Pengangkatan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta
Polemik pengisian jabatan Gubernur DKI Jakarta sudah berakhir. Setelah Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan surat keputusan perihal pengangkatan Basuki Purnama untuk menggantikan Gubernur Joko Widodo yang mengundurkan diri per 16 Oktober 2014. Surat Keputusan nomor 121.32/4438/OTDA menjadi dasar hukum mekanisme pengangkatan Basuki Purnama sebagai Gubernur DKI Jakarta dengan sisa masa jabatan tahun 2012-2017. Kementrian Dalam Negeri mengatakan bahwa dikeluarkannya surat keputusan tersebut setelah mendapat rekomendasi dari Mahkamah Agung (sumber).Namun demikian, masih terdapat beberapa pertanyaan yang timbul dari proses sebelum dikeluarkannya surat keputusan itu. Dan pertanyaan setelah dikeluarkannya surat keputusan tersebut. Beberapa pertanyaan itu akan coba saya jawab menurut pendapat pribadi.
A. KETIDAKTAHUAN HUKUM
Ketegangan yang terjadi antara Basuki Purnama sebagai Plt. Gubernur, Djohermansyah Johan (Dirjen Otda Kemendagri) dan M.Taufik (Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta) berkaitan dengan dasar hukum yang digunakan. Awalnya M. Taufik merujuk pada UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Basuki Purnama menggunakan UU. No. 29 tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan Djohermansyah Johan menggunakan Perppu No. 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Jika demikian, apakah terjadi dualisme hukum? Perundang-undangan mana yang dipergunakan untuk menjamin kepastian hukum.
Apabila membaca tiga perundang-undangan secara keseluruhan, tidak terjadi dualisme hukum. Memang sampai sekarang Indonesia masih ada dualisme hukum terutama antara hukum tidak tertulis dengan hukum tertulis. Contohnya dalam hal perkawinan, dua hukum tersedia: UU Perkawinan dengan hukum Islam. Atau tanah sebagai obyek kepemilikan, ada yang masih menggunakan hukum adat yang bertentangan dengan hukum perdata. Tetapi dalam perkara di atas, tidak terjadi dualisme hukum. Dasar hukum yang dipergunakan adalah Perppu No. 1 tahun 2014.
UU No. 32 tahun 2004 telah tewas dibunuh oleh UU No. 23 tahun 2014 (vide pasal 409 huruf b). Sebagaimana asas l ex posterior derogat legi priori . Hukum yang terbaru (posterior) mengesampingkan hukum yang lama (prior). Asas ini dinyatakan secara eksplisit dalam pasal 409 dengan kalimat “dicabut dan dinyatakan tidak berlaku”. Sedangkan UU No.23 tahun 2014 tidak mengatur mekanisme pengisian jabatan Gubernur yang kosong. Ketentuan tersebut diatur dalam UU No. 22 tahun 2014. Khususnya pasal 68 ayat (1) tentang Ketentuan Peralihan berbunyi “Dalam hal terjadi kekosongan gubernur, bupati, dan walikota yang diangkat berdasarkan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, wakil gubernur, wakil bupati, dan wakil walikota menggantikan gubernur, bupati, dan walikota sampai dengan berakhir masa jabatannya ”. Celakanya, UU No. 22 tahun 2014 juga tewas terbunuh oleh Perppu No. 1 tahun 2014 (vide pasal 205).
UU. No. 29 tahun 2007 memang bersifat khusus, peraturan perundang-undangan khusus, dari ketentuan UU No. 32 tahun 2004. Sebagaimana asas l ex specialis derogat legi generalis. Seperti UU ITE (UU No.11/2008) atas KUHP. Beberapa ciri khusus (kenmerk ) dari UU No. 27 tahun 2007 dapat dilihat pada syarat perolehan suara 50% dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur (vide Pasal 11 ayat (1)); adanya empat deputi pembantu Gubernur (vide pasal 14); dan jumlah anggota DPRD paling banyak 125% (vide pasal 12 ayat (4)). Sifat khusus ditegaskan dalam pasal 2 berkaitan dengan pemilihan kepala daerah. Namun demikian, UU ini tidak memuat norma pengangkatan secara khusus dan mekanisme pengisan jabatan Gubernur/Wakil Gubernur yang kosong. Ketentuan itu kembali kepada primary rules atau lex genaralis yakni UU No. 32 tahun 2004 yang telah diganti dengan UU No. 23 tahun 2014. Artinya dalam perkara diatas UU No. 29 tahun 2007 tidak relevan untuk dijadikan dasar hukum, sebab ketentuan yang berkait dengan mekanisme pengisian Gubernur/Wakil Gubernur yang kosong tidak diatur didalamnya. Sebagaimana sifat khusus dan ketentuan lain yang diakui dalam Pasal 399 UU No. 23 tahun 2014 dan pasal 199 Peppu No. 1 tahun 2014.
Saat Basuki Purnama berdalih menggunakan UU No. 29 tahun 2007 atau M.Taufik menggunakan UU No. 32 tahun 2004, seolah tidak mengetahui adanya produk hukum baru yakni Perppu No.1 tahun 2014, menandakan dua pejabat itu tidak tahu. Secara prinsip, dalam dunia hukum tidak dibenarkan seseorang “tidak tahu” apabila suatu produk perundang-undangan telah diundangkan. Dengan berlakunya produk perundang-undangan, maka setiap warga negara harus “dianggap tahu”. Dan tidak dapat mengelak dengan alasan “tidak tahu”. Dalam dunia hukum disebut asas Fictie Hukum. Dalam sistem hukum yang menganut hukum tertulis/civil law, asas seperti “Ignorare legis est lata culpa” atau fictie hukum yang memberikan amanat bahwa setiap orang dianggap telah mengetahui adanya suatu Undang-Undang yang telah diundangkan. Dengan kata lain, fiksi hukum menganggap semua orang tahu hukum (presumptio iures de iure). Dalam konteks Perppu No. 1 tahun 2014, fictie hukum tercantum dalam pasal 206 “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia ”. Telah tercatat dalam Lembaran Negara RI tahun 2014 Nomor 245 dan Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 5588. Tetapi masalahnya menjadi berbeda, antara “tidak tahu” dengan “tidak mau tahu”. Saya kira para pejabat banyak yang tahu tapi sikap dan pendapat yang diambil karena tidak mau tahu.
B. PENERAPAN PERPPU
Basuki Purnama otomatis menjadi Gubernur pengganti berdasarkan Perppu No. 1 tahun 2014 pasal 203 ayat (1) : Dalam hal terjadi kekosongan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang diangkat berdasarkan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, wakil gubernur, Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota menggantikan Gubernur, Bupati, dan Walikota sampai dengan berakhir masa jabatannya . Pasal ini sama persis dengan pasal 68 ayat (1) UU No. 22 tahun 2014 yang telah dicabut oleh Perppu No. 1 tahun 2014.
Walaupun demikian masih ada pendapat yang mengatakan “Jokowi dan Ahok dipilih berdasarkan UU No. 29 tahun 2007 bukan berdasarkan UU No. 32 tahun 2004. Jadi pasal 203 ayat (1) Perppu itu tidak bisa diterapkan”. Pendapat itu nampak mencampuradukan ketentuan tentang PEMILIHAN dengan PENGANGKATAN. Padahal pasal 203 ayat (1) bicara tentang Pengangkatan bukan Pemilihan. Pengangkatan Joko Widodo dan Basuki Purnama sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur melalui Surat Keputusan Presiden (Kepres) tanggal 8 Oktober 2012. Sebagaimana ketentuan pasal 109 ayat (1) UU No. 32 tahun 2004 “Pengesahan pengangkatan pasangan calon Gubernur dan wakil Gubernur terpilih dilakukan oleh Presiden selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari” . Dilanjutkan dengan pelantikan oleh Mendagri pada tanggal 15 Oktober 2012, sesuai pasal 111 ayat (1) UU No. 32 tahun 2004 “ “Gubernur dan wakil Gubernur dilantik oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden”.
Pendapat bahwa pemilihan Joko Widodo dan Basuki Purnama menggunakan UU No. 29 tahun 2007 tidak sepenuhnya benar. UU ini hanya mengatur secara khusus tentang syarat perolehan suara 50% calon Gubernur dan Wakil Gubernur (vide pasal 11 ayat (1)). Sedangkan tata cara penyelenggaraan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur menggunakan UU No. 32 tahun 2004. Khususnya Bagian Kedelapan pasal 56 sampai pasal 119 UU No.32 tahun 2004. Terkecuali, pasal 107 ayat (2) UU No. 32 tahun 2004 dikesampingan oleh pasal 11 ayat (1) UU No. 29 tahun 2009. UU No. 32 tahun 2004, menentukan syarat perolehan suara 25% dikesampingan oleh syarat perolehan suara 50% dalam aturan khusus di UU No. 29 tahun 2009. Jadi Pemilihan Joko Widodo dan Basuki Purnama tahun 2012 menggunakan UU No. 32 tahun 2004, Khusus tentang syarat perolehan suara 50% menggunakan UU No. 29 tahun 2007. Itu saja yang menjadi kekhususannya.
Masalahnya apakah Pemerintah Daerah (DPRD dan Pemda DKI Jakarta) dapat langsung mengacu kepada Perppu ? Padahal dalam penerapan otonomi daerah baik desentralisasi maupun dekosentrasi, Pemda dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya selain berpedoman pada undang-undang juga berpedoman pada kebijakan operasional berupa Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) yang ditetapkan Pemerintah sebagai tatanan, patokan, dasar, dan acuan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. NSPK yang dimaksud dapat berupa peraturan pemerintah, peraturan presiden, ataupun peraturan menteri/lembaga tinggi lainnya.
Sebagai contoh, untuk menjalankan UU No. 32 tahun 2004, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. PP inilah yang dipergunakan oleh semua pemerintahan daerah sebagai pedomannya. Tak terkecuali Pemda DKI Jakarta, pada tahun 2012 menggunakan PP No.6 tahun 2005 untuk menjalankan mekanisme pengangkatan Joko Widodo dan Basuki Purnama sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta. Artinya tidak serta merta pemerintah daerah langsung berpedoman kepada UU, namun harus menunggu terbitnya Peraturan Pemerintah.
Pertanyaan selanjutya, dapatkah pemerintah (Presiden) menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) untuk menjalankan Perppu? Padahal per definisi Peraturan Pemerintah adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya (vide Pasal 1 ayat 5 UU No. 12 tahun 2011). Secara limitatif disebutkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang. Sedangkan Perppu bukan (atau belum menjadi) undang undang.
Salam Kompasiana.
Sumber : http://ift.tt/1tsj0al