Suara Warga

Santun ala Indonesia

Artikel terkait : Santun ala Indonesia

Pada era 80-an sampai 90-an, ada satu negara yang bernama Uni Sovyet. Negara yang besar karena mencakup beberapa negara kecil lainnya. Saat ini sudah Uni Sovyet sudah hilang, terpecah menjadi, Rusia, Ukraina, Kazakhstan, Uzbekistan, Turkmenistan, dan beberapa negara lainnya.

Konon yang menjadi awal perpecahan salah satunya adalah proses Rusifikasi yang tidak disukai oleh negara-negara aliansinya. Rusifikasi adalah mendominasinya penyebaran pengaruh rusia dalam negara Uni Sovyet, seperti penggunaan Bahasa Rusia sebagai Bahasa nasional, serta penyebaran budaya dan sejarah Rusi. Selain itu terjadi juga terjadinya pernikahan antara etnis rusia dengan etnis lainnya sebagai upaya untuk memperluas pengaruh rusia pada seluruh jangkauan wilayah negara.

Memang dalam soal pernikahan, tidak dapat dihindari pernikahan antar etnis, karena itu bersifat manusiawi. Tapi tekanan dan pengaruh dominasi rusia memang kental sekali dan masih dapat terasa sampai saat ini.

Sejarah dan Budaya Rusia juga menjadi ajaran wajib. Padahal setiap negara memiliki kisahnya sendiri serta pahlawannya sendiri yang berbeda dengan Rusia. Negara-negara kecil ini tidak terkait dengan sejarah Tsar – Tsar Rusia.

Dalam hal Bahasa, sama juga, mungkin sama dengan di Indonesia saat ini, contohnya penggunaan mas dan mbak sebagai panggilan dimanapun, padahal setiap daerah memiliki panggilannya sendiri, misalnya abang, kakak, uda, beli, dll.

Hal yang kecil sebenarnya, tapi tanpa kita sadari, ini sebenarnya juga akibat pembangunan Indonesia yang terpusat pada Pulau Jawa saja, Pengaruh Jawa kuat sekali pada negara ini, Jawanisasi terjadi dimana-mana termasuk juga dalam pola pikir.

Contoh lainhya adalah pemimpin yang baik adalah yang santun. Santun disini tentu dalam definisi jawa yang katanya harus “ewuh pakewuh” , “mikul duwur mendhem jero”, dan istilah2 lainnya. Padahal Indonesia bukan hanya Jawa saja, dan Pulau Jawa hanya merupakan bagian kecil dari keseluruhan Indonesia.

Kita tidak bisa mengatakan bahwa Jokowi yang lembut lebih baik dari Ahok yang gahar, karena tiap daerah memiliki karakter orangnya masing-masing. Orang-orang kelahiran Sumatera dan bagian Selatan Sulawesi misalnya, terkenal dengan karakternya yang ceplas ceplos, dan kalau bicara dianggap “kasar” oleh orang Jawa, padahal itu adalah sikap khasnya. Dibalik gaya bicaranya yang keras, mereka adalah tipikal orang-orang yang tidak pendendam, dan memiliki hati yang baik.

Jadi kalau ada pakar yang mengatakan bahwa Ahok perlu komunikasi politik yang lebih baik, mungkin ada benarnya walau tidak seluruhnya. Benarnya adalah, Ahok perlu mempelajari cara memilih kata dalam berucap karena tidak hanya berhadapan dengan Orang Sumatera tapi juga Orang Jawa yang menjadi warga DKI, walaupun ceplas ceplos adalah karakter nya. Akan tetapi, yang mengatakan Ahok perlu belajar komunikasi politik sama juga memerlukan pelajaran komunikasi, karena dia harus sadar bahwa Indonesia bukan hanya milik Orang Jawa.

Pada saat ini yang diperlukan adalah karakter yang kuat, bagaimanapun modelnya dan hati yang jujur, serta keinginan untuk bekerja keras untuk rakyat, itu yang penting. Kalau ditanya apakah Ahok layak memimpin DKI Jakarta atau apakah karakter Ahok adalah karakter pemimpin, jawabannya adalah IYA.




Sumber : http://ift.tt/1tf2auK

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz