Suara Warga

SBY Menuai Kecaman Terhebat di Akhir Kepemimpinannya (tagar #ShameOnYouSBY hilang berganti #ShamedByYou)

Artikel terkait : SBY Menuai Kecaman Terhebat di Akhir Kepemimpinannya (tagar #ShameOnYouSBY hilang berganti #ShamedByYou)

Langkah para anggota Dewan dari Fraksi Partai Demokrat (FPD) yang hengkang mendapat sorotan tajam dari rakyat Indonesia, bahkan dari luar negeri termasuk media asing. Yang menarik, yang menuai kecaman terhebat adalah SBY. Netizen berharap bahwa Trending Topic Top dunia #ShameOnYouSBY” dapat bertahan seminggu. Setelah sempat bertahan 48 jam dengan tweets 290 ribu lebih, mendadak tagar itu menghilang dan menjadi olok-olokan netizen dengan sebutan “mendadak WO”, lalu berganti dengan tagar #ShamedByYou, saat ini menempati Trending Topic Top Indonesia dan Trending Topic peringkat ke-5 dunia (berdasarkan waktu posting).


Yang mungkin menjadi pertanyaan adalah, “Mengapa kecaman tertuju pada seorang SBY, bukan pada partainya dan bukan pada anggota Dewan dari Fraksi Demokrat?” Sudah kita ketahui bersama bahwa sebelum bertolak ke luar negeri, SBY berkata dengan bahasa jelas dan tegas dalam tayangan wawancara di Youtube bahwa ia mendukung Pilkada Langsung sebagai wujud kesungguhannya mendukung keinginan rakyat.

Sayangnya, para anggota Dewan yang bernaung dibawah Fraksi Demokrat justru melakukan langkah kamuflase. Dengan alasan ’seolah-olah’ usulan mereka tidak didengar dan mereka tidak memiliki pilihan alternatif nomor 3, akhirnya Fraksi Demokrat memutuskan untuk hengkang dari rapat keputusan RUU Pilkada yang sedang berjalan.

SBY dianggap paling bertanggung jawab karena selain sebagai Ketum partai penguasa dengan jumlah suara nomor satu dalam Pemilu 2009, SBY juga adalah presiden saat ini. Tidak mungkin seorang SBY yang notabene adalah Ketua Umum Partai Demokrat tidak diminta persetujuannya saat Fraksi Demokrat mengambil keputusan untuk melakukan walk out. “‎Prosesnya berlangsung cepat. FPD walk out karena usulan mereka ditolak sama sekali. FPD melapor ke saya, kami tidak didengar, kami dilecehkan. ‎Tidak mungkin kami memilih Pilkada lewat DPR atau Pilkada Langsung begitu saja (tanpa ada syarat),” jelas SBY dalam jumpa pers di Washington DC. SBY bersikukuh bahwa opsi Pilkada Langsung dengan perbaikan ditolak oleh semua fraksi. Namun, berdasarkan pengamatan wartawan saat sidang paripurna, anggota FPD walk out saat PDIP, PKB, dan Hanura menyatakan mendukung penuh opsi FPD. ‎Meski mau dibantah berbusa-busa sekalipun, nasi sudah menjadi bubur. “What you say is what you do”. “You are what you do, not what you say you’ll do.” (Carl Gustav Jung)

Di akhir masa pemerintahannya mungkin ini kado terpahit yang didapat seorang Presiden dari rakyatnya sendiri. Bangkitnya gerakan netizen melalui medsos, gerakan rakyat melawan di setiap tempat dan daerah, serta berbagai gerakan perlawanan massa lainnya menunjukkan bahwa rakyat tidak mau terus-menerus dibodohi dengan permainan politik belaka. Melalui Pilkada tidak Langsung, KPK sendiri memberi sinyal bahwa terlalu banyak peluang dan praktek korupsi terbuka.

Di satu sisi, hari ini, rakyat harus berjuang dengan harga-harga yang membumbung tinggi, kesulitan biaya hidup, kesulitan mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak, dsbnya membuat mereka harus tahu apa yang terjadi dan harus melek politik. Sementara itu, ada (banyak) politisi justru bergelimang dengan harta hasil korupsi yang tidak sedikit. Tidak mengherankan bahwa jabatan anggota Dewan menjadi rebutan dalam ajang pesta demokrasi 5 tahunan di negeri ini.

Kepemimpinan SBY menjadi tanda tanya besar dan seringkali jadi sasaran media massa karena SBY dianggap tidak fokus mengabdikan diri sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan . Sebagai Kepala Negara yang mengemban amanat rakyat yang telah memberi kepercayaan, seharusnya SBY hanya fokus untuk memikirkan bagaimana memimpin rakyatnya menuju ke arah yang semakin sejahtera dan maju, bukan sebaliknya. Kemunduran demokrasi telah terjadi di negeri ini karena langkah blunder Partai Demokrat melakukan walk out sesaat sebelum DPR melakukan voting untuk mengesahkan RUU Pilkada.

Partai Demokrat konon terpilih sebagai parpol dengan jumlah suara terbesar pada Pemilu tahun 2009 lalu. Benarkah? Saya tidak yakin 100 persen. Bergabungnya Anas Urbaningrum dan Andi Nurpati, mantan komisioner KPU ke dalam Partai Demokrat seharusnya menjadi perhatian publik. Tanpa perlu berlama-lama, seorang Anas mampu meraih jabatan tertinggi di pucuk pimpinan partai sebagai Ketua Umum pada 2010 yang lalu. SBY yang menjagokan Andi Malarangeng pun tak kuasa menolak terpilihnya Anas dalam pucuk pimpinan partai yang dibesutnya. Ini menunjukkan bahwa Anas lebih piawai dalam mengelola kepemimpinan berorganisasi ketimbang SBY, hanya saja Anas ‘dikalahkan’ dalam hal kekuasaan.

Massa sudah mengenali isu bahwa SBY selalu tidak ada di Indonesia pada saat-saat genting pengambilan keputusan yang sangat penting bagi rakyat di negeri ini. Sebagai presiden, SBY lagi-lagi sedang tidak ada di tempat saat pengesahan RUU Pilkada supaya beliau tidak perlu menjawab pertanyaan masyarakat atas apa yang terjadi dan beliau memiliki kesempatan untuk menghimpun strategi dalam menjawab isu yang berkembang pesat di mata masyarakat yang mulai melek politik.

Dalam masa akhir pemerintahannya, SBY sudah mengelak dari rencana menaikkan BBM bersubsidi, sesuatu yang tidak enak dan tidak populis bagi siapapun pemimpin di negeri ini, dan berujung dengan kado pahit terjeratnya menteri ESDM yang menaungi wilayah perminyakan di negeri ini dan yang sekaligus adalah seorang petinggi partai Demokrat pulak. Penetapan vonis Anas Urbaningrum, mantan ketum partai Demokrat hampir melengkapi status bintang iklan dengan tagline “Katakan TIDAK pada (Hal) Korupsi” (kalimat dalam tanda kurung menunjukkan kelakuan bintang iklannya). Saya masih berharap bahwa Partai Demokrat dapat meraih simpati massa yang terlanjur kecewa dengan kelakuan para petinggi partai tsb dengan mendukung pilihan Pilkada Langsung pada penentuan RUU Pilkada menjadi Undang-Undang, sejalan dengan janji SBY sebagai pemimpin rakyat sekaligus ketum partai Demokrat.

Sayang, lagi-lagi jalan politis yang ditempuh bukan langkah pro rakyat. Sudah barang tentu yang menjadi sasaran kecaman adalah pemimpin tertinggi di partai sekaligus presiden yang mengingkari janji bagi rakyatnya. Sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara, SBY bertanggung jawab untuk menjaga kemajuan demokrasi. Bergulirnya UU Pilkada ke DPRD menandakan matinya demokrasi di Indonesia. Yang paling dikuatirkan adalah bahwa UU tersebut membuka jalan bagi kembalinya Indonesia ke zaman Orde Baru.

Memang, tidak mudah memimpin negeri ini dengan beraneka ragam kepentingan dan tujuan. Akan tetapi, hal ini menjadi mudah tatkala pemimpin negeri ini hanya tunduk pada konstitusi dan mendengarkan suara rakyat. Kepemimpinan SBY membuktikan bahwa negeri ini bukan negeri yang bisa seenaknya dipimpin dengan cara politisasi. Sebagian besar netizen beranggapan bahwa apa yang dilakukan SBY tersebut adalah bagian dari sandiwara, dan mereka memberikan sindiran untuk akting SBY yang dianggap berhasil mengelabui masyarakat. Sesuatu yang dibangun di atas dasar kepura-puraan akan menghasilkan pijakan yang lemah dan SBY telah menuainya.

Tagar #ShameOnYouSBY dan #ShamedByYou menunjukkan fakta betapa kecewanya masyarakat di negeri ini terhadap pemimpinnya. Bisakah SBY memulihkan kepercayaan masyarakat dalam era kepemimpinannya yang hanya tinggal kurang dari sebulan? Ada dua cara yang dapat ditempuh SBY, yaitu:


  1. Menolak menandatangani RUU Pilkada.

    Dengan menolak menandatangani, UU tsb baru bisa berlaku setelah 30 hari. Paling tidak masyarakat akan bisa melihat bahwa SBY serius terhadap janjinya.

  2. Mengajukan judicial review.

    kalimat dalam judicial review harus menunjukkan bahwa SBY memiliki perhatian terhadap demokrasi rakyat dan bahwa UU Pilkada jelas merenggut hak demokrasi dan hak politik rakyat dalam menentukan siapa yang akan jadi kepala daerah.


Sejarah akan mencatat apakah SBY akan dikenang sebagai pemimpin yang negarawan ataukah sebaliknya.

Selamat pagi Indonesia




Sumber : http://ift.tt/1rBhL7G

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz