Peran Cak Imin, Mas Wir, dan Bang Surya Dibalik Suksesnya Jkwjk
Pilpres 2014 merupakan satu pilpres tersengit, terliar dan terberat dalam sejarah politik Indonesia paska reformasi. Sungguh tidak mudah bagi JKWJK untuk meraih hasil 53%, mengapa? Tentunya ini mengingat PDIP di Pileg hanya mendulang 19%. Berarti ada ekstra suara sekitar 34% yang bukan berasal dari kekuatan inti PDIP.
Lalu dari mana 34% ini berasal. Yang tahu pasti asal usulnya hanyalah Tuhan yang menciptakan langit, bumi dan apa-apa yang ada diantara keduanya. Dengan segala keterbatasannya, manusia hanya bisa sebatas menduga. Namun, karena kita dianugerahi akal oleh Tuhan, sebisa mungkin harus dibuat analisa dugaan sejenis “best guesstimate”.
PDIP menjalin koalisi dengan 4 parpol, PKPI, Nasdem, PKB dan Hanura. Marilah kita coba ulas satu-persatu.
Pertama adalah PKPI pimpinan Sutiyoso. Untuk menyingkat waktu, sejatinya kita lupakan dulu saja parpol gurem ini, karena di pileg pun tidak lolos minimum threshold.
Kedua, adalah Nasdem, parpol anyar milik Surya Paloh, bohirnya Metro TV dan Media Indonesia Group. Sebagai parpol baru (kisaran 6% di Pileg), Nasdem boleh dikatakan lumayan. Perolehan ini disebabkan kerja keras para caleg didaerah-daerah yang berlomba sampai setengah mati, agar masuk DPR. Berbeda dengan Pileg, motivasi caleg-caleg tersebut di Pilpres agak kendur karena tujuan mereka ke Senayan sudah tercapai. Dengan kata lain, peran mesin parpol Nasdem menjadi tanda tanya dalam mendulang suara bagi JKWJK. Tetapi ini bukan berarti Bang Paloh bisa dianggap angin lalu. Dia memiliki senjata pemusnah masal (“weapon of mass destruction”) yang sangat efektif untuk membentuk opini publik, yaitu Metro TV. Sation TV ini sudah digeber habis-habisan, lahir batin untuk mendukung JKWJK. Singkat kata, peran Nasdem bisa saja diragukan, tetapi tanpa Metro TV, diyakini efek pencitraan JKWJK tidak akan sehebat sekarang, khususnya dikalangan menengah keatas.
Ketiga, adalah PKB, parpol langganan konflik. Konflik intern bagi PKB sudah merupakan sarapan pagi sejak parpol ini didirikan Almarhum Gus Dur. Namun PKB sekarang berbeda dengan yang dulu. PKB saat ini adalah “PKB Reloaded”. Di Pileg 2014, hampir saja menerobos angka keramat 10%.
Cak Imin, sang captain pilot PKB, bisa dibilang titisan Napoleon. Postur tubuhnya kecil tetapi lihainya bukan kepalang. Sebut saja di pemerintahan SBY, meskipun di Pileg 2009, PKB masuk katagori parpol pepesan kosong, Cak Imin sukses mendapat jatah 2 menteri. Di Pileg 2014, lagi-lagi Cak Imin berhasil memainkan Mahfud MD dan Bang Haji Rhoma untuk merangkul konstituen.
Di koalisi Pilpres 2014, maneuver Cak Imin berbeda lagi. Mantan ketum PB NU, KH Hasyim Muzadi dengan sinis mengatakan PKB hanyalah keranjang kosong, karena isinya adalah kyai dan santri. Tapi Cak Imin berhasil membuktikan Jatim dimenangkan JKWJK. Boleh jadi, Kyai Hasyim cuma sekedar iri saja. Untuk gertak politik, Cak Imin adalah ahlinya. Terbukti jelas, Mahfud MD dan Bang Haji Rhoma pun termakan mentah-mentah. Bahkan, dia berjanji dengan lantang kepada Megawati akan membawa 12 juta anaknya yang hilang kembali kepelukan Ibunda, bukan main. Awalnya mungkin gertak, tapi kebetulan ada hasilnya. Dengan kata lain, peran PKB terhadap kemenangan JKWJK merupakan teknik dan taktik Cak Imin yang patut diacungi jempol.
Keempat, adalah Hanura. Parpol besutan Wiranto ini sebetulnya berada diantara garis ufuk dan sesudah ufuk. Kadang terlihat, kadang raib. Dalam koalisi pendukung JKWJK, peran Hanura sebagai parpol bisa dikatakan nihil. Karena, sebelum bergabungpun, Hari Tanoe sang raja media sudah membelot. Tetapi tidak sepantasnya menyepelekan Wiranto, pakar strategi. Meskipun agak pendiam, tetapi jangan lupa, Mas Wir ini mantan Menhankam/ Pangab, tangan kanan Pak Harto, pemegang saham mayoritas NKRI dijaman Orba. Menindak lanjuti pertanyaan JK saat debat Pilpres (baca=komentar atasan), Wiranto langsung melakukan maneuver tempur sergap menjerat Prabowo. Tanpa susah payah, dia bermain solo, hanya dengan konferensi pers sederhana, berhasil membuat Prabowo babak belur (kasus penculikan 1998 dan surat DKP) yang membuat para “swinging voters” gentar sehingga memutuskan pilihan ke nomor dua.
Akhirul kata, Bang Surya, Cak Imin dan Mas Wiranto boleh dibilang memiliki andil seimbang dalam peraihan total 53% suara JKWJK. Ketiga tokoh ini memberikan kontribusi signifikan melalui ciri khasnya masing-masing. Janganlah kita berdebat tentang teknik dan taktik yang mereka lakukan, tetapi berkacalah pada hasil akhir. Sejauh yang termonitor, parpol koalisi pengusung JKWJK belum melakukan survey, baik itu kuantitatif atau kualitatif untuk mengukur kontribusi mereka masing-masing. Andaikan adapun, hasilnya hanya sebatas indikasi karena tidak bisa dibuktikan.
Oleh karena itu, bebas-bebas saja, bila diasumsikan dari total perolehan JKWJK sebesar 53%, maka kontribusi ketiga pendekar ini masing-masing maksimum 10%. Dengan kata lain, setiap pendekar memiliki saham sekitar 10/53 atau setara dengan 20%. Otomatis, PDIP sebagai sahibul bait tetap memegang saham terbesar yaitu 40%. Rasanya kok ini cukup fair.
Dan juga, sebagai bangsa yang bermatabat, kita patut memberikan salut kepada ketiga pendekar yang tidak aneh-aneh ini. Mereka selalu bergerak dalam koridor kepatutan yaitu parpol pemenang pileg yang diakui negara. Hal ini tentunya berbeda dengan pendukung pendukung urakan yang menggunakan atribut-atribut kabur kanginan (tidak jelas legal statusnya) seperti jokowi center, radio jokowi, seknas jokowi dst. Disamping status legalitas yang tidak jelas, kelompok-kelompok ini juga menggunakan metode dan sistem nyeleneh seperti polling untuk kabinet. Kabinet yang seharusnya diisi para pakar praktisi ahli kenapa rekrutmennya dilakukan dengan polling? Kabinet kan “brain ware” dari sebuah pemerintahan. Kalau berbasis polling, bisa-bisa Jupe nanti jadi Menteri loh.
Ada baiknya, bila pasangan JKWJK menyusun kabinet dihari-hari liburan Idul Fitri ini, saham ketiga pendekar diatas dicermati dan dipertimbangkan secara proporsional. Rasanya cukup layak bukan?
Sumber : http://ift.tt/1u2gIg3
Lalu dari mana 34% ini berasal. Yang tahu pasti asal usulnya hanyalah Tuhan yang menciptakan langit, bumi dan apa-apa yang ada diantara keduanya. Dengan segala keterbatasannya, manusia hanya bisa sebatas menduga. Namun, karena kita dianugerahi akal oleh Tuhan, sebisa mungkin harus dibuat analisa dugaan sejenis “best guesstimate”.
PDIP menjalin koalisi dengan 4 parpol, PKPI, Nasdem, PKB dan Hanura. Marilah kita coba ulas satu-persatu.
Pertama adalah PKPI pimpinan Sutiyoso. Untuk menyingkat waktu, sejatinya kita lupakan dulu saja parpol gurem ini, karena di pileg pun tidak lolos minimum threshold.
Kedua, adalah Nasdem, parpol anyar milik Surya Paloh, bohirnya Metro TV dan Media Indonesia Group. Sebagai parpol baru (kisaran 6% di Pileg), Nasdem boleh dikatakan lumayan. Perolehan ini disebabkan kerja keras para caleg didaerah-daerah yang berlomba sampai setengah mati, agar masuk DPR. Berbeda dengan Pileg, motivasi caleg-caleg tersebut di Pilpres agak kendur karena tujuan mereka ke Senayan sudah tercapai. Dengan kata lain, peran mesin parpol Nasdem menjadi tanda tanya dalam mendulang suara bagi JKWJK. Tetapi ini bukan berarti Bang Paloh bisa dianggap angin lalu. Dia memiliki senjata pemusnah masal (“weapon of mass destruction”) yang sangat efektif untuk membentuk opini publik, yaitu Metro TV. Sation TV ini sudah digeber habis-habisan, lahir batin untuk mendukung JKWJK. Singkat kata, peran Nasdem bisa saja diragukan, tetapi tanpa Metro TV, diyakini efek pencitraan JKWJK tidak akan sehebat sekarang, khususnya dikalangan menengah keatas.
Ketiga, adalah PKB, parpol langganan konflik. Konflik intern bagi PKB sudah merupakan sarapan pagi sejak parpol ini didirikan Almarhum Gus Dur. Namun PKB sekarang berbeda dengan yang dulu. PKB saat ini adalah “PKB Reloaded”. Di Pileg 2014, hampir saja menerobos angka keramat 10%.
Cak Imin, sang captain pilot PKB, bisa dibilang titisan Napoleon. Postur tubuhnya kecil tetapi lihainya bukan kepalang. Sebut saja di pemerintahan SBY, meskipun di Pileg 2009, PKB masuk katagori parpol pepesan kosong, Cak Imin sukses mendapat jatah 2 menteri. Di Pileg 2014, lagi-lagi Cak Imin berhasil memainkan Mahfud MD dan Bang Haji Rhoma untuk merangkul konstituen.
Di koalisi Pilpres 2014, maneuver Cak Imin berbeda lagi. Mantan ketum PB NU, KH Hasyim Muzadi dengan sinis mengatakan PKB hanyalah keranjang kosong, karena isinya adalah kyai dan santri. Tapi Cak Imin berhasil membuktikan Jatim dimenangkan JKWJK. Boleh jadi, Kyai Hasyim cuma sekedar iri saja. Untuk gertak politik, Cak Imin adalah ahlinya. Terbukti jelas, Mahfud MD dan Bang Haji Rhoma pun termakan mentah-mentah. Bahkan, dia berjanji dengan lantang kepada Megawati akan membawa 12 juta anaknya yang hilang kembali kepelukan Ibunda, bukan main. Awalnya mungkin gertak, tapi kebetulan ada hasilnya. Dengan kata lain, peran PKB terhadap kemenangan JKWJK merupakan teknik dan taktik Cak Imin yang patut diacungi jempol.
Keempat, adalah Hanura. Parpol besutan Wiranto ini sebetulnya berada diantara garis ufuk dan sesudah ufuk. Kadang terlihat, kadang raib. Dalam koalisi pendukung JKWJK, peran Hanura sebagai parpol bisa dikatakan nihil. Karena, sebelum bergabungpun, Hari Tanoe sang raja media sudah membelot. Tetapi tidak sepantasnya menyepelekan Wiranto, pakar strategi. Meskipun agak pendiam, tetapi jangan lupa, Mas Wir ini mantan Menhankam/ Pangab, tangan kanan Pak Harto, pemegang saham mayoritas NKRI dijaman Orba. Menindak lanjuti pertanyaan JK saat debat Pilpres (baca=komentar atasan), Wiranto langsung melakukan maneuver tempur sergap menjerat Prabowo. Tanpa susah payah, dia bermain solo, hanya dengan konferensi pers sederhana, berhasil membuat Prabowo babak belur (kasus penculikan 1998 dan surat DKP) yang membuat para “swinging voters” gentar sehingga memutuskan pilihan ke nomor dua.
Akhirul kata, Bang Surya, Cak Imin dan Mas Wiranto boleh dibilang memiliki andil seimbang dalam peraihan total 53% suara JKWJK. Ketiga tokoh ini memberikan kontribusi signifikan melalui ciri khasnya masing-masing. Janganlah kita berdebat tentang teknik dan taktik yang mereka lakukan, tetapi berkacalah pada hasil akhir. Sejauh yang termonitor, parpol koalisi pengusung JKWJK belum melakukan survey, baik itu kuantitatif atau kualitatif untuk mengukur kontribusi mereka masing-masing. Andaikan adapun, hasilnya hanya sebatas indikasi karena tidak bisa dibuktikan.
Oleh karena itu, bebas-bebas saja, bila diasumsikan dari total perolehan JKWJK sebesar 53%, maka kontribusi ketiga pendekar ini masing-masing maksimum 10%. Dengan kata lain, setiap pendekar memiliki saham sekitar 10/53 atau setara dengan 20%. Otomatis, PDIP sebagai sahibul bait tetap memegang saham terbesar yaitu 40%. Rasanya kok ini cukup fair.
Dan juga, sebagai bangsa yang bermatabat, kita patut memberikan salut kepada ketiga pendekar yang tidak aneh-aneh ini. Mereka selalu bergerak dalam koridor kepatutan yaitu parpol pemenang pileg yang diakui negara. Hal ini tentunya berbeda dengan pendukung pendukung urakan yang menggunakan atribut-atribut kabur kanginan (tidak jelas legal statusnya) seperti jokowi center, radio jokowi, seknas jokowi dst. Disamping status legalitas yang tidak jelas, kelompok-kelompok ini juga menggunakan metode dan sistem nyeleneh seperti polling untuk kabinet. Kabinet yang seharusnya diisi para pakar praktisi ahli kenapa rekrutmennya dilakukan dengan polling? Kabinet kan “brain ware” dari sebuah pemerintahan. Kalau berbasis polling, bisa-bisa Jupe nanti jadi Menteri loh.
Ada baiknya, bila pasangan JKWJK menyusun kabinet dihari-hari liburan Idul Fitri ini, saham ketiga pendekar diatas dicermati dan dipertimbangkan secara proporsional. Rasanya cukup layak bukan?
Sumber : http://ift.tt/1u2gIg3