Suara Warga

MEMBANGUN DEMOKRASI DEWASA

Artikel terkait : MEMBANGUN DEMOKRASI DEWASA

`

MEMBANGUN DEMOKRASI DEWASA

Banyak orang yang tak tahu betapa harmonis hubungan semasa Presiden Soekarno dan Sjahrir. Kedua tokoh ini pergerakan ini sangat dekat sehingga sering ditahbis sebagai trisula tokoh revolusi Indonesia bersama Muhammad Hatta. Chairil Anwar bahkan merekamnya di dalam puisinya, Krawang Bekasi pada tahun 1948. Meski keduanya berangkat dari nafas nasionalisme dan sosialisme yang sama, sikap keduanya bagai langit dan kolong langit. Soekarno lebih kompromistis, sedangkan Sjahrir lebih revolusioner. Mereka kerap bersitegang dengan kata-kata keras dan ad hominem. Namun, hubungan mereka tak memburuk karena perdebatan. Pascakemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1945, ketika Soekarno menjadi presiden, Sjahrir pun dipromosikan sebagai Perdana Menteri. Ketika terjadi penculikan atas diri Sjahrir oleh kelompok oposisi pada tahun 1946, Soekarno marah dan memberi intruksi pada aparat keamanan untuk melepaskannya dan menangkap para pembangkang yang ada di tanah air ini.

Meskipun demikian, hubungan mereka tidak selalu berada pada frekuensi yang sama. Ketika Soekarno mulai menjadi diktator, Sjahrir yang juga pendiri Partai Sosialis Indonesia (PSI) marah dan ikut mensponsori pemberontakan pada tahun 1958. Soekarno memenjarakan Sjahrir dan membubarkan Partai Sosialis Indonesia. Tapi Soekarno tidak pernah dendam. Ketika Sjahrir sakit dan meninggal di Swiss pada 9 April tahun 1966, di hari yang sama Soekarno mengeluarkan SK Presiden di Jakarta untuk mengangkatnya sebagai Pahlawan Nasional. Demikian pula hubungan Soekarno dan Muhammad Natsir. Natsir sebagai pendiri Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) kerap berselisih tajam dengan Soekarno. Latar belakang ideologi yang berbeda menyebabkan sinisme antar keduanya bertemu bibir. Natsir juga memberontak kepada Soekarno. Soekarno pun memenjarakan mantan perdana menteri itu dan baru dilepaskan pada era Orde Baru. Namun ketika rezim Orde Baru berkuasa dan memburuk-burukkan Soekarno, tak jarang Natsir membela sang proklamator itu.

Sebagaimana refleksi itu jika melihat kondisi Aceh? Sangat jarang kita melihat ada sikap politikus di sini bisa menjaga harga diri dan tidak memburuk-burukkan rival politik dengan sarkastis dan berlebihan. Kita melihat ketika pemerintahan Irwandi-Muhammad Nazar berakhir, pemerintahan pengganti yang memenangi Pilkada tahun 2012 kerap menganggap penerusnya adalah rival terkutuk. Muncul sebuah gerakan deirwandisasi, yang mengganti hampir semua citra dan nomenklatur program kebijakan terdahulu. Demikian juga perseteruan Gubernur Zaini Abdullah dan Wakil Gubernur Muzakir Manaf saat ini. Siapa sangka pasangan pemenang Pilkada pada tahun 2012 yang saat itu kerap hadir mesra, kini berubah menjadi rival panas. Rivalitas sedemikian kerasnya, sehingga mudah terbaca oleh publik. Faktor pemicu, meskipun banyak, paling mengemuka adalah perbedaan preferensi politik saat Pilpres 9 Juli tahun 2014 lalu. Momentum itu membentuk dua kubah politik baru di Aceh, yang anehnya ketika bunga-bunga ucapan selamat kepada presiden terpilih telah lama layu dan pemilik menerima pembayaran. Makanya, ketika muncul aksi-aksi massa yang meminta Zaini untuk mundur dari kursi Gubernur, banyak hal yang tidak alamiah dan terkesan memaksa sepihak saja.

Saya termasuk tidak alergi dengan aksi demontrasi dan sangat anti dengan semangat fasisme. Rakyat harus mengingatkan penguasanya kadang-kadang dengan demonstrasi dan suara keras. Rakyat dan penguasa bukanlah sebuah ikatan jerami, yang tidak bisa dibedakan. Rakyat dan pemerintah adalah entitas yang berbeda pada fungsi dan eksistensi. Rakyat memiliki kemerdekaan sendiri untuk menyuarakan kehendaknya dan pemerintah adalah pelayan rakyat yang harus menunjukkan rasa hormat atas aspirasi itu. Namun, daulat rakyat memiliki derajat legitimasi yang tak begitu berbeda dengan daulat pemerintah daerah saat Orde Reformasi ini. Pemerintah daerah saat ini lahir dari rahim pilkada langsung sejak pemberlakuan UU No.32 Tahun 2004 dan di Aceh lahir UU No.11 Tahun 2006. Makanya representasi rakyat saat ini bukan hanya parlemen, tapi juga pemerintah lokal. Aspek konstitusionalisme itulah yang harus diperhatikan ketika melakukan gerakan demokratisasi atas nama demokrasi dan rakyat.

Secara demokratis, tuntutan rakyat untuk meminta kepala daerah yang tak baik untuk mundur adalah sah. Namun, secara konstitusional hasrat rakyat dibatasi oleh konstitusi yang berlaku. Penghentian kekuasaan pemerintah daerah berdasarkan UU No.32 Tahun 2004 Pasal 29 dan UU No.11 Tahun 2006 Pasal 48 dalam UU dibahasakan sebagai berikut: a) meninggal dunia b) mengundurkan diri c) diberhentikan karena: 1) berakhir masa jabatannya, 2) berhalangan tetap selama enam bulan berturut-turut, 3) tidak memenuhi syarat untuk menjadi kepala daerah, 4) melanggar sumpah/janji, 5) tidak menjalankan kewajibannya, 6) melanggar larangan kepala daerah. Dengan persyaratan konstitusional dan postur lembaga pemerintahan daerah yang dipilih langsung, proses pemakzulan kepada daerah tidak lah semudah sebelum era pilkada langsung. Representasi popular saat ini bukan saja Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) tapi juga gubernur. Gubernur dalam rezim pilkada bukan subordinasi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Bahkan dalam banyak hal posisi gubernur lebih kuat dibandingkan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).

Secara empiris, kepala daerah hanya akan mudah di-impeach apabila menjadi tersangka korupsi atau dibekuk KPK melalui operasi tangkap tangan seperti kasus suap atau pemerasan. Di luar itu, seburuk-buruk pemerintah daerah hanya akan berhenti ketika masa kekuasaannya selesai atau diberhentikan Tuhan. Inilah fatsun sekaligus komplikasi model pelembagaan demokrasi kita saat ini yang sedang berjalan. Representasi popular via pilkada langsung memiliki implikasi yang beberapa hal menjadi perangkap demokrasi. Satirisme yang muncul di tingkat publik, siapa suruh pilih kepala daerah bodoh dan yang banyak korupsi?. Pada beberapa aspek pilkada langsung dengan kultur dan literasi politik publik rendah bisa mematikan partisipasi dan menghidupkan oligarki. Lalu, terkait kisruh antara Gubernur dan Wakil Gubernur yang ada di Aceh saat ini, apakah pilihan meng-impeach gubernur merupakan solusi? Jauh panggang dari api. Gerakan aksi meminta gubernur turun bahkan bisa mengarah katastrofi politik yaitu pembentukan puak-puak primordialisme-etnisitas yang buruk. Belum lagi ego politik patriarkal yang hanya mau menang dan bukan benar. Istilahnya (Arang habis besi binasa).

Maka, apa yang dilakukan bersama kelompok sipil beberapa waktu lalu melihat situasi konflik gubernur dan wakil gubernur adalah memberikan ruang gagasan aternatif, yaitu menghentikan pertikaian tak berguna itu yang bisa dimanfaatkan oleh avonturir politik untuk mendulang keuntungan oleh segelintir kolompok saja. Aksi massa pun harus dilihat secara jernih apakah bagian dari gerakan sosial atau gerakan politik. Gerakan sosial mensyaratkan tindakan yang komunikatif, dan partisipatif, berbeda dengan gerakan politik yang sifatnya konspiratif, terbatas, penuh dengan agenda , dan pragmatis.

Apa yang harus dilakukan publik? Hampir tidak ada cara lain kecuali mengepung pemerintahan saat ini dengan kritik dan ide-ide perubahan. Kritik menjadi protein yang menyehatkan demokrasi, karena itulah kritik berbeda dengan menghina. Peradaban demokrasi akan menemukan kematangan dengan kritik dan punah oleh sikap keji dan menghina kemanusiaan.

Harus diakui, indeks pembangunan, kesejahteraan, dan keadilan di Aceh menunjukkan grafik yang jauh dari ideal. Jika ini terus dibiarkan, yakinlah Aceh akan mengalami kerugian yang besar, siapa yang bersalah dengan situasi ini? Segenap representasi politik bersalah termasuk juga apatisme publik. Bukan gubernur semata. Situasi ini harus menjadi pelajaran bagi kita pada momentum elektoral ke depan, bahwa Aceh tak akan maju dengan retorika dan simbolisme politik, tapi oleh kepemimpinan yang kuat dan populis, kelembagaan politik yang mengabdi, kedinasan yang independen dan teknokratis, dan masyarakat yang haus partisipasi ketika pembangunan yang maju dan membangun.





Banda Aceh, 21 Sep 2014

RAHMATSYAH




Sumber : http://ift.tt/1uosIrG

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz