Suara Warga

Korupsi Politik Luthfi Hasan Ishaaq

Artikel terkait : Korupsi Politik Luthfi Hasan Ishaaq

Kembali dunia hukum diramaikan oleh putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) atas terdakwa Luthfi Hasan Ishaaq (LHK). Dalam putusan yang dijatuhkan pada senin (15/9/2014) MA memperberat hukuman mantan Presiden PKS ini dari 16 tahun menjadi 18 tahun penjara. Ditinjau dari sanksi hukuman, putusan MA ini sama dengan tuntutan jaksa KPK dalam persidangan Tipikor, yaitu 10 tahun penjara untuk korupsi dan delapan tahun penjara untuk perkara pencucian uang. Hanya yang perlu dipelajari lebih lanjut (examinasi), apa pertimbangan hukumnya, hingga MA menjatuhkan putusan yang lebih berat dari putusan pengadilan Tipikor dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta?.

Majelis kasasi yang diketuai hakim agung Artidjo Alkostar dengan anggota hakim agung M.Asikin dan hakim ad hoc MS. Lumme menyebutkan kosa kata baru: korupsi politik. Satu istilah baru yang dipergunakan dalam pertimbangan hukum dalam menjatuhkan putusan. Istilah korupsi politik berarti penyalahgunaan kekuasaan elektoral yang diberikan oleh pemilih demi memperkaya diri sendiri. Selaku anggota DPR, LHI yang dipilih dan dipercaya oleh pemilih (rakyat) dalam Pemilu telah menyelewengkan kekuasaan yang diberikan tersebut. Dengan melakukan hubungan transaksional dengan pengusaha daging sapi import demi imbalan atau fee. Perbuatan LHI itu menjadi ironi demokrasi. Sebagai wakil rakyat, dia tidak melindungi dan memperjuangkan nasib petani peternak sapi nasional. Yang bisa jadi pemilih LHI saat Pemilu sebagian adalah petani peternak sapi atau konsumen daging sapi. Ketua Majelis Kasasi perkara LHI, Artidjo Alkostar, mengatakan, perbuatan Luthfi sebagai anggota DPR dengan melakukan hubungan transaksional telah mencederai kepercayaan rakyat banyak, khususnya masyarakat pemilih yang telah memilih terdakwa menjadi anggota DPR RI. Hubungan transaksional antara terdakwa sebagai anggota badan legislatif dan pengusaha daging sapi Maria Elizabeth Liman merupakan korupsi politik karena dilakukan terdakwa yang dalam posisi memegang kekuasaan politik sehingga merupakan kejahatan yang serius (serious crime ),” ujar Artidjo.

Sebelumnya, di tingkat banding, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta hanya mengubah putusan Pengadilan Tipikor dari subsider denda dari satu tahun menjadi enam bulan kurungan. Vonis 16 tahun penjara tidak berubah. Baru pada tingkat kasasi MA, putusan diperberat menjadi 18 tahun penjara dengan pertimbangan “korupsi politik”. Atas putusan judex facti (pengadilan dibawah MA yang mengadili berdasarkan fakta) dinilai oleh MA kurang mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan seperti diisyaratkan pada pasal 197 KUHAP.

Baru saja masyarakat dikejutkan oleh putusan pengadilan Tipikor atas Gubernur Banten nonaktif Atut Chosiyah dengan vonis 4 tahun penjara. Publik menyayangkan pertimbangan hukum hakim yang lebih condong pada unsur meringankan ketimbang memberatkan. Sehingga pertimbangan bersikap sopan selama persidangan, atau memiliki tanggungan anak, menjadi bahan olok-olokan. Dalam penilaian publik, pertimbangan itu sama saja meletakan posisi setara antara Gubernur sebagai pejabat publik dengan warga biasa yang melakukan tindak kejahatan korupsi.

Dengan putusan kasasi MA atas LHI, secara obyektif keadilan versi masyarakat awam mulai dipertimbangkan. Kedudukan antara terdakwa sebagai pejabat publik terlebih yang dipilih langsung (Presiden, DPR,DPD, DPRD atau Kepala Daerah) tidak setara dengan pejabat publik lain (PNS) atau masyarakat biasa. Masyarakat (pemilih) telah memberikan kepercayaan kepada mereka untuk berjuang dan menjalankan amanah. Bila kuasa yang diperoleh atas pilihan rakyat itu, disalahgunakan maka tentu mencederai kepercayaan rakyat. Sudah sepantasnya hakim MA, memasukan perbuatan penyalahgunaan kuasa ini sebagai “korupsi politik”.

Satu trobosan baru yang juga dilakukan oleh hakim MK atas putusan kasasi ini adalah mencabut hak politik LHI untuk dipilih dalam jabatan publik. Dengan dicabutnya hak politik untuk dipilih (kembali) LHI otomatis LHI tidak lagi memiliki akses untuk menduduki jabatan publik di masa mendatang. Putusan MK mengkumulasikan sanksi hukuman penjara (18 tahun) dengan sanksi sosial politik (mencabut hak politik). Sehingga dapat menimbulkan efek jera yang lebih tegas.

Sejauh ini, KPK kerap menuntut majelis hakim untuk mencabut hak politik terdakwa korupsi. Diantaranya kepada terdakwa mantan Presiden PKS LHI, mantan Ketua MK Akil Mochtar, Gubernur Banten nonaktif Atut Chosiyah. Namun, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta tidak pernah mengabulkan permohonan jaksa KPK yang meminta hak politik terdakwa dicabut. Dalam kaitan itu, majelis hakim kembali menundukan setara kejahatan korupsi dan maling jemuran.

Atas putusan kasasi MA atas LHI, majelis hakim menempatkan tindak pidana korupsi sebagai kejahatan luar biasa seperti kejahatan terorisme dan kejahatan narkoba. Sehingga drajat kejahatan yang dilakukan terdakwa tidak dapat disetarakan dengan kejahatan biasa seperti maling jemuran. Dengan dicabutnya hak politik menjadi bagian dari putusan MA, juga sebagai peringatan bagi calon-calon koruptor lain, agar tidak bermain-main dengan kekuasaan. Dan rasa ketidakadilan publik terobati, dimana banyak peristiwa para mantan napi koruptor masih bisa mencalonkan diri sebagai pejabat publik.

Hakim agung Artidjo Alkostar, M.Asikin dan MS. Lumme telah menunjukan keberpihakan yang nyata pada rasa keadilan masyarakat selama ini. Hakim yang memiliki kewenangan untuk membuat tafsir atas dasar keyakinan yang dimiliki tak lagi sekedar peniup trompet undang-undang yang kaku. Pada perkara LHI, para hakim agung lebih menampakan berpihak kepada peternak dan konsumen daging sapi yang dirugikan atas tindakan penyalahgunaan LHI sebagai anggota DPR RI. Lebih mempertimbangkan unsur memberatkan daripada meringankan atas tindakan korupsi yang dilakukan. Ada dua pesan yang disampaikan dalam putusan itu: satu, tindak korupsi adalah kejahatan luar biasa dan serius; dua, penyalahgunaan kuasa oleh pejabat publik yang dipilih lewat Pemilu dan mendapat amanah rakyat, dikatagorikan sebagai korupsi politik.



Salam Kompasiana.

Sumber:
http://ift.tt/Xaua61

http://ift.tt/1t3inmK

http://ift.tt/Xaua62.

http://ift.tt/Xaua64

http://ift.tt/XaucL8

http://ift.tt/1t3ileK

http://ift.tt/1t3ileL.




Sumber : http://ift.tt/1t3ilv2

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz