Suara Warga

SUMBER DAYA AIR

Artikel terkait : SUMBER DAYA AIR

`

SUMBER DAYA AIR

Sumber daya air menyebabkan bencana kepada makhluk hidup di permukaan Bumi ini. Bencana akibat ulah orang-orang jahil dan keserakahan manusia kini mengancam kehidupan ikan di sepanjang sungai di Aceh. Kematian ikan mengejutkan masyarakat, seakan tak percaya mengapa terjadi begitu mendadak dan meninggalkan bangkai-bangkainya yang tidak lagi bernilai estetis dan ekonomis. Sudah banyak kasus-kasus kematian ikan yang terjadi di Aceh, baik ikan laut maupun ikan hidup di air tawar (sungai). Kasus demikian terulang kembali menjadi siklus dan rutinitas setiap saat. Masih segar dalam ingatan kita pada kematian ikan yang terjadi di Kabupaten Pidie, ikan Kerling atau ikan Jurung yang hidup di Sungai Krueng Meriam KecamatanTangse, Kabupaten Pidie, sejak lima hari terakhir ditemukan mati terapung di sungai tersebut.

Entah sudah menjadi sifat manusia menjadi lupa ketika satu bencana berlalu. Manusia menjadi sibuk saat bencana datang seolah menjadi insaf seketika itu. Demikian juga dengan kematian ikan, ini bukanlah kasus yang pertama terjadi, tetapi sudah terjadi dari waktu ke waktu. Kematiannya pun terjadi dengan berbagai penyebab, seperti pencemaran oleh limbah industri, pestisida pertanian, penggunaan bahan-bahan beracun saat menangkap ikan, menyetrum dengan aliran arus listrik sampai bibit ikan mati, dan oleh faktor-faktor kerusakan lingkungan lainnya. Namun, mengapa kita kembali menjadi kaget setelah lama terlupakan? Adakah sentuhan bijak untuk melindungi sumberdaya air dan kehidupan makhluk air tersebut jauh-jauh sebelum kematian ikan terjadi? Sadar atau tidak, hari ini kita merasakan dampak dari degradasi lingkungan yang sudah semakin parah. Degradasi lingkungan terjadi akibat intervensi manusia secara serakah sehingga membuat lingkungan tidak alamiah dan berfungsi sebagaimana mestinya.

Hutan sebagai penjaga keseimbangan ekosistem, mengatur keseimbangan air baik di musim hujan maupun kemarau, kini telah rusak. Sumberdaya air tercemar oleh berbagai polutan baik penggunaan pestisida maupun limbah domestik dan industri. Kerusakan satu komponen lingkungan akan merusakkan sistem lingkungan yang lainnya, karena ia satu sistem ekologis. Rusaknya hutan menyebabkan terjadinya perubahan iklim, naiknya temperatur udara, menyusutnya sumber daya air hingga air tanah mengering. Dan pada gilirannya karunia Allah SWT tersebut akan menjadi laknatullah akibat tidak mengurus bumi ini dengan baik dan amanah. Malapetaka tidak hanya tertimpa kepada ikan dan tumbuhan, tetapi juga akan menimpa manusia dan isi alam ini. Sebagaimana firman Allah Swt: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena akibat ulah tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar.” (QS. Ar-Rum: 41).

Wajar saja jika dugaan awal terjadi kematian ikan karena kekeringan air dan panasnya suhu bumi. Kering dan panasnya bumi karena dipengaruhi oleh kerusakan lingkungan seperti kerusakan hutan dan lainnya. Dan, memang ikan sebagai sumber daya air tawar tidak dapat hidup jika tidak tersedianya air yang cukup untuk kehidupannya. Tapi, menjadi aneh, apakah ikan mati spontan dengan terjadinya kekeringan, bukankah pelan-pelan sambil beradaptasi? Menurut Sastrawijaya bahwa kenaikan suhu air menyebabkan suhu badan hewan berdarah dingin dalam air naik. Hal ini akan menyebabkan laju metabolisme naik dalam ikan dan selanjutnya menaikkan kebutuhan oksigen. Tetapi, jika suhu air naik, maka kandungan oksigen dalam air menurun. Jika kebutuhan oksigen melampaui oksigen yang tersedia maka ikan itu akan mati. Dan kenaikan temperatur air juga terdapat korelasi dengan adanya polutan baik kimia maupun biologi dalam air. Di sisi lain, kehadiran penambangan emas yang menggunakan merkuri sebagai logam berat secara ilegal dan tidak mematuhi kaidah-kaidah lingkungan sangat berpotensi untuk terjadinya pencemaran pada sumberdaya air. penggunaan merkuri secara ilegal oleh industri maupun oknum masyarakat sudah banyak terjadi. Lihat saja kasus penambangan emas di Gunong Ujeun yang menggunakan merkuri, telah terjadi pencemaran pada sumber daya air dan terjadi korban masyarakat berjatuhan.

Nah, bagaimana dengan ikan? Ikan pun akan terkapar kalau polutan merkuri tercemar ke dalam habitatnya. Undang-Undang lingkungan hidup Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan tegas menyatakan bahwa setiap individu, masyarakat, badan usaha dan pemerintah wajib menjaga lingkungan. Oleh karena itu, yang lebih penting adalah regulasi bukan untuk pelengkap bacaan, tapi harus dipatuhi, diimplementasikan dan ditegakkan secara hukum. Bukan mencegah lebih baik dari memperbaiki? Maka cegahlah pengrusakan lingkungan dan sumberdaya air. Hal ini agar ikan-ikan air tawar akan tetap selamat dan hidup di sepanjang aliran sungai ketika lingkungan yang mendukungnya selalu berada dalam kondisi alamiah. Tentu, kondisi demikian menjadi tanggung jawab manusia yang setiap saat menyentuh lingkungan untuk keperluan hidupnya. Satu tindakan mengelola lingkungan adalah melakukan proteksi dan pelestarian lingkungan khususnya sumber daya air dan ikan. Tangkap dan hukum pelaku kejahatan lingkungan agar mereka merasakan bahwa hidup ini ada aturan-aturan yang mengaturnya dan harus dipatuhi. Untuk melindungi sumber daya air dari kerusakan dan ikan dari kepunahan merupakan tugas mulia bagi semua pihak. Bukan hanya air dan ikan yang harus selalu dimonitoring, diawasi, dan dilindungi, tetapi semua komponen lingkungan harus dilindungi. Karena semua komponen lingkungan saling terkait antara satu sama lain dan saling memberi dampak terhadap satu sama lainnya. Jangan sampai pernah suatu saat kita bertanya, masih adakah ikan?





Banda Aceh, 22 Agustus 2014

RAHMATSYAH




Sumber : http://ift.tt/1q4CVJ2

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz