Suara Warga

Opa Kimin “Cucu, Pilkada itu Obat Gatal Ko?”

Artikel terkait : Opa Kimin “Cucu, Pilkada itu Obat Gatal Ko?”



1410767258742874451 Biaya sosial politik pilkada langsung di Mojokerto (sumber foto : http://ift.tt/1sVJWOZ)



Opa kimin di Alor suatu pagi mampir di kedai. Mulutnya disumbat tembakau dan siri pinang, kakinya tak bersandal. Bajunya tak dipakai, hanya disilang ke lengan. Ia terseok-seok sambil menarik sarung yang sempat melorot dan menghampiri sekelompok pemuda yang asyik cerita soal debat anggota DPR dari PAN vs PDIP waktu lalu di metro tv tentang RUU Pilkada.



Opa Kimin lantas bertanya, “Pilkada itu obat gatal ka cucu?”. Beberapa pemuda yang serius mendengar pertanyaan opa Kimin, langsung tertawa jingkarak-jingkrak. Opa Kimin tetap berusaha menjelaskan pertanyaannya. Pil itu kan artinya obat, kada itu artinya gatal (bahasa Alor), jadi pilkada artinya obat gatal to cucu”.



Opa Kimin yang sudah tua tapi trombosit politiknya masih kental, selalu menancapkan perhatian, pada detail-detail politik tanah air. Mungkin saja badannya gatal kalau tak bicara politik. Ia selalu merasa tersengat bila atmosfer politik makin memanas.



Opa Kimin, selalu menanyakan sesuatu yang aneh, dan tak nyambung. Tapi selalu menukil pesan, bahwa polemik pilkada seperti obat gatal. Diminum saat gatal. Tapi efeknya bisa bikin ngantuk dan selerah makan meningkat. Kelebihan obat gatal bisa menyebabkan apapun bisa dimakan. Hari ini dua kubu politik saling memakan.



Kekalahan pilpres 2014, membikin separuh raga politik beberapa kelompok gatal tak karuan. Namanya juga gatal, digaruk satu yang lain ikut kegatalan. Maka debat soal pilkada langsung oleh rakyat dan dipilih DPRD, juga soal kegatalan saja. Hanya soal kegtalan yang berkepanjangan.



Dus debat soal RUU Pilkada, kita seperti menemukan oase baru demokrasi. Meski dialektika mencari bentuk demokrasi jangan dipaksa sebagai sesuatu yang ultimate. Memang kita temukan beberapa anomali demokrasi dalam tata politik Indonesia.



Kita punya ideologi demokrasi perwakilan (sila ke-4 Pancasila), tapi praktek demokrasi kita neolib? Kita bicara kedaulatan aspirasi politik rakyat, tapi kenapa menganut demokrasi perwakila? Tapi dua-duanya, perlu dikritik. Pun juga jangan terlampau latah menganggap pancasila ideologi yang final tanpa kritik.



Hemat saya, paham demokrasi perwakilan dan kedaulatan aspirasi politik rakyat, dua-duanya bukalah suatu konsepsi a-historis. Kedua faham ini, lahir dari suatu kondisi sosial dan politik objektif pasca kolonial dan negara orde baru. Namun, antara keduanya, ada persepsi kuat yang membatasi.



Demokrasi perwakilan, lebih dikecap sebagai “yang ideologis dan konstitusional, dan kedaulatan aspirasi politik rakyat melalui pilkada langsung misalnya, lebih dikecap sebagai idel demokrasi, karena eksekutif dan legislatif dipilih langsung oleh rakyat.



Namun kedua titik persepsi demokrasi ini, jangan dihela dan ditakar dengan logika konflik, karena hanya bikin keruh dan gatal. Idealnya, cukup kita melakukan uji kesahihan demokrasi, mana yang baik antara keduanya, pilkada langsung atau melalui DPRD. Mana yang lebih efisien dari sisi biaya sosial politik. Atau memilih kegatalan kekuasaan ini terus berkepanjangan. Itu juga pilihan.



Waktu lalu saya berfikir, peralihan pemilihan kepala daerah dari DPRD menjadi pemilihan langsung oleh rakyat, hanyalah pergantian traek politik uang dari elit ke rakyat. Dan memang begitu faktanya. Politik uang dengan berbagai variannya, cenderung melata di era pilkada langsung. Tapi dengan sistem dan tata kelola politik kita yang masih feodalistik dan personally, maka manisnya pemilihan kepala daerah oleh DPRD, hanya dinikmati orang –orang yang sama juga (elit politik beserta cecunguk-cecungkuknya).



Kendatipun begitu, uji kesahihan demokrasi langsung di daerah, perlu dilakukan, dengan merefleski semua soal yang sudah-sudah. Agar polemik RUU Pilkada tak asal menjadi kegatalan politik yang menggelikan. []




Sumber : http://ift.tt/XmyQWK

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz