon bambu untuk ketahanan pantainya, Kabupaten Meulaboh pernah dicoba konsongkan 500 meter dari pantai, tetapi gagal diwujudkan. Jalan Kabupaten Meulaboh-Banda Aceh tetap dibangun dengan sejajar laut, namun tidak ditempatkan rambu-rambu jalan atau tempat evakuasi apabila kenderaan yang melintas terjebak dalam gempa yang berpotensi tsunami, jalan-jalan di Banda Aceh dan Meulaboh tidak cukup dipahami oleh orang luar jika mereka juga harus terjebak dalam gempa yang berpotensi tsunami di masa mendatang. Kedua, budaya bencana, saat kunjungan ke Jepang pada tahun 2012 lalu, bertanya kepada Dr Samsidik Tahir dari TDMRC mengapa orang Jepang meletakkan sandalnya menghadap ke arah keluar bukan sebagaimana kebiasaan orang Indonesia menghadap ke pintu masuk.

Ia menjelaskan bahwa orang Jepang melakukan hal tersebut sebagai bentuk kesiapsiagaan untuk mudah memakai sandal atau sepatu saat terjadi gempa. Jadi ingat kejadian pada tahun 2004 banyak kaum perempuan terpaksa lari dengan pakaian apa adanya, dan laki-laki bertelanjang kaki, dan ini terjadi juga pada gempa 26 Maret tahun 2006, 11 April tahun 2011.

Sebenarnya masyarakat memiliki budaya siaga bencana misalnya terhadap rumah hunian, dulu rumah di daerah banjir dibuat berupa panggung karena masyarakat tahu bahwa banjir sering terjadi di tempat mereka, kemudian generasi berikutnya menurunkan lantai rumah menjadi rumah semi permanen atau permanen yang tidak berpanggung lagi. Rumah Aceh juga dirancang untuk kepentingan bencana tersebut. Atap yang dijalin mudah dilepas jika terjadi kebakaran, bentuknya yang berpanggung untuk menjauhi banjir. Selama rekonstruksi di Aceh, rumah panggung ini pernah dibangun di seputaran Krueng Teunom. Namun pelajaran pada tahun 2004 tidak kuat bagi kita untuk melembagakan budaya bencana, pelaksanaan simulasi skala kecil dan besar harus dilaksanakan sesering mungkin, penempatan rumah jauh dari pantai harus menjadi pemahaman masyarakat, di rumah tangga harus ada budaya skenario pencegahan dan evakuasi bencana. Perlu alat-alat rumah tangga berupa lemari dan lainnya yang mudah jatuh diaman dengan menempel di dinding, anak-anak perlu diajarkan tentang bagaimana menghadapi gempa dan tsunami di sekolah atau di rumah, siapa yang harus mereka dengar, apa yang harus mereka lakukan, kemana mereka harsu melindungi diri, demikian juga jika mereka berada di rumah.





Banda Aceh, 20 Desember 2014

RAHMATSYAH




Sumber : http://ift.tt/1sRV0iG

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz