Suara Warga

Tukang Sate dan Sifat Polosnya

Artikel terkait : Tukang Sate dan Sifat Polosnya



Pendidikan dasar yang mesti tertanam dalam diri seseorang adalah etika. Waktu terus berganti diikuti kemajuan teknologi mutakhir. Jika dulu, menghujat orang lain dengan melontarkan ejekan secara verbal, kini ejekan tersebut bisa dilakukan secara tak langsung. Imbas dari kedua tindakan ini adalah kemarahan dari pihak yang dirugikan.

Sifat polos seorang tukang sate, seperti yang diutarakan kuasa hukumnya, merupakan penghambaan dari sifat memelas supaya mendapat simpati banyak orang. (Tempo.co, online). Pembelaan tersebut kurang bisa diterima akal sehat karena; pelaku dapat mengaktifkan F acebook , dapat terkoneksi internet dengan mudah dan yang paling “pintar” dapat mengedit foto orang lain lalu diposting ke media sosial F acebook . Analisa saya yang bukan pakar teknologi; mengedit foto bukanlah ilmu dasar teknologi informasi. Saat ini, selain melalui komputer, smartphone dengan harga dibawah satu juta dapat digunakan dalam rangka memermak foto melalui beragam aplikasi gratis. Anggaplah pelaku mengedit foto menggunakan komputer (P hotoshop maupun program serupa lain). Dalam menjalankan program ini tidaklah mudah, rata-rata harus melalui pembelajaran sebelum dapat mengganti tubuh orang lain di wajah kita. Foto yang sudah diedit lantas diupload ke media sosial, agaknya sifat polos seorang manusia belum mampu menjangkau ke arah sana.

Karena kasus ini melibatkan orang nomor satu di negara kita, respon dari netizen dan media massa lebih beragam. Pelaku dikenakan ancaman pencemaran nama baik seperti yang tertuang dalam UU ITE dan UU Pornografi dengan hukuman kurungan penjara sampai 10 tahun. Sifat polos yang mendatangkan malapetaka bagi pelaku. Benarkah pelaku tersebut polos? Saya rasa sifat polos diemban oleh orang yang benar-benar tak paham apa-apa. Dalam hal teknologi terbarukan, orang polos dianalogikan hanya mampu mengoperasikan ponsel dengan fasilitas telepon dan pesan singkat saja.

Berkaca dari kasus yang menjerat Muhammad Arsyad, seorang tukang sate, dari kalangan masyarakat menengah ke bawah, saya menggarisbawahi dua akar permasalahan yang perlu dibenahi.



Batasan Pen gunaan IT

Saya sangat sadar sekali bahwa kebutuhan teknologi sangat dibutuhkan saat ini. Namun pendidikan dasar akan hal ini perlu ditanamkan sebelum perlakuan anak melenceng dari manfaat sebenarnya. Kasus yang menimpa tukang sate karena merasa diri sudah dewasa dan mampu melakukan apa saja tanpa bimbingan orang tua. Saat tidak ada batasan dalam berteknologi maka hasilnya juga tanpa batas. Semua yang terpikir dikendalikan oleh rasa ingin tahu dan rasa ingin mendapat perhatian.

Tidak salah saat pelaku yang menjelekkan Jokowi jika dilihat dari hasil akhir. Pelaku jadi terkenal dan dipuja bahkan dihujat netizen. Pelaku juga bukan siapa-siapa yang dapat berdampak pada politik kritis setelah ini. Namun kelakuannya merupakan pelajaran terpenting dari batasan penggunaan internet. Setingkat tukang sate saja sudah begitu mudah online dan mengupload foto tak senonoh, bagaimana dengan masyarakat kelas menengah ke atas yang sudah berbiasa menggunakan komputer, smartphone maupun tablet high end?

Orang tua memiliki peranan penting dalam membatasi penggunaan internet pada anak-anak dan remaja. Lupakan kasus di atas karena usia pelaku sudah 24 tahun dan bukan lagi wewenang orang tua dalam menjaga tingkah lakunya. Peran orang tua terhadap anak sangat berdampak pada perkembangan mereka. Bedakan saja orang tua yang menghadiahi anak ponsel high end dengan ponsel low end. Aura positif pada anak ponsel high end adalah bisa mendapatkan keuntungan dari hobi; menulis di blog, komunikasi bersama teman-teman melalui media sosial, serta memotret pemandangan bagus lantas diperjualbelikan. Aura negatif malah lebih banyak dibandingkan positif; seorang anak bisa “berpacaran” online, mengunggah pornografi, maupun memotret diri sendiri dalam bentuk tak sopan. Sedangkan pada anak ponsel low end, mereka hanya mampu menerima telepon maupun pesan singkat saja. Memang ada dampak negatif dari ponsel low end seperti telepon sepanjang hari bersama pacarnya. Tetapi semua hal itu dapat dikendalikan oleh orang tua. Apakah orang tua sudah mempertimbangkan masak-masak saat memberikan ponsel high end kepada anak mereka?

Orang tua memiliki wewenang sangat penting dalam mengatur pola hidup anak. Orang tua dituntut untuk mengawasi setiap perbuatan anak selama terkoneksi dengan internet. Tidak ada larangan orang tua memberikan komputer dan ponsel high end asalkan dibimbing dan dikunci program-program tertentu sehingga anak hanya dapat mengoperasikan sebagian kecil dari program yang ada. Orang tua juga punya kekuasaan dalam memberi jadwal anak menggunakan fasilitas internet. Orang tua juga memiliki tanggung jawab menyimpan ponsel anak di luar batas kesepakatan tersebut. Dari batasan yang telah diberlakukan oleh setiap orang tua, anak akan mempelajari sendiri bahwa perintah orang tua akan pengaruh besar terhadap kehidupannya kelak.



Pendidikan Etika

Orang tua sudah terlanjur memanjakan anak, ditambah dengan isu hukum kekerasan terhadap anak maka makin memperkeruh suasana. Anak dibiarkan online sepanjang waktu, menerima banyak pengetahuan positif dan negatif. Orang tua terlelap, anak malah berinteraksi dengan dunia maya. Orang tua sibuk bekerja, anak sibuk mengutak-atik media sosial tanpa pernah didampingi. Akhirnya, mudah saja anak melontarkan makian dan mengupload foto-foto tidak sopan ke media sosial. Orang tua masa kini seakan sudah melupakan bahwa anak masih butuh banyak bimbingan dan arahan. Pendidikan di sekolah hanya terpaku pada teori-teori keilmuan yang kemudian mendapatkan nilai kelulusan. Pendidikan tak tertulis (etika) malah sudah tergadaikan dengan standar kelulusan itu sendiri.

Kembali ke kasus tukang sate yang polos, di mana etikanya saat memasang wajah Jokowi pada pemeran film porno? Inilah yang di manakan krisis kesopanan. Orang yang terbiasa membayangkan dan melakukan hal-hal negatif, sepanjang waktunya akan mengerjakan hal yang sama. Orang yang tidak memikirkan perbuatan asusila seperti itu maka tak pernah disentuhnya.

Nilai etika adalah bagian terpenting untuk seorang Muhammad Arsyad dan kita semua. Netizen berhak membela supaya tersangka tidak tersentuh hukum, tetapi perbuatannya harus diberi pelajaran. Nahas bagi pelaku karena berhubungan dengan Jokowi sebagai presiden, kemudian dilaporkan oleh PDIP, melalui Eva Sundari mereka mengatakan bahwa pelaporan ini benar mengingat bukan bully yang diterima Jokowi melainkan sebuah penghinaan. Jika tidak dilaporkan maka di kemudian hari semakin banyak pelaku lain melakukan tindakan yang sama. (Merdeka.com, online). Toh, tidak ada jeratan hukum. Kata-kata sudah tak mempan melawan pemerintah saat ini. Lalu, bisa jadi fans Ariel Noah menghujat pengadilan karena sang penyanyi pernah terjerat kasus yang sama lantas dipenjara.

Dari sinilah pendidikan etika mengajarkan semuanya. Terkadang kita terlalu mudah merendahkan orang lain tanpa memperhatikan diri sendiri. Melihat kejelekan orang lain adalah suatu kewajaran. Padahal dari semua itu, kita dituntut untuk bertata krama baik di lingkungan nyata maupun maya. Mengusik kehidupan orang lain, lalu menjelaskan kejelekan tersebut kepada orang lain lagi, inilah tindakan teramat tak terdidik. Jika terus dibiarkan tanpa diberi pelajaran, apa yang terjadi pada generasi muda bangsa ini?




Sumber : http://ift.tt/1EkLtlR

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz