Suara Warga

Harga Elpiji; Uji Kepercayaan Publik Terhadap Pemerintah

Artikel terkait : Harga Elpiji; Uji Kepercayaan Publik Terhadap Pemerintah

Ahok (Wagub DKI Jakarta), pernah mengutip sebuah pepatah Tiongkok yang menyatakan ada 5 unsur yang dibutuhkan untuk memajukan sebuah negara. Lima unsur tersebut terdiri dari; wilayah, pertahanan, rakyat, makanan dan kepercayaan. Jika salah satu unsur harus dibuang, yang pertama adalah pertahanan. Jika dua unsur, ditambahkan dengan wilayah, dan seterusnya. Kepercayaan menjadi unsur terpenting diantara kelimanya. Sebuah negara tak mungkin bisa maju jika tidak ada rasa saling percaya antara rakyat dengan pemerintah dan sebaliknya.

Bukankah itu yang sedang terjadi di negara kita saat ini?. Indonesia, negara yang kaya SDA (Sumber Daya Alam), sudah lebih dari 69 tahun merdeka, dan lebih dari 16 tahun menjalani era reformasi, namun masih belum mampu mewujudkan cita-cita konstitusinya sendiri untuk menjadi negara yang (benar-benar) merdeka, berdaulat, adil, dan makmur.

Banyak persoalan terjadi, namun yang lebih memperparah adalah terjadinya krisis kepercayaan. Rakyat kian tak percaya pada pemimpinnya (pemerintah), sehingga dengan sendirinya selalu meragukan, mencurigai, bahkan selalu berupaya menentang setiap kebijakan yang diambil pemerintah. Rakyat kian “alergi” dengan kebijakan-kebijakan yang tidak populis serta dianggap dapat memperberat beban hidup masyarakat.

Dalam konteks kenaikan gas elpiji (non subsidi) 12 kg, saya kira persoalannya pun sama. Mendengar istilah “kenaikan” saja, rakyat sudah mulai membayangkan kesulitan dan persoalan yang akan terjadi. Rakyat menuding pemerintah kian tak berpihak pada mereka dan akan menambah beban hidup sehari-hari. Rakyat kuatir efek kenaikan tersebut akan menyasar kemana-mana.

Sehingga menurut saya, Pertamina (selaku wakil pemerintah) tak cukup sekadar menyiapkan dan memaparkan alasan/argumen yang logis dengan data-data lengkap kepada masyarakat. Karena hal yang terpenting adalah upaya-upaya nyata untuk menjawab keraguan/kekuatiran yang dirasakan oleh masyarakat. Dengan kata lain, Pertamina harus bisa membuktikan bahwa kenaikan harga elpiji non subsidi tidak akan menimbulkan masalah-masalah baru yang membebani masyarakat.

Saya yakin, sebagian masyarakat tidak mau ambil pusing dengan data dan fakta bahwa harga gas elpiji 12 kg di negara kita jauh lebih murah dibandingkan dengan di negara tetangga yang lain misalnya; Filipina, India, Korea, Jepang, Tiongkok, dan sebagainya. Mereka juga takkan ambil pusing meski menurut data (diperkuat hasil audit BPK), Pertamina selalu merugi karena menjual gas elpiji 12 kg dengan harga murah.

Sekali lagi, karena krisis kepercayaan, rakyat akan lebih senang membenturkan “fakta” tersebut dengan “fakta” versi mereka sendiri. Bahwa Indonesia melimpah dengan SDA (termasuk gas), sehingga mustahil mengalami kelangkaan gas elpiji meski dijual dengan harga murah. Bahwa mustahil Pertamina merugi karena “faktanya” para pegawai Pertamina mendapat gaji yang lumayan besar dibandingkan pegawai BUMN lainnya.

Dengan kata lain, pembuktian di lapangan menjadi hal yang sangat penting. Misalnya, jika Pertamina berusaha meyakinkan masyarakat bahwa kenaikan gas elpiji 12 kg tidak akan mengakibatkan kelangkaan gas elpiji (subsidi) 3 kg, sebagai akibat terjadinya “migrasi” konsumen pengguna gas elpiji 12 kg, maka harus benar-benar dibuktikan di lapangan. Ulah para spekulan yang ingin memanfaatkan situasi, harus terus diwaspadai. Selain ketersediaan, juga yang perlu diperhatikan adalah soal harga. Jangan sampai harga penjualan di pasaran justru melebihi harga yang sudah ditetapkan oleh pemerintah.

Jika Pertamina sudah merencanakan penyesuaian harga gas elpiji non subsidi akan diberlakukan secara berkala setiap enam bulan sekali mulai dari 2014 hingga 2016 mendatang, maka ujian pertamanya akan dilihat dalam enam bulan pertama ke depan. Jika Pertamina mampu menjawab keraguan di kalangan masyarakat, rencana tersebut akan bisa dilaksanakan. Namun jika tidak, kegaduhan-kegaduhan akan terus terjadi setiap kali Pertamina akan mengumumkan kenaikan harga. Hal lain yang juga perlu dihindari, jangan sampai Pertamina dituding sekadar ingin memburu keuntungan dari penjualan gas elpiji non subsidi dan mengabaikan tugasnya untuk menjamin ketersediaan gas elpiji subsidi untuk masyarakat.




Sumber : http://ift.tt/1BWQiAl

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz