Suara Warga

Tidurnya Adrian Napitulu Jangan Lebay Menyikapinya

Artikel terkait : Tidurnya Adrian Napitulu Jangan Lebay Menyikapinya

Sewaktu aku kerja menglola Copy Center, aku selalu menginjinkan anak buahku yang minta istirahat sejenak -15-30 menit- karena lelah bekerja. Bagiku tidak masalah karena aku tahu lelahnya kerja itu sangat terasa kalau konsumen lagi ramai. Aku juga beberapa kali tanpa sadar tertidur di bus transjakarta yang jalannya bergelombang dan berisik karena badanku terasa sangat lelah, bahkan pernah kelawatan haltenya. Biasanya aku tertidur karena malamnya aku kurang tidur. Dan banyak juga orang yang secara tidak sadar tertidur karena kelalahan bekerja di tempat-tempat tertentu seperti bus transjakarta.

Begitu juga dengan tidurnya Adrian Napitupulu, menurutku jangan terlalu lebay juga cara menyikapinya. Coba perhatikan saat adrian tidur, banyak kursi anggota DPR yang kosong, ada anggota DPR yang duduk juga tidak fokus pada sebuah rapat tapi sibuk dengan tingkahnya sendiri. Bisa jadi situasi saat itu rapat sudah selesai atau sedang diskor (istirahat).

Jadi, kita jangan terlalu lebay juga memvonis Adrian Napitulu Cuma pinter ngomong. Memang idealnya jika ada anggota DPR/DPRD yang merasa lelah mengikuti rapat untuk pergi istirahat ke luar ruangan. Mungkin anggota Dewan yang tertidur itu terlalu memaksakan diri memilih ikut rapat meski tubuhnya sangat lelah sehingga saat rapat berlangsung secara tidak sadar terlelap di ruang sidang, bukan karena ingin tidur di ruang sidang.

Orang baik itu selalu berbuat baik dan punya kebiasaan baik. Sebagai manusia normal dan biasa, tetap saja mereka tidak akan luput dari kesalahan dan khilaf. Hanya saja kesalahan dan khilaf orang baik lebih sedikit dari pada perbuatan baiknya. Berbeda dengan orang buruk, jika ia di media dan TV terlihat baik tetap saja prilaku buruk dan kebiasaan buruknya akan terbongkar dengan sendiri.

Jadi, mari kita lihat ke depan, apakah Adrian Napitupulu hanya sosok aktivis yang Cuma pinter beretorika dan berdemo? Termasuk anggota DPR lainnya. Biarlah waktu yang membuktikan, kebiasaan buruk mereka pasti terlihat dari keseharian mereka di hari hari berikut dan tentu saja produk kinerja mereka sesuai tidak dengan apa yang mereka dengung dengungkan saat di media maupun kampanye.

oh ya aku punya pengalaman pribadi, dulu waktu SMA ketua kelas kami menurut pelatih upacara tidak cocok jadi pemimpin upacara kelas kami, teman-temanku 1 kelas spontan menunjuk aku jadi pengganti meski mereka juga tidak pernah lihat aku memimpin upacara dan aku juga menolak ketika ditunjuk jadi ketua kelas. Tetapi karena aku merasa mampu, aku bersedia menggantikan dan upacara berlangsung sukses dan aku dapat pujian banyak orang karena suaraku lantang dan panjang saat memimpin upacara.

Aku non partai. Waktu pemilu kemarin aku nyumbang 1/3 penghasilanku untuk caleg Gerindra (teman FB) yang aku anggap baik di daerah dan 1 tahun membantu caleg DPRD DKI JAKARTA dari gerindra melakukan sosialisasi dari rumah ke rumah seorang diri mencerdaskan masyarakat untuk milih caleg bukan krn uang tetapi karena kualitas si caleg. Tapi sekarang, aku tidak pro Gerindra, PDIP atau partai lain, aku objektif aja melihat sesuatu, benar katakan benar, salah katakan salah, kritis itu wajib, tapi jangan lebay dan terlalu mendramatisir masalah-masalah kecil.

Pesannya adalah, jika orang lain kita anggap tidak mampu bekerja dengan benar seperti yang kita harapkan, maka kitalah seharusnya tampil ke depan menggantikannya. Dalam artian, jika kita kita tidak ingin punya wakil rakyat yg buruk, maka berbuat lebih atau tepatnya ikut menyumbang –uang,tenaga,pikiran- atau berpartisipasi langsung ketika pemilu nanti menjadikan kita jika mampu atau orang lain yg kita anggap baik masuk ke dalam sistem agar produk dari wakil rakyat maupun pemimpin kita juga baik.

KALAU HIDUP CUMA BISA MENGEMBEK, KAMBING SUDAH MELAKUKAN SEJAK JAMAN PARA NABI.




Sumber : http://ift.tt/1z3oI2B

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz