Suara Warga

Democrazy

Artikel terkait : Democrazy

16 September 2014, Denpasar – Bola bergelinding untuk memancing masyarakat berpendapat lewat ruang-ruang di media sosial mengenai isu terbaru soal Pemilihan Kepala Daerah versi KPU VS. Mekanisme Pemilihan Kepala Daerah lewat Musyawarah - Mufakat di DPR.

Saya mengkajinya dari pemikiran orang awam yang menilai fenomena Pilkada selama tiga tahun dan Pemilihan Kepala Daerah lewat mekanisme DPR di jaman orde Baru, dari beberapa bagian, (1) Pilkada dari perspektif kwalifikasi “Calon”, (2) Mekanisme pencalonan, (3) Relevansi partai sebagai kendaraan calon dan (4) Efisiensi pembiayaan Pilkada.

1-2. Calon Pilkada bisa siapa saja, independent alias tidak menggunakan bendera dan panji partai ATAU dia sang calon adalah kader partai (senior dan yunior).

Persyaratan lainnya lebih definitif, misalnya integritas, pendidikan, profesi/karier, pengusaha dan pengalaman kemasyarakatan lainnya yang menunjang dirinya untuk diperimbangkan sebagai Pemimpin Daerah.

3.1 Relevansi partai di Pilkada adalah kendaraan bagi Sang Calon, peran partai berada di luar pemerintah dan di dalam pemerintah. Seorang calon independent yang bukan kader partai sudah dicontohi oleh Ahok. Apakah Ahok bisa menjadi calon Kepala Daerah DKI Jakarta bila tidak menggunakan kendaraan partai? Atau dia memerlukan minimal 1 juta tanda-tangan dari pemilih tetap di DKI Jakarta untuk memenuhi suatu persyaratan tertentu mengenai calon independent yang mempunyai pendukung di DKI Jakarta dan tidak memerlukan kendaraan dan mesin partai untuk dikenal masyarakat luas di DKI Jakarta sebagai calon alternatif di luar kekuasaan partai.

3.2 Lalu, apakah anggota DPR adalah orang-orang independent dari partai atau orang-orang partai?

3.3. Barangkali yang perlu diciptakan adalah aturan main bagi Calon Independent untuk tembus sebagai Calon Kepala Daerah baik itu di Pilkada ataupun Pemilihan Calon Kepala Daerah di DPR.

4. Efisiensi pemilihan Kepala Daerah lewat mekanisme DPR jauh lebih MUDAH dalam pelaksanaan yang transparan, control masyarakat dengan mengamati dan mengawasi proses pemilihan, apakah telah memenuhi tahapan penyisihan sampai penetapan lewat voting, dan MURAH ketimbang menyelenggarakan Pilkada yang sarat dengan dilema paska-pemilihan, kasus di MK, kasus Bawaslu dan kasus KPU.

Tak tahan mengomentari isu ini karena saya belum membaca suatu usulan dan rekomendasi yang simpel saja. NS




Sumber : http://ift.tt/XaiwrL

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz