Suara Warga

Sepedamotor, Motivator Moral

Artikel terkait : Sepedamotor, Motivator Moral

DEGRADATOR MORAL

Ketika saya mengemudikan mobil, maka 85 % tingkah saya di jalan adalah taat rambu, peduli sekitar, hati-hati, dan 15 % sisanya saya terpancing berbuat buruk.

Dan ketika saya mengendarai sepedamotor, maka kenyataannya adalah saya tidak bisa mengendalikan diri; karena yang terjadi adalah 85 % tingkah saya menjadi berangasan, tidak taat aturan, seenaknya saya, maki-maki, melototin orang, dan saya merasa di jalan raya hanya saya yang boleh ada sendiri. Namun nyatanya saya tidak sendirian, karena saya dapati, hampir seluruh pengendara sepedamotor berbuat demikian.

Dan 15 % sisanya saat mengendarai sepedamotor, saya menjadi sopan berlalulintas. Tetapi itu hanya disaat saya melihat pengendara sepedamotor lain yang tergeletak di jalan ditutupi kertas koran, atau saya terpaksa berhenti tidak bisa bergerak lagi di depan pintu pagar keretaapi, atau saya ada didepan orang yang saya segani, atau saya melewati kumpulan “bumrot”, bumproad (maaf, polisi tidur) yang tinggi melintangi jalan dari ujung ke ujung; lalu tidak lebih 5 menit berikutnya saya sudah ugal-ugalan lagi.

Saya tidak peduli apakah hujan atau malam gelap, apakah saya ini mau mati atau patah kaki, apakah membawa anak yang masih bayi atau saya sedang membawa orang yang saya harus lindungi, apakah saya sedang membawa barang mata pencaharian saya atau saya lagi bawa uang buat makan anak di rumah, saya sudah tidak peduli. Dan, peduli apalagikah pada orang lain yang tidak saya kenal?

Saya bersepedamotor semaunya yang saya suka.

Bagi saya yang sedang berkendara sepedamotor, apakah saya lelaki atau perempuan, saya akan menganggap orang lain harus tahu lebih dulu bahwa saya harus diprioritaskan.

INSPIRATOR MORAL

Apakah yang menyebabkan saya menjadi demikian buruk? Padahal terlalu banyak peristiwa sedih yang terjadi yang seharusnya membuat saya sadar diri?

Mengendarai sepedamotor dengan aman di Indonesia hampir tidak pernah terjadi lagi. Pengendara sepedamotor tidak dapat menahan diri untuk tidak berbuat santun. Berbagai dalih yang mengisi otak pengendara motor yang menghalalkan cara serampangannya. Dan akibatnya akan menyusahkan diri sendiri atau orang lain itu tidak pernah lagi menjadi objek pemikirannya.

Bertambahnya jumlah sepedamotor di jalan raya sejajar dengan bertambahnya penduduk adalah hal yang wajar. Bertambahnya pelanggaran dan kecelakaan yang terjadipun itu adalah hal yang wajar. Semua kewajaran itu terjadi dengan wajar, karena wajar saja sebab pemerintah tidak peduli apapun dampak yang terjadi.

Kewajaran yang tidak wajar ini akan menjadi lebih wajar jika pemerintah semakin tidak pikirkan apa yang harus dilakukan agar lalulintas boleh berlangsung dengan kewajaran yang wajar.

DISHARMONI MORAL

Membeli sepedamotor itu adalah HAM. Siapapun rakyat, dia berhak selagi ia bisa membelinya. Pemerintah tidak boleh melarang rakyat untuk memiliki sepedamotor, seberapapun yang ia inginkan.

Namun dampak sosial yang terjadi semakin menyulitkan rakyat itu sendiri. Pemerintah membiarkan motor bertambah banyak membuat semakin semrawutnya lalulintas, apalagi di kota besar, tetapi melarang penggunaan motor menjadikan pemerintah tidak berpihak kepada rakyat.

Peraturan demi peraturan diturunkan untuk dilaksanakan, tetapi semuanya hanya lenyap bagai uap hilang di langit luas. Pengendara sepedamotor tidak pernah tahu lagi bahwa peraturan lalulintas yang diwakilkan ke rambu-rambu itu harus ditaati atau tidak.

Pemerintah menurunkan peraturan sekedar target jabatan bukan target fungsi, maka secemerlang mataharipun kata-kata itu tertulis sebagai undang-undang, namun tujuan isi peraturan itu sesungguhnya tidak pernah sampai ke pemakai jalanraya.

SOLUSI MORAL

Dengan sederhana, pemerintah bisa mensosialisasikan peraturan, nasihat, penjelasan, pemahaman, pelaksanaan, dampak, risiko diri dan keluarga, risiko sosial, risiko negara, secara serentak dan bersamaan (harus bersamaan); kepada semua pejabat negeri di seluruh rukun desa, kampung, kelurahan; kepada semua direksi perusahaan apapun, kepada semua pemilik usaha apapun, kepada semua pendidik apapun, kepada semua agamawan manapun, kepada semua lembaga dan instansi apapun; yang ada di Indonesia, yang berinteraksi dengan rakyat manapun.

Membenahi negara harus berprinsip tidak mengenal jemu.

Lurah dan perangkatnya, direktur dan managemennya, para pendidik dan kaum agamawan, managemen lembaga dan instansi; menjelaskan dan menerangkan peraturan untuk kebaikan rakyat, dua tahun penuh setiap minggu secara bergiliran kepada seluruh rakyat, berulang-ulang, sehingga setiap rakyat dimanapun menjadi orang yang bertanggungjawab karena memahami dengan baik cara berkendara di jalan sesuai peraturan pemerintah.

Kemudian aparat berwenang melanjutkan penerapan aturan itu dengan baik di jalan raya. Dengan kampanye nasihat tanpa henti, dua tahun penuh pula, menegur sana, mendidik sini, tanpa tilang tanpa denda; saya yakin, semua orang Indonesia yang berhati lembut itu akan tergugah karenanya, ia akan malu akan tindakannya tidak layak sebagai warganegara, dan ketertiban moral bisa terbangun di diri seluruh rakyat.

Orang Indonesia itu pada dasarnya adalah orang yang taat orangtua, karena sejak lahir ia sudah mengenal lingkungan yang berbudaya leluhur dan kehidupan yang beragama luhur. Karenanya ia akan taat hukum ketika ia dinasihati orang yang lebih tua. Orang yang lebih tua itu searti dengan pejabat pemerintah yang berbuat baik selayaknya orang yang lebih tua.

Persoalannya, karena pemerintah abai untuk peduli pada kepentingan rakyat sehari-hari, dan pemerintah tidak bertingkah sebagai orang tua yang baik.

Mengubahnya, haruslah pemerintah yang lebih dulu memberi contoh kebaikan bagi rakyatnya. Menjadi contoh itu tidak perlu bertahun-tahun, satu hari sudah cukup. Karena niat, maka pemerintah akan tulus memimpin pelaksanaannya peraturan dan undang-undang terus bersambungan. Dengannya, maka aparat terbawah dalam pemerintahan yaitu lurah kepala desa dan staffnya, pengelola usaha dan managemennya, para pendidik dan kaum agamawan, managemen lembaga maupun instansi; menjadi ujung tombak pemerintah dalam membenahi negeri.

Pemerintah pusat membuat kebijakan, maka sosialisasi langsung di hari putusan diturunkan diambil alih kepala daerah, hari yang sama sudah sampai ke kelurahan dan desa, hari yang sama pelaksanaan peraturan bisa langsung berjalan.

Bukan pakai teori, tapi langsung dikerjakan, itu jadi fakta. Jangan kita naif membodohkan otak sendiri dengan membesarkan alasan karena ada masalah, padahal otak kita itu dijadikan Tuhan dengan kemampuan untuk menyelesaikan masalah. Masakah kita membuat otak sendiri menjadi kerdil lalu kalah oleh masalah?

Pada tahun ketiga, maka pemerintah berlakukan denda hukuman terbukti, Rp 3.000.000 setiap pelanggaran kendaraan diatas roda dua, dan Rp 1.000.000 setiap pelanggaran kendaraan roda dua. 60 % tagihan denda diberikan kepada petugas negara yang bersangkutan, dan 40 %nya milik negara.

Dan secara bertahap, dalam dua tahun yang sama, pemerintah memperbaiki infrastruktur lalulintas, menambah jumlah luas permukaan pengguna kendaraan dengan jalan layang berlapis dan jalan baru, melengkapkan monitoring jalan raya di semua titik yang harus dipantau dalam sistem instrumentasi yang tepat guna; dan menetapkan jalur mana yang harus dibayar pengendara, baik sepedamotor dan kendaraan lain.

Tidak susah. Dengan mengikutsertakan pejabat negara, pejabat usaha, pejabat pendidikan, agama, lembaga, dan instansi di seluruh Indonesia; maka pemerintah akan mampu memperbaiki moral pemakai jalan raya, terlebih pengendara sepedamotor; dan pada awal tahun ketiga, moral pengendara Indonesia menjadi pionir perbaikan moral diberbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.

Semoga Presiden Joko Widodo bisa memimpin pemerintahannya untuk memulai pemulihan moral pemakai lalulintas.

Salam Indonesia Sejahtera 2045

Tuhan memberkati Indonesia




Sumber : http://ift.tt/1zxLAYS

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz