Suara Warga

Privatisasi BUMN Era Jokowi..

Artikel terkait : Privatisasi BUMN Era Jokowi..

Nasi memang sudah menjadi bubur, semua tahapan pilpres sudah selesai dilaksanakan, sekalipun penuh kecurangan dari kubu pemenang; dan sekarang sang pemenang sedang menikmati bulan madu sebagai pihak penguasa negara ini sampai lima tahun ke depan. Kendati demikian tidak ada salahnya bila kita mengingat kembali bahwa salah satu keberatan yang diajukan terhadap pencalonan Ir. Joko Widodo saat itu adalah fakta bahwa Jokowi tidak lain daripada seorang figurehead atau boneka dari Megawati Soekarnoputri dan PDIP yang ingin kembali berkuasa di Indonesia namun keinginan tersebut tidak disambut oleh rakyat sehingga cara alternatif-pun ditempuh, yaitu berkuasa melalui seorang wayang dan wayang tersebut tidak lain dari Jokowi. Berdasarkan fakta ini maka saat itu disimpulkan bahwa kebijakan Jokowi bila menjadi presiden adalah bukan berasal dari dirinya melainkan diformulasikan oleh PDIP dan Megawati Soekarnoputri sedangkan rekam jejak pemerintahan PDIP sangat tidak bagus.

Salah satu “prestasi” pemerintahan PDIP dan Megawati, bila mau dibilang demikian adalah penjualan aset-aset negara seperti namun tidak terbatas kepada: penjualan Indosat dan Telkomsel kepada Temasek, BUMN Singapura; penjualan gas alam Indonesia kepada Republik Rakyat China dengan harga jauh di bawah harga pasar; berbagai perbankan nasional seperti BCA, Danamon, BII dan lain sebagainya kepada perusahaan-perusahaan asing. Mempertimbangkan prestasi yang demikian, maka pertanyaan yang diajukan saat itu adalah apakah Jokowi akan menelurkan kebijakan yang sama bila terpilih apalagi mengingat dia telah menyatakan persetujuannya akan kebijakan menjual aset negara dari Megawati dan PDIP serta sebelum mencalonkan diri, Jokowi telah “menyerahkan leher” kepada negara-negara asing demi meraih dukungan mereka dengan quid pro quo tentu saja berupa kemudahan asing mendapat aset Indonesia bila dia terpilih (http://ift.tt/1p4ZxM3).

Semua orang yang berpikiran rasional saat itu sudah mengetahui bahwa Jokowi pasti akan mengulang kembali kebijakan obral aset negara ala PDIP dan Megawati, terutama setelah Jusuf Kalla, Megawati dan Sofyan Wanandi, cukong pasangan Jokowi-JK, bertemu di Amerika Serikat beberapa hari menjelang Mahkamah Konstitusi membacakan putusan mereka atas sengketa pilpres yang diajukan oleh Koalisi Merah Putih. Namun apa lacur, akhirnya Jokowi bersama JK tetap terpilih memimpin Indonesia selama lima tahun ke depan.

Benar saja, tiga bulan setelah terpilih, bukannya memenuhi janji kampanye untuk membeli Indosat tapi malah menelurkan kebijakan privatisasi semua BUMN yang diusulkan oleh tangan kanan Megawati yang sekarang menjadi menteri BUMN. Kebijakan privatisasi ini dimulai dengan menyetujui penunjukan orang asing untuk dapat ditunjuk menjadi direksi dan memimpin semua BUMN di Indonesia.

Reaksi saya mendengar berita ini adalah terkejut tapi tidak terkejut, terkejut dalam arti kaget bahwa Jokowi dan JK tega menjual aset negara dan bangsa ini hanya tiga bulan semenjak dilantik; akan tetapi tidak terkejut karena sudah tahu bahwa ini adalah salah satu program pokok mereka yang asli jauh sebelum mereka terpilih. Saya tentu tidak setuju dengan privatisasi semua BUMN ala Jokowi-JK karena saya percaya bahwa sebagai perusahaan milik pemerintah atau setidaknya perusahaan yang dikendalikan oleh pemerintah, maka direksi BUMN bertanggung jawab kepada Menteri BUMN sebagai wakil pemerintah selaku pemegang saham dan bertindak atas petunjuk pemerintah atau dalam hal ini presiden sedangkan presiden dalam hal ini memperlambangkan Indonesia sebagai negara sehingga kepemilikan pemerintah dalam sebuah BUMN memperlambangkan kepemilikan seluruh bangsa Indonesia atas perusahaan tersebut sehingga seorang direksi BUMN bukan saja harus memikirkan perusahaan, akan tetapi juga harus memikirkan dampak kebijakan yang diambil untuk BUMN terhadap seluruh rakyat Indonesia.

Masalahnya adalah seorang direksi asing sudah pasti tidak memiliki kepekaan terhadap perasaan bangsa Indonesia karena sebagai profesional asing di negara asing, dia hanya akan berorientasi profit, termasuk sekalipun menjual BUMN melalui mekanisme privatisasi baik di pasar modal atau ke penawar tertinggi atau menjual aset-aset BUMN tersebut. Belum lagi para direksi asing itu pasti meminta gaji tinggi dan berbagai manfaat lain, yang mana gaji profesional lokal mungkin jauh lebih murah namun tidak kalah berkualitas. Bila kita bisa memanfaatkan tenaga lokal, mengapa harus membayar orang asing menggunakan pajak dari rakyat negara ini? Jokowi-JK pemimpin bangsa Indonesia atau pemimpin bangsa asing? Ada baiknya Jokowi, JK, PDIP dan Megawati berkaca pada peringatan Senator Sessions pada Mark Zuckerberg beberapa bulan lalu ini:

We can’t put the parochial demands of a few powerful CEOs ahead of an entire nation’s hopes, dreams, and aspirations. The basic social contract is that citizens agree to follow the law, pay their taxes, devote their love and loyalty to their country and in exchange, the nation commits to preserve and protect and serve their interest, safeguard their freedom, and return to them in kind their first allegiance of loyalty. The job of elected officials is to answer to the people who sent them to Washington–not to scorn them, not to demean them, not to mock them, not to sell their jobs and dreams to the highest bidder.”

Benar, Jokowi, JK dan PDIP harus ingat siapa yang membawa mereka ke kursi empuk pemerintahan negara ini, tidak lain daripada rakyat Indonesia, sehingga mereka harus mementingkan kepentingan rakyat Indonesia dan bukan malah menjual aset-aset negara ini yang seyogyanya digunakan untuk rakyat kepada negara-negara asing!




Sumber : http://ift.tt/1Ch1gmW

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz