Sengkarut Turunan UU Pemerintahan Aceh
PEMBAHASAN terkait implementasi Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh melalui beberapa Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden (Perpres) yang belum tuntas, seakan berbelit-belit dan tiada habisnya. Betapa tidak, hingga kini Pemerintah Aceh sibuk menuntut dan menyalahkan Pemerintah Pusat berkenaan dengan berlarut-larutnya pengesahan Rancangan 2 PP dan 1 Perpres sebagai turunan UU Pemerintahan Aceh.
Polemik beberapa turunan UU No. 11 Tahun 2006 semestinya tidak terus-menerus menjadi perbincangan, manakala Pemerintah Aceh bersama tim-nya tidak “mempersulit” pengesahan dengan penambahan klausul-klausul yang telah mengubah substansi yang tercapai antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh, tatkala Pemerintah Aceh di bawah pimpinan Irwandi Yusuf selaku Gubernur Aceh masa itu (2006-2011). Tetapi, pengesahan sejumlah turunan UU yang dimaksud, tertunda setelah Irwandi tidak lagi menjabat sebagai Gubernur Aceh. Dan, Pemerintah Pusat berharap agar dapat dituntaskan pada masa Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf yang terpilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh periode 2012-2017. Namun bukannya mempercepat. Malah sebaliknya, memperlambat proses yang telah memasuki tahap finalisasi.
KRONOLOGIS KENDALA DI BALIK UUPA
Kendala pengesahan UU Pemerintahan Aceh bermula sejak munculnya masalah krusial terkait pengesahan qanun (perda) tentang Lembaga Wali Nanggroe serta qanun tentang Bendera dan Lambang Aceh oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Kedua qanun kontroversial ini disahkan secara otoriter oleh para anggota parlemen Provinsi Aceh, yang didominasi fraksi Partai Aceh sebagai pencetus utama. Sebagaimana diketahui publik Aceh, partai Aceh merupakan partai politik lokal yang mayoritas kadernya berasal dari mantan separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pro Malik Mahmud, Zaini Abdullah, serta Muzakkir Manaf cs.
Maka tidak heran, bila produk legislasi yang dihasilkan oleh DPRA periode 2009-2014 cenderung memuat “kepentingan” kelompok belaka. Sehingga minim aspirasi masyarakat Aceh dari berbagai latar belakang. Dalam hal ini, yang paling menonjol adalah adopsi corak dan warna bendera Aceh yang sama persis dengan bendera separatis GAM. Tentu saja ini bertentangan dengan PP No. 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah.
Dalam Pasal 6 ayat (4) disebutkan bahwa: “Desain logo dan bendera daerah tidak boleh mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau organisasi/perkumpulan/lembaga/gerakan separatis dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Dalam penjelasannya: “Yang dimaksud dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau organisasi/perkumpulan/lembaga/gerakan separatis dalam ketentuan ini misalnya logo dan bendera bulan sabit yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Aceh, logo burung mambruk dan bintang kejora yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Papua, serta bendera benang raja yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Maluku.”
Seorang pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra, menyebutkan bahwa penyusunan qanun (perda) harus berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk Konstitusi Republik Indonesia, Yaitu UUD 1945. Pernyataan Yusril ini makin menguatkan asumsi publik di Aceh, yang menyebutkan bahwa mayoritas anggota DPRA tidak paham dengan tatanan hukum yang berlaku di Indonesia. Sehingga beberapa produk qanun (perda) yang dihasilkan pun tidak berkualitas dan cenderung “dipaksakan” pengesahannya. Dan, pada akhirnya dibatalkan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Seperti Qanun No. 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh, yang hingga kini belum disetujui dan masih “tersimpan” di Kemendagri.
FAKTOR PEMICU UTAMA
Sengkarut UU Pemerintahan Aceh yang berlarut-larut juga ditimbulkan oleh sikap “keras kepala” Pemerintah Provinsi dan DPR Aceh saat ini yang berhasrat ingin mengubah substansi RPP yang belum selesai. Hal inilah yang menghambat proses perampungan turunan UU Pemerintahan Aceh. Padahal Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Kewenangan Pemerintah, RPP tentang Minyak dan Gas (migas), serta Rancangan Peraturan Presiden tentang Peralihan Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) di Aceh, yang berada di Kemendagri hanya tinggal ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang pada 20 Oktober 2014 akan berakhir tugasnya sebagai Presiden Republik Indonesia.
Menurut Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, terkait pertanahan, Pemerintah Pusat telah berbesar hati memberi kewenangan bagi Pemerintah Provinsi Aceh mengelola 11 kewenangan. Termasuk Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB). Sementara daerah-daerah lain di Indonesia hanya diberikan 9 kewenangan. Namun, Pemprov dan DPR Aceh berkeinginan seluruh kewenangan pertanahan nasional yang berjumlah 21 item untuk dialihkan. Tidak cukup hanya 11 kewenangan. Sikap “serakah” inilah yang menjadi pemicu utama proses finalisasi mengalami kendala.
Menyangkut migas lepas pantai, Pemerintah Pusat memberikan pengelolaan 0-12 mil laut pada Provinsi Aceh. Sedangkan jarak 12-200 mil dikelola secara bersama-sama. Namun, Pemprov dan DPR Aceh berkeinginan untuk mengelola migas dari 0-200 mil laut. Sudah pasti ini bertentangan dengan substansi UU Pemerintahan Aceh yang memberikan kewenangan pengelolaan migas pada Pemprov Aceh yang berada di sekitar laut Aceh. Makna “di sekitar”, untuk jarak 0-12 mil tentu sangat logis. Sedangkan bila mencapai 200 mil, itu sudah masuk kategori laut dalam. Bukan lagi masuk dalam ruang lingkup “di sekitar” laut.
Senada dengan Gamawan Fauzi, hal serupa juga diungkapkan oleh Ketua Forum Komunikasi dan Koordinasi (FKK) Desk Aceh, Mayjen TNI (Purn) Amiruddin Usman, yang menyebutkan bahwa tuntutan Pemprov Aceh di era Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf (Zikir) terkait turunan UU Pemerintahan Aceh telah melampaui espektasi yang ada.
Jika sisa turunan UU Pemerintahan Aceh tidak dapat diselesaikan pada masa Presiden SBY, maka kemungkinan besar turunan yang dimaksud tidak akan pernah selesai. Apalagi Presiden terpilih Joko Widodo tidak “tersandera ” oleh MoU Helsinki. Dan, ia tidak memiliki utang budi menyelesaikan turunan UU Pemerintahan Aceh. Bila dikaitkan dengan hasil pemilu Presiden, perolehan suara yang unggul di Aceh adalah pasangan Prabowo-Hatta, bukan Jokowi-JK. Posisi tawar Aceh pun menjadi lemah.
Semua ini disebabkan oleh inkonsistensi Pemprov Aceh di era Zaini Abdullah-Muzakkir Manaf dan DPR daerah. Akhirnya bersikap “plin-plan”; nyoe han, jeh pih tan (ini tak mau, itu pun tak ada). Dituntut, juga ditolak. Hom hai!
Sumber gambar => siper.mmtc.ac.id (1), acehterkini.com (2)
Ruslan
Sumber : http://ift.tt/XBErbI