Tentang 11 Perempuan di Sekitar Presiden Jokowi
Satu fakta yang tak bisa dielak dari keberadaan Joko Widodo dalam perjalanannya menuju kursi kekuasaannya dan menjalankan pemerintahannya adalah keberadaan 11 orang perempuan di sekelilingnya. Para perempuan tersebut menjadi sosok-sosok yang sangat menentukan, tak hanya kemarin atau hari ini saja, melainkan hingga akhir perjalanan kekuasaannya. Ke-11 perempuan itu akan menjadi kekuatannya. Mereka akan menorehkan sejarah bersama presiden ketujuh Republik Indonesia tersebut. Lalu, siapa sajakah mereka, bagaimana memaknai keberadaan para perempuan itu, dan kekuatan apa yang ada pada mereka?
Tepikan saja sejenak siapa saja sosok-sosok perempuan itu tanpa menepikan andil ke-11 perempuan itu dari presiden Indonesia yang akrab dikenal dengan panggilan Jokowi. Lantaran ada hal yang lebih penting dari sekadar nama-nama itu, yakni makna dari keberadaan mereka. Itu adalah sesuatu yang lebih berada di sisi nilai, prinsip, sekaligus filosofi.
Perempuan harus diakui adalah ibu kehidupan. Dari mereka kehidupan manusia berawal, lewat rahim mereka, dan kekuatan kelembutan yang terdapat pada mereka sehingga sejarah manusia bisa berjalan hingga ribuan tahun.
Meski begitu, melihat perempuan tak melulu soal seberapa cantik mereka, terutama perempuan yang berada di lingkaran Jokowi ini. Melainkan lebih pada kekuatan dan potensi yang mereka miliki dan yang mereka berikan. Sederhana saja, secara kacamata umum, jamak dipercaya bahwa kesuksesan seorang lelaki kerap kali sangat ditentukan oleh perempuan yang bersamanya. Apalagi jika perempuan tersebut mencapai 11 orang dengan berbagai kelebihan yang mereka punya, tentu saja tak mudah membayangkan dampak apa yang kelak bisa dihadirkan dengan keberadaan mereka.
Paling tidak, keberadaan para perempuan itu, satu sisi menjelaskan seperti apa wajah pemerintahan yang sedang dijalankan oleh Jokowi saat ini. Bahwa ia bukanlah lelaki yang semata-mata mengandalkan sisi maskulinitas dalam kepemimpinan. Ini salah satu poin penting dari itu semua.
Jelas saja, lantaran pemerintahan yang hanya mengandalkan sisi maskulinitas, cenderung keras dan kaku, plus lebih berpotensi merusak, alih-alih berharap menghidupkan dan mengembangkan. Sejarah telah mencatat sangat banyak pemerintahan model begini yang cenderung mengandalkan sudut pandang, serang dan taklukkan.
Dengan pemerintahan yang maskulin, Hitler hadir. Tongkat maskulinitas juga yang mencatat sosok seperti Mussolini dan berbagai pemimpin yang pernah ada dalam sejarah dunia, yang cenderung terlihat keras dan sangar. Bahkan negara seperti Amerika Serikat pun memiliki sosok dengan karakter pemerintahan seperti ini, misal saja–sepakat tak sepakat–seperti yang ditampilkan George Washington hingga George Walker Bush, dan konon Barack Obama pun sedikitnya memiliki ciri pemerintahan seperti ini (maskulin).
Apakah pemerintahan maskulin benar-benar buruk? Memang, tak sepenuhnya begitu. Sebab karakter pemerintahan dan berkuasa seperti ini terkadang dibutuhkan, entah karena alasan untuk tidak menjadi sasaran agresi lawan, atau juga supaya pemerintahan itu lebih terlihat berwibawa dan ditakuti lawan.
Namun itu juga masih bisa dipertanyakan kembali, apakah sebuah pemerintahan dan kekuasaan yang mengikutinya memang harus ditakuti lawan?
Saya kira tidak. Yang dibutuhkan oleh seorang pemimpin bukanlah ia harus menjadi sosok ditakuti, karena hal ini cenderung hanya membuat dunia luar menjauh. Korea Utara adalah salah satu negara yang sedang membentuk diri seperti ini, meski belum sepenuhnya.
Soal wibawa, tak melulu akan hadir karena mampu membuat banyak pihak takut kepadanya. Sebab wibawa lebih sebagai dampak yang diterima, sebagai penghormatan. Berpikir bahwa untuk berwibawa, maka satu pemerintahan atau bahkan seorang individu harus ditakuti, maka saya pikir ini tak lebih dari satu pemujaan berlebihan pada insting hewani. Ya, sebab, hewan melata seperti ular, atau hewan buas seperti macan dan singa, tanpa akal dan budi pun ditakuti bahkan oleh manusia. Itu terang saja bukanlah wibawa. Mereka cukup hanya mengandalkan bisa, cakar, dan taring, dan merekapun ditakuti.
Sementara pemerintahan adalah bagian yang tak terelak dari kehidupan manusia sendiri yang di sana mereka memiliki kebutuhan untuk berorganisasi, berkumpul, atau berkelompok di dalam suatu wadah yang disebut negara. Di sini, yang menjadi pemerintah adalah manusia, dan yang menjadi sasaran pemerintahan itu pun manusia. Maka, mengandalkan sudut pandang humanis daripada insting hewani, saya kira jauh lebih tepat dan sudah semestinya seperti itu.
Ketika melihat pemerintahan sebagai sesuatu yang berkait erat dengan manusia, maka di sini lagi-lagi akan terketemukan suatu titik kebutuhan terhadap “ruh seorang ibu/perempuan”. Sebab mereka cenderung telaten, penyayang, pengertian, pengasih, dan menumbuhkan. Sehingga, saat suatu pemerintahan memiliki sisi ini di dalamnya, maka potensi untuk pemerintahan itu berdiri dan tegak dengan nilai-nilai yang menghidupkan dan menumbuhkan, saya pikir, jauh lebih berpotensi hal itu terjadi.
Ya, mungkin ini bisa disebut sebagai pemerintahan yang feminin, yang berseberangan dengan pemerintahan maskulin.
Lalu, apakah pemerintahan dengan ciri feminin identik dengan kelemahan? Pertanyaan ini, bisa dijawab dengan pertanyaan lainnya lagi, apakah bisa dikatakan lemah jika kehidupan pun datang dari suatu nilai feminin?
Jika itu terjawab, maka saya kira pemerintahan dengan ciri feminin takkan lagi dikatakan sebagai pemerintahan yang lemah dan tak berdaya.
Seorang Julius Caesar bisa takluk oleh Cleopatra. Atau lebih dekat tentara kolonial Belanda bisa dibuat gemetar oleh keberadaan Cut Nyak Dhien, Martha Tiahahu, dan banyak perempuan-perempuan bermental baja lainnya. Sebagai gambaran, bahwa kelemahan bukanlah identik dengan apakah seseorang itu lelaki atau perempuan, tapi ini lebih pada sesuatu yang bersifat non fisik, lebih pada sesuatu yang disebut sebagai ruh.
Mengaitkan lagi dengan Jokowi, ia jamak diketahui sebagai figur pemimpin yang acap sekali mengakui kedekatan dirinya dengan ibunya, satu dari 11 perempuan yang mengitarinya. Bahkan dalam salah satu buku tentangnya yang pernah saya baca, sejak ia menjadi pengusaha, dalam mengambil keputusan penting dan genting sekalipun maka salah satu rujukannya adalah pendapat ibunya sendiri.
Dalam salah satu pengakuannya, ia pernah mengatakan, memang ia pernah mencoba berspekulasi dengan mencoba melakukan keputusan di luar yang disarankan ibunya. Apa yang kemudian terjadi, tak lain berupa hasil buruk yang mengecewakan dirinya. Itu terjadi ketika ia masih menjalankan pekerjaannya sebagai pengusaha meubel.
Perempuan lainnya yang tak kalah penting adalah istrinya sendiri, Iriana. Apa yang menarik dari sosoknya, bukan sekadar bahwa ia memang bisa dikatakan cantik. Melainkan karena memang ia merupakan perempuan yang terlihat sangat berhati-hati, sederhana, dan terlihat berkarakter.
Sepanjang ia muncul di depan publik sebagai pendamping Jokowi, nyaris tak ada hal yang berbau sensasi yang ia lakukan. Tak ada hal yang mengundang kehebohan yang menjadi gunjingan publik–kecuali dari pihak rival politik suaminya saja. Ia hemat bicara, dan terlihat gesit bekerja. Ia mampu berjalan cepat, dan mampu mengikuti irama suaminya yang kini memimpin negara sebesar Indonesia.
Perempuan lainnya di sekitar Jokowi yang juga akan berpengaruh penting adalah Megawati Soekarnoputri sebagai ‘promotor’ untuk Jokowi bertarung di kancah politik. Terlepas beberapa hal dari dirinya saat masih berkuasa dulu, tapi mau tak mau harus diakui, ia berandil besar memuluskan langkah Jokowi ke pentas teratas di pemerintahan Indonesia. Bukan soal uang, tidak juga tentang iming-iming lain, melainkan sumbangan berupa transfer pemahaman, bahwa negeri ini akan lebih baik jika memiliki pemimpin seperti figur Jokowi.
Megawati juga membantu Jokowi lewat massa yang mampu ia gerakkan, pendukung partainya yang telah berdiri puluhan tahun di Indonesia, PDIP–walaupun pendukung Jokowi tak semua berasal dari partai ini. Ruh perempuan yang dimiliki Megawati, sedikitnya akan menjadi energi lainnya yang akan memengaruhi sosok Jokowi. Ini tentunya bukan hal-hal sesempit tudingan beberapa pihak, bahwa Mega tak ubahnya nyonya besar bagi presiden tersebut. Sebab, ini bukan soal pekerjaan mengurus rumah tangga, melainkan persoalan yang berhubungan dengan negara.
Selain itu? Keberadaan delapan menteri perempuan di dalam pemerintahan eks wali kota Solo tersebut. Jumlah sebanyak itu di dalam sebuah kabinet pemerintahan, bukanlah jumlah yang bisa disebut kecil. Sebab tak banyak negara yang memberi ruang sebesar ini di posisi menentukan dalam sebuah pemerintahan.
Apa yang menjadi keistimewaan dari sisi ini? Karena dengan delapan menteri perempuan itu, setidaknya mereka bisa mengimbang mindset maskulin yang terdapat di dalam kabinet tersebut. Apalagi pos-pos yang ditempati para menteri dari kalangan perempuan ini bukanlah pos-pos pelengkap saja. Melainkan di sana mereka diberikan beban yang tidak ala kadar. Puan Maharani berada posisi menteri koordinator, sedangkan tujuh lainnya memegang wewenang di pos yang juga tidak kecil.
Sebut saja Retno Lestari yang menempati posisi Menteri Luar Negeri, ada berapa kali sepanjang sejarah republik ini terdapat Menlu dari kalangan perempuan? Tidak pernah ada, kecuali saat ini. Kemudian Menteri Kelautan dan Perikanan yang dijabat Susi Pudjiastuti, yang populer dengan ciri khas dalam kepribadian dan gebrakan-gebrakannya. Pun belum ada sejarah sepanjang republik ini berdiri, terdapat perempuan di kementerian ini.
Seperti juga Menteri BUMN yang dipercayakan kepada Rini M. Soemarno, pun bukanlah hal yang lazim di berbagai rezim kekuasaan yang pernah ada. Berikut Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup yang di sana terdapat Siti Nurbaya, perempuan Betawi yang memiliki track record tidak sederhana dan kini harus memikirkan masalah tak sederhana soal banyaknya kemelut di bidang yang sedang diembannya.
Menteri Peranan Wanita, dijabat mutiara Papua, Yohana Yambise. Pertama kali perempuan asal daerah tersebut berada di kursi menteri. Ini tidak saja sebuah terobosan dari Jokowi dalam menyusun skuat pemerintahannya. Tapi ini juga penghargaan besar kepada perempuan Papua secara keseluruhan. Bahwa, Papua bukanlah tempat yang tertinggal dari sisi potensi manusianya, namun di sana terdapat banyak masyarakat berpotensi besar, tak terkecuali dengan perempuan.
Berikut Khofifah Indar Parawansa, sosok yang telah kenyang dengan pertarungan politik, berpembawaan tenang, dan lincah dalam berdiplomasi ini menempati posisi Menteri Sosial. Dengan pemahamannya yang baik tentang nilai religiusitas yang menekankan pentingnya perhatian kepada masyarakat terutama di level akar rumput, bukan tak mungkin akan ada banyak terobosan yang bisa dia lakukan.
Kemudian Nila F. Moeloek sebagai Menteri Kesehatan, menjadi perempuan Indonesia lainnya yang menjadi pendamping Jokowi menjalani pemerintahan. Sebagai perempuan dan sebagai seorang ibu, ia tentu saja bisa mentransformasikan nilai keibuan dalam kebijakan-kebijakannya di masa depan, untuk membuat rakyat negaranya sehat dan kuat. Sehingga membentuk komunitas masyarakat yang kuat, seperti seorang ibu yang berusaha keras menjaga anak-anaknya untuk tetap terjaga kesehatannya.
Di sanalah, 11 perempuan itu akan terus membawa pengaruh, langsung dan tak langsung dalam perjalanan pemerintahan Jokowi yang dalam debutnya sebagai presiden memimpin bersama Jusuf Kalla. Maka itu, sebagai salah satu di antara ratusan juta rakyat negeri ini, saya pribadi memiliki harapan besar, negara ini akan bisa berkembang sebagaimana seorang bayi yang tertatih-tatih berjalan, hingga mampu berlari mengejar semua mimpi agar terealisasi. Ya, seperti halnya dilakukan seorang ibu! (Twitter: @ZOELFICK)
Sumber : http://ift.tt/1qspcKv