Pembubaran BP 7 Sebuah Kesalahan Sejarah
Kini masyarakat sudah jenuh melihat dinamika sosial politik yang kebablasan di negeri ini. Rakyat lambat namun pasti ingin kembali kepada nilai-nilai luhur bangsa. Ideologi dunia yang berkembang pada era globalisasi dirasa tidak sesuai dengan kepribadian bangsa. Rakyat mulai capek disguhi tayangan televise yang mempertontonkan konflik sosial di akar rumput maupun konflik para elite politik yang terus ber episode. Bahkan ada sebagian masyarakat yang mulai rindu pada jaman Orde Baru dibawah era pak Harto. Mungkin bukan pak Harto sebagai sebagai sosoknya karena telah tiada, namun nilai-nilai positif dari kepemimpinannya yang mesti diambil dan dilestarikan. Salah satunya adalah pengamalan Pancasila yang dilakukan secara sistematik di pendidikan sekolah dibawah koordinasi BP 7 (Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila)
Dulu, pada era Soeharto, sejak 1970, potensi-potensi konflik horizontal seperti ini sudah ada. Namun, dengan langkah-langkah strategis pemerintah menjaganya. ABRI punya program Binter (Pembinaan Teritorial), di setiap desa ada Babinsa (Bintara Pembina Desa), dan di setiap tingkat pemerintahan ada Muspida (Musyawarah Pimpinan Daerah) yang terdiri dari Dandim/Pangdam, Kapolres/Kapolda, Bupati/ Wali Kota/Gubernur, Kepala Kejaksaan, Ketua Pengadilan, dan tokoh masyarakat lokal. Di tingkat pusat ada Kompkamtib (Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) yang menjaga agar tidak ada konflik SARA. Pengikatnya adalah Pancasila.
Untuk mengikat bangsa ini dengan Pancasila dibuatlah BP7, sebuah lembaga tinggi negara yang tugasnya menjaga ideologi Pancasila. BP7 bertugas merancang program-program penataran P4 (semua wajib ikut) dan mencetak instruktur-instruktur yang di tingkat nasional disebut Manggala. Suka atau tidak, kedua metode yang dilaksanakan bersamaan ini: metode koersif (Kompkamtib) dan persuasif (BP7), terbukti ampuh. Masyarakat hidup tenang, pembangunan maju pesat seakan terbang.
Namun, tahun 1998, ABRI (sekarang: TNI) disuruh masuk kandang dan BP7 dibubarkan dengan TAP MPR No XVIII/MPR/1998. Jadi, metode persuasi juga dilarang. Bahkan, asas tunggal Pancasila dihapuskan sama sekali. Semua orang boleh suka-suka menganut asas apa pun sehingga orang boleh saja saling bunuh demi agama, politik, atau kepentingan tertentu karena tidak ada lain yang benar, kecuali kebenaran diriku sendiri.
Pembubaran BP7 adalah tindakan MPR yang kebablasan karena eforia kala itu yang “mewajibkan” semua yang berbau Orde Baru harus dihilangkan. Padahal oh padahal Pancasila bukan identik Orde Baru atau Suharto, bahkan Pancasila sudah dibumikan sejak jaman Bung Karno tahun 1945.
Pancasila adalah nilai luhur bangsa yang lahir dalam keseharian kita. Di Pancasila ada asas Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, dan Persatuan Indonesia? Di kemanakan asas-asas itu? Di mana asas Musyawarah Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan dan Perwakilan serta Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia? Dalam keadaan tidak ada pengikat bangsa yang multimajemuk ini, tidak terjadi Bhinneka Tunggal Ika.
Hidupkan “BP7 Baru”
Bisa “Tunggal Ika” karena Pancasila mengikat dan menyatukan segala kemajemukan itu. Maka, saya pikir sudah saatnya kita hidupkan lagi BP7. Tentunya metode-metode paksaan seperti indoktrinasi P4 tidak lagi dipakai. Sekarang fungsi BP7 adalah menyusun strategi guna mendayagunakan institusi dan pranata masyarakat (LSM, perkumpulan, agama, pemerintah, adat, swasta, dan lain-lain) untuk menegakkan Pancasila. BP7 juga bertugas untuk mengingatkan semua pihak jika ada praktik-praktik ataupun kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan Pancasila.
BP7 yang baru harus menyusun program sesuai dengan nuansa jaman. Terbebas dengan indkotrinasi dan pola-pola birokrat yang cenderung menggurui atau mendikte. Program pendidikan Pancasila dilaksanakan dengan kreatif edukatif dan melibatkan partisipasi siswa. Penerapan kemajuan teknologi juga dikembangkan dalam kerangka penyebarluasan pengamalan nilai Pancasila. BP7 yang baru apapun namanya merupakan sebuah training center yang mencetak generasi penerus berkarakter Pancasila. Semoga pemerintahan Jokowi-JK, yang sering nyaring mengumandangkan “Lagu” Pancasila saat kampanye mewujudkan lembaga penggemblengan moral ini sebagai bagian dari Revolusi Mental.
(DP/ berbagai sumber)
Sumber : http://ift.tt/1ywj8IT
Dulu, pada era Soeharto, sejak 1970, potensi-potensi konflik horizontal seperti ini sudah ada. Namun, dengan langkah-langkah strategis pemerintah menjaganya. ABRI punya program Binter (Pembinaan Teritorial), di setiap desa ada Babinsa (Bintara Pembina Desa), dan di setiap tingkat pemerintahan ada Muspida (Musyawarah Pimpinan Daerah) yang terdiri dari Dandim/Pangdam, Kapolres/Kapolda, Bupati/ Wali Kota/Gubernur, Kepala Kejaksaan, Ketua Pengadilan, dan tokoh masyarakat lokal. Di tingkat pusat ada Kompkamtib (Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) yang menjaga agar tidak ada konflik SARA. Pengikatnya adalah Pancasila.
Untuk mengikat bangsa ini dengan Pancasila dibuatlah BP7, sebuah lembaga tinggi negara yang tugasnya menjaga ideologi Pancasila. BP7 bertugas merancang program-program penataran P4 (semua wajib ikut) dan mencetak instruktur-instruktur yang di tingkat nasional disebut Manggala. Suka atau tidak, kedua metode yang dilaksanakan bersamaan ini: metode koersif (Kompkamtib) dan persuasif (BP7), terbukti ampuh. Masyarakat hidup tenang, pembangunan maju pesat seakan terbang.
Namun, tahun 1998, ABRI (sekarang: TNI) disuruh masuk kandang dan BP7 dibubarkan dengan TAP MPR No XVIII/MPR/1998. Jadi, metode persuasi juga dilarang. Bahkan, asas tunggal Pancasila dihapuskan sama sekali. Semua orang boleh suka-suka menganut asas apa pun sehingga orang boleh saja saling bunuh demi agama, politik, atau kepentingan tertentu karena tidak ada lain yang benar, kecuali kebenaran diriku sendiri.
Pembubaran BP7 adalah tindakan MPR yang kebablasan karena eforia kala itu yang “mewajibkan” semua yang berbau Orde Baru harus dihilangkan. Padahal oh padahal Pancasila bukan identik Orde Baru atau Suharto, bahkan Pancasila sudah dibumikan sejak jaman Bung Karno tahun 1945.
Pancasila adalah nilai luhur bangsa yang lahir dalam keseharian kita. Di Pancasila ada asas Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, dan Persatuan Indonesia? Di kemanakan asas-asas itu? Di mana asas Musyawarah Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan dan Perwakilan serta Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia? Dalam keadaan tidak ada pengikat bangsa yang multimajemuk ini, tidak terjadi Bhinneka Tunggal Ika.
Hidupkan “BP7 Baru”
Bisa “Tunggal Ika” karena Pancasila mengikat dan menyatukan segala kemajemukan itu. Maka, saya pikir sudah saatnya kita hidupkan lagi BP7. Tentunya metode-metode paksaan seperti indoktrinasi P4 tidak lagi dipakai. Sekarang fungsi BP7 adalah menyusun strategi guna mendayagunakan institusi dan pranata masyarakat (LSM, perkumpulan, agama, pemerintah, adat, swasta, dan lain-lain) untuk menegakkan Pancasila. BP7 juga bertugas untuk mengingatkan semua pihak jika ada praktik-praktik ataupun kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan Pancasila.
BP7 yang baru harus menyusun program sesuai dengan nuansa jaman. Terbebas dengan indkotrinasi dan pola-pola birokrat yang cenderung menggurui atau mendikte. Program pendidikan Pancasila dilaksanakan dengan kreatif edukatif dan melibatkan partisipasi siswa. Penerapan kemajuan teknologi juga dikembangkan dalam kerangka penyebarluasan pengamalan nilai Pancasila. BP7 yang baru apapun namanya merupakan sebuah training center yang mencetak generasi penerus berkarakter Pancasila. Semoga pemerintahan Jokowi-JK, yang sering nyaring mengumandangkan “Lagu” Pancasila saat kampanye mewujudkan lembaga penggemblengan moral ini sebagai bagian dari Revolusi Mental.
(DP/ berbagai sumber)
Sumber : http://ift.tt/1ywj8IT