Suara Warga

GONJANG GANJING GOLKAR. Pendapat Fahri Hamzah dan Saya Serupa Tapi Tak Sama

Artikel terkait : GONJANG GANJING GOLKAR. Pendapat Fahri Hamzah dan Saya Serupa Tapi Tak Sama

14191301241789139102 Beringin Rimbun - nasionaldotinilahdotcom





Para Sohib yang demen ngrumpi di Kompasiana ini tentu mafhum Gonjang Ganjing Golkar sudah berulang terjadi.

Beberapa waktu silam, ada kalanya bakda gonjang ganjing langit kelap-kelap katon ‘ala pakeliran dalang bengal yang jadi Kepala Daerah Kabupaten Tegal kini, lepas dini hari yang hening di tempat lain masuk waktunya goro-goro. Lantas menyusul nampang di kelir para punakawan Semar-Gareng-Petruk-Bagong atau Limbuk-Cangik di versi lain.

Artinya, masa-masa bingung dan masalah diantarai canda tawa sebelum mengarah ke solusi yang ditawarkan sang penutur lakon. Semua senang, dalang beserta rombongan dan perangkatnya boleh berkemas pulang dengan penghargaan, pun penonton sembari mata berat menahan kantuk boleh bubaran pulang dengan lega dan rasa hati terhibur.

Jika kaidah seperti ditamsilkan di atas masih boleh diharap valid berlaku sebagai solusi menyegarkan sama suka sama senang, maka Golkar sebagai partai yang notabene aset berharga negara bangsa ini tetap eksis. Untuk itu dibutuhkan rasa asah, asih, asuh dan kemahiran mengelola konflik sedikit nempil ‘ala pak Harto almarhum dimiliki mereka, para tokoh, yang merasa menanggungjawabi keberlangsungan PG.

Politik Devide Et Impera – Prasyarat Terapan Berhasil

Kininya perkembangan kini, dua kubu masih saja tidak jauh-jauh dari bersikukuh adu klaim yang – sepertinya lho – lebih dilandasi dan demi kepentingan pribadi dan kelompok aka kubu masing-masing. Penulis koq lebih nyaman menyarankan kepada para pemangku kepentingan partai beringin rimbun ini: Kalian lupakanlah pengamalan politik pecah belah aka devide et impera ‘ala Belanda di jaman perjuangan Pangeran Diponegoro dahulu dengan tokoh andalan VOC Snouck Hurgronje (kurang tepat tulis nama ya? Tolong betulin dongngng……).

Sejatinya, silakan pikir ‘ala Cak Lontong persilakan MIKIRRRR….!! Di luar ridla Allah SWT sebagai insan manusia yang dianugerahiNYA kewenangan berupaya dan berdoa, konon, tak bakal intervensi pihak eksternal bakal mangkus berdampak terbelah berkepingnya partai ASALKAN pihak internal dengan penuh kesadaran memilih berpihak pada pengutamaan atas APA YANG SEHARUSNYA DIUTAMAKAN. Kalian lebih tahu apa itu gerangan.

Maka percaya diri layak ada, bahwa tak upaya pecah belah berhasil tatkala kesadaran ada, persatuan dijaga. Salah kelola konflik dan dinamika perbedaan kiblat politik kian mengeras yang sudah sampai tataran mengkhawatirkan dewasa ini, nyatanya menggelinding bak bola liar partai beringin rimbun tergocek-gocek. Sebagai penonton – maaf, penulis tak merasa pantas berpretensi sebagai pengamat, kompetensi tiada, minat pun tak punya wong alih-alih hanya ikutan meramaikan wahana ngrumpi rame-rame Kompasiana kita ini, hehehe…

Penonton boleh dong mempertanyakan, atau mengingatkanlah, kapan menurut Kalian seturut kerangka waktu tiba saatnya periode GONJANG-GANJING ini mereda dan dipungkasi dan masuk perioda antara GORO-GORO jelang waktu yang tepat sampai ke solusi, sebagaimana ditamsilkan di lakon dunia pakeliran di atas.

Persoalannya: siapa ya penutur lakon di Partai Golkar yang berlogo beringin rimbun dengan warna latar kuning ini ya sosoknya……

M. Jusuf Kalla jelas tak lagi boleh. Bukan lagi jamannya rezim SBY dengan KIB Satunya yang membolehkan dan malah mencontohkan menjabat rangkap. Lalu kaum kasepuhan sekelas Suhardiman, Ginanjar Kartasasmita, Akbar Tanjung dlsb jelas sekali di mata mayoritas kumpulan penonton tak bisa nyaman dan legowo diterima sebagai tokoh tak berpihak untuk bisa berlaku dan memainkan peran sebagai pemersatu. Menggali tekun peluang untuk mengamalkan musyawarah mufakat.

Goro-Goro Jelang Tawaran Solusi, Jika Ada

Pada babak semisal dunia pakeliran ini, yang tampil bukan punakawan yang terdiri dari ki lurah Semar Bodronoyo bersama tiga anak asuhnya Nolo Gareng, Petruk si Kantong Bolong dan Bagong si Mata Plolong, pun bukan Cangik dan Limbuk, melainkan Ketua Umum Partai Golkar versi Musyawarah Nasional Jakarta, Agung Laksono, mengatakan pihaknya ingin proses perundingan dengan kubu Aburizal Bakrie cepat selesai.

“Saya harapkan pertemuan secepatnya,” ujar Agung di kantor DPP Partai Golkar, Slipi, Jakarta Barat, Jumat (19/12/2014). Lengkapnya sila tekan tautan: Siap Islah, Agung Laksono Harapkan Bertemu Kubu Aburizal Secepatnya.

Para penonton, eh, sidang pembaca, teristimewa para penggemar kanal politik yang demen kalo gak bahkan bersetia ngrumpi di Kompasiana, pasti pada mahfum bahwasanya (weleh asyik juga sesekali pakai kata bahwasanya lho yang sepanjang Penulis ingat adalah satu di antara kata klangenan jaman eyangnya Ki Sabdopanditoratu), sebelum adanya polarisasi barisan. Semua kita tahu: menjadi barisan sakit hati di satu pihak dan barisan setulus hati jelang-semasa-purna Pilpres di lain pihak, semua kita menerima dengan apresiasi dan acap mengacu angka-angka statistik yang dilaporkan lembaga survei. Membuat beberapa lembaga survei tertentu menegakkan kokoh namanya di ingatan pemangku kepentingan dan khalayak penikmat. Sebelum kemudian dipaksakan lembaga survei abal-abal tampil.

Kembali ke laptop.

Masalahnya terkait produk lembaga survei bukan abal-abal, ini yang menjadi penanda bagi kita semua berprihatin. Sama seperti keprihatinan Juru Bicara Poros Muda Partai Golkar Andi Sinulingga yang mengacu hasil survei terbaru yang dirilis oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI) dengan menyatakan suara Golkar akan merosot menjadi 8,4 persen, merupakan capaian terendah dalam sejarah perjalanan politik. Lengkapnya baca di sini.

“Jika tidak segera melakukan rekonsiliasi maka partai berlambang pohon beringin itu terwujud menjadi partai papan tengah di Pemilu 2019. Fakta tersebut seharusnya bisa membuka akal sehat kubu Aburizal Bakrie dan kubu Agung Laksono. Semakin berlarutnya dualisme kepengurusan DPP Golkar justru akan merugikan partai. Merugikan kedua belah pihak, dan seharusnya para senior di kedua kubu bisa memberikan contoh bagi generasi Golkar di bawahnya,” kata Andi Jumat (19/12/2014).

Ekspektasi Fahri Hamzah

Menilai perkembangan panas tak berjuntrung partai kuning kolega karibnya di KMP, tak urung Wakil Ketua DPR 2014-2019 dari Fraksi PKS gagal menyimpan rasa ketar-ketir. Kompas.com mewartakan di sini bahwa dalam kapasitasnya sebagai Sekretaris Koordinator Pelaksana Koalisi Merah Putih (KMP) Fahri Hamzah menyayangkan syarat yang diajukan Agung Laksono untuk mewujudkan islah di internal Partai Golkar. Fahri meminta Agung tidak terus memaksa Golkar keluar dari KMP.

Fahri menjelaskan, konflik yang terjadi di internal Golkar tidak dapat ditarik keluar dan dikaitkan dengan KMP. Pasalnya, Golkar telah menjadi elemen penting dalam KMP untuk mengawasi semua kinerja pemerintahan yang berkuasa.

Nah, di pernyataan termaksud di atas itulah pendapat Penulis serupa tapi tak sama dengan ekspektasi Fahri. Maaf, maaf, sidang pembaca yang para sohib Kompasianer, jangan setarakan kebisaan dan derajat Fahri dengan Penulis. Jauuuuhhhhhh berbeda. Mulut Penulis pun tak selebar dia punya lantaran suara tak selantang dia punya. Vise versa. Semua tahulah!!!

Yang membuat dag-dig-dug Fahri agaknya tak jauh-jauh dari bayangan kemungkinan siapa pun pengurus DPP PG yang legitimate di kelaknya, adalah bergesernya keberpihakan PG dari KMP yang BSH ke BSH versi pemerintah. Bukan sembarang spekulasi, kata banyak pengamat yang Penulis simak, tetapi lebih dari sekedar gejala banyak dan gampang ditemui. Ujung dag-dig-dug: jangan-jangan koalisi rontok jadinya. Ke mana nanti partai favoritnya sohib ustadz Gasa akan bersandar? WOW……… Tak ingat sohib kepanjangan BSH? Tengok lagi, ada di atas tuh……

Opsi Penyelesaian

Mengulik catatan masa lalu tanpa berpayah-ria membuka buku sejarah, kebetulan pula Penulis bukan sejarawan, maka Penulis jelas tak bermaksud mengajak sohib Kompasianer berkerut kening merunut rincian fakta sejarah politik Indonesia kita.

Begini, di masa lalu dari partai beringin rimbun ini orang mengambil tunas dengan membawa suasana hati kecewa karena aspirasi tak tertampung atau entah apa lantas berbesar harapan menumbuh-besarkan partai baru.

Ada PKPBnya Jendral purn R Hartono, PKPnya Jendral Purn Edy Sudradjat yang lalu bersalin jadi PKPI di bawah asuhan Letjen Purn Sutiyoso, ada Hanuranya Jendral Purn Wiranto, dan ada pula Partai Nasdem hasil metamorfosis ormas Nasdem.

Arus pemecahan aka pemisahan diri sempat berlangsung menggejala di era reformasi. Ada PAN ada PMB, ada PKB ada di antaranya PKNU, ada PPP ada PBR. Semuanya itu bermula dengan kejadian lahirnya PDIP mbak Mega punya menjawab kecenderungan berpihak dan preferensi politik eyangnya Ki Sabdopanditoratu di akhir masa keemasannya ke PDInya Suryadi.

Meski dinamika politik internal dan eksternal partai memicu munculnya partai kembaran, sempalan, perjuangan, atau apa pun sebutan indah yang disematkan, yang baru muncul sepertinya tak kuasa meruntuhkan pamor dan marwah partai induknya. (Eh, koq jadi ikutan, marwah tuh apaan sih ya? Semoga klop aja sama konteks). Terkecuali PDI lenyap dan PDIP bertahan. Terkenang sempat juga ada beberapa tokoh PDIP yang memisahkan diri lalu melahirkan partai baru, termasuk di antaranya Partai Pelopor dulu, PNBK, PADI, PDPnya Laksamana Sukardi, PNI Bla Bla (maaf, kurang inget, maka bagi yang berkepentingan blablanya silaken ganti dewek).

Kali ini, ada kesan kedua kubu PG beradu kuat. Menjadi tak jelas jika para tokoh itu pecah kongsi, mana yang boleh berpredikat induk dan lainnya cuma beroleh sempalan.

Emeng-emeng Partai Golkar ada hak patennya gak sih? Atau setidaknya ada penghormatan tinggi tertentu para tokohnya pada nama itu melestarikan hormatnya para pendiri dahulu.

Maksudnya gini, dua kubu sama-sama menaruh hormat. Dua-duanya bisa jadi lantas merasa sama-sama tak layak “merampok aka menghaki nama berpenghormatan” itu, maka mending nama itu dilestarikan dan kedua kubu mengambil nama lain.

Sebagai ganti – boleh mengambil contoh faktual dari band yang membumi misalnya. Nama Peter Pan dilestarikan dan Ariel dkk berketetapan bersalin nama Noah. Charly van Houten pun ikut melestarikan nama ST12 untuk kemudian menyandang nama baru Setia Band.

Seterusnya, silakan MIKIRRR………!!!

Ya sudahlah. Menunggu tiba waktunya mereka akur atau sepakat untuk berpisah, tak urung, ngeri-ngeri sedap.

Sekian saja dahulu.

Jakarta, 21 Desember 2014.






Sumber : http://ift.tt/1As1AwY

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz